|
KOMPAS, 03 Juni 2013
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan M Chatib Basri sebagai menteri keuangan
yang baru dan melantiknya pada Selasa, 21 Mei 2013.
Presiden
mengatakan, menkeu yang baru mendapat tiga tugas pokok (Kompas, 21/5/2013).
Pertama, menjaga, mengembangkan, dan menjalankan kebijakan fiskal yang
berhati-hati. Kedua, menkeu harus memberikan dukungan kebijakan agar investasi
di Indonesia terus meningkat. Ketiga, menkeu harus dapat memberikan dukungan
kebijakan agar investasi dapat menciptakan peluang yang besar bagi tenaga
kerja, termasuk industri yang membuka kesempatan kerja lebih luas.
Pesan
Presiden tersebut sejalan dengan tema pembangunan nasional 2013. Dalam Rencana
Kerja Pemerintah 2013 ditetapkan tema, ”Memperkuat perekonomian domestik bagi
peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat.” Arah kebijakan fiskal 2013
ditetapkan, ”Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui upaya
penyehatan fiskal”. Inti tema ini menitikberatkan upaya terwujudnya kondisi
fiskal yang sehat.
Adapun
strategi menjaga kesinambungan fiskal ditempuh melalui empat hal: (a) optimalisasi
pendapatan negara dengan tetap menjaga iklim investasi, keberlanjutan dunia
usaha, dan kelestarian lingkungan hidup; (b) meningkatkan kualitas belanja
negara melalui efisiensi belanja yang kurang produktif dan meningkatkan belanja
infrastruktur untuk memacu pertumbuhan; (c) menjaga defisit anggaran di bawah 3
persen terhadap PDB; dan (d) menurunkan rasio utang terhadap PDB dalam batas
yang terkendali. Masalahnya, apakah arah kebijakan fiskal dan alokasi belanja
APBN sudah mampu memberikan stimulus bagi perekonomian, menjaga sustainabilitas
fiskal, mendorong pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja, serta
menurunkan kemiskinan? Tantangan bagi menkeu baru tak ringan.
Tantangan
Dari
dimensi pengeluaran agregat, kontribusi masing-masing komponen permintaan
agregat terhadap PDB tidak banyak berubah. Sumbangan terhadap PDB selama 2008
hingga triwulan 1-2013 tetap didominasi konsumsi rumah tangga (53,9-60,6
persen), diikuti investasi (27,7-32,3 persen), pengeluaran pemerintah (8-9,6
persen), dan ekspor bersih atau ekspor dikurangi impor (-1,1 hingga 2,8
persen). Patut dicatat, pada triwulan I-2013 pengeluaran konsumsi pemerintah
hanya 6,8 persen, mengalami penurunan dibandingkan triwulan IV-2012 yang 11,1
persen. Padahal, konsumsi rumah tangga dan investasi masih mendominasi,
masing-masing 55,6 persen dan 32 persen.
Mengapa
pengeluaran pemerintah relatif ”kecil” terhadap PDB, padahal belanja negara di
APBN 2013 menembus Rp 1.683 triliun? Coba kita simak alokasi belanja negara.
Selama 2006-2012, volume belanja negara meningkat signifikan dari Rp 667,1
triliun 2006 menjadi Rp 1.548,2 triliun 2012. Pada APBN 2013 yang mencapai Rp
1.683 triliun, porsi belanja pemerintah pusat ditetapkan Rp 1.154 triliun (69
persen), dan transfer ke daerah Rp 529 triliun (31 persen). Bila dirinci,
belanja pusat tersedot untuk subsidi Rp 317 triliun (27 persen), belanja
pegawai Rp 242 triliun (21 persen), pembayaran bunga utang Rp 113 triliun (10
persen), dan pendidikan Rp 118 triliun (10 persen). Keempatnya menyumbang sekitar
68 persen dari total belanja negara. Belanja modal dan bantuan sosial
masing-masing hanya Rp 184 triliun (16 persen) dan Rp 74 triliun (6 persen).
Hal
mendasar yang membuat APBN patut dipertanyakan dapat dilihat dari kecilnya
alokasi dana untuk bantuan sosial yang hanya Rp 73 triliun-Rp 86 triliun
(sekitar 5-6 persen dari total APBN) sejak 2009. Anggaran untuk kesejahteraan
sosial ini terbagi dalam lima program: bantuan operasional sekolah Rp 23,6
triliun, beras miskin Rp 15,6 triliun, PNPM Rp 12,3 triliun, jaminan kesehatan
dan pemberdayaan masyarakat Rp 5,9 triliun, dan program keluarga harapan Rp 2,2
triliun. Angka ini dinilai relatif ”minimalis” untuk mendongkrak kesejahteraan
masyarakat. Bandingkan dengan APBN 2012 yang anggaran belanja pegawainya Rp 215,7
triliun atau 15,2 persen dari total APBN.
Hal
itu adalah implikasi dari kebiasaan pemerintahan SBY yang membentuk lembaga
baru dalam penyelesaian masalah besar kenegaraan. Tercatat 116 komite dan dewan
yang ada semasa pemerintahan SBY—88 di antaranya dewan/komite struktural dan 28
lainnya nonstruktural—yang biayanya dibebankan ke APBN. Hal ini sebenarnya
sudah tercermin dari anggaran kementerian dan lembaga yang melonjak pada APBN
2011 dan berlanjut pada RAPBN 2012 dan 2013. Besarnya belanja birokrasi sering
dikritisi karena tak sebanding dengan tingkat pelayanan publik ke masyarakat
dan tak banyak menimbulkan dampak pengganda pengeluaran yang langsung dirasakan
masyarakat.
Subsidi
energi pada 2013, realisasinya diperkirakan mencapai Rp 274,7 triliun dengan
porsi subsidi BBM Rp 193,8 triliun dan subsidi listrik Rp 80,9 triliun. Ini
nilai yang fantastis karena mencakup hampir 30 persen dari total belanja
pemerintah pusat. Besarnya subsidi energi disebabkan pemerintah belum mampu
mengendalikan subsidi BBM dan konsumsi masyarakat, serta belum mencapai target
lifting minyak. Di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini, harga minyak
dunia cenderung terus meningkat dan subsidi BBM makin membengkak. Masalah
mendasarnya, peningkatan konsumsi BBM tidak diimbangi dengan peningkatan
produksi minyak. Akibatnya, keran impor minyak harus dibuka dan dibutuhkan
subsidi APBN untuk menanggung selisih harga beli minyak di pasar internasional
dan harga jual BBM di pasar domestik.
Hal
tersebut tentu dapat mengganggu sustainabilitas fiskal. Inilah tantangan utama
menkeu yang baru, yakni: perlunya terobosan untuk mendorong penghematan
konsumsi BBM domestik dan diversifikasi dalam penggunaan sumber energi non-BBM,
mengurangi beban subsidi, dan memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi yang
salah sasaran. APBN belum menjadi prime mover ekonomi nasional dan menimbulkan
dampak pengganda yang besar bagi ekonomi rakyat. Fungsi alokatif dan
distributif APBN perlu dibenahi. APBN banyak tersedot untuk menggerakkan mesin
birokrasi pusat dan daerah.
Dari
sisi penerimaan, perpajakan masih menjadi penyumbang terbesar dalam penerimaan
dalam negeri sejak 2007 hingga APBN 2013. Pada 2013, penerimaan perpajakan dan
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) diproyeksikan memberikan kontribusi 78,4
persen dan 21,6 persen dari total penerimaan dalam negeri. Penerimaan
perpajakan 2013 direncanakan tumbuh 16 persen, sedangkan PNBP menurun 4,9
persen. Sebagian besar penerimaan perpajakan masih didominasi penerimaan PPh
dan PPN. Masalah peningkatan penerimaan pajak adalah persoalan vital. Tantangan
yang dihadapi menkeu baru: pertama, belum meluasnya wajib pajak, dalam arti
masih kecilnya jumlah masyarakat yang memiliki NPWP dan membayar pajak. Ini
terkait prinsip perpajakan yang lebih mengutamakan basis pajak penghasilan. Tak
mengherankan, rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB (tax ratio) 2009-2012
hanya 11-12,3 persen.
Kedua,
kasus Gayus dan Dhana, serta operasi tangkap tangan KPK yang melibatkan oknum
pegawai pajak ”PR”, memperlihatkan masih belum bersihnya aparat dan direktorat
jenderal (ditjen) di bawah menkeu. Dengan kata lain, reformasi birokrasi di
kementerian keuangan ”masih jauh” untuk dapat dikatakan berhasil. Kenaikan
remunerasi yang diberikan kepada pegawai Ditjen Pajak dinilai kurang efektif dalam
menekan praktik penggelapan pajak di instansi itu. Penerimaan pajak yang
ditargetkan Rp 1.100 triliun lebih sejak tahun 2012 mendorong wajib pajak
nakal, politisi, dan oknum petugas pajak berupaya mencampuri proses
pemberantasan mafia pajak. Tantangan menkeu: menuntaskan reformasi birokrasi di
bawah kementerian keuangan, mencapai target penerimaan pajak, dan meningkatkan
rasio pajak.
Prioritas
Dalam
artikel di Kompas (15/6/2012), saya sudah mengidentifikasi beberapa kelemahan
fondasi dasar ekonomi Indonesia. Pertama, dilihat dari dimensi spasial,
struktur ekonomi Indonesia pada triwulan I-2013 masih didominasi kelompok
provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera sebesar 81 persen. Kedua, ketimpangan
antarprovinsi dan kabupaten/kota cenderung meningkat pasca-otonomi daerah tahun
2001.
Ketiga, ketimpangan distribusi pendapatan makin lebar. Hal itu tercermin
dari rasio gini yang meningkat dari 0,33 pada 2002 menjadi 0,42 pada 2012.
Keempat, meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat dan pendapatan per kapita mencapai
Rp 29,9 juta (3.441,9 dollar AS) pada tahun 2011, hal itu ternyata ada indikasi
kuat terjadi trickle up effect (efek muncrat ke atas) dalam proses pembangunan
di Indonesia.
Dengan
fakta tersebut, desain dana perimbangan belum mampu menurunkan ketimpangan
antardaerah dan antargolongan pendapatan di Indonesia. Belanja ke daerah dalam
RAPBN 2013 direncanakan Rp 518,9 triliun, meningkat hampir dua kali lipat dari
tahun 2007.
Dana
Perimbangan dialokasikan ke daerah Rp 435,3 triliun yang terdiri atas: dana
alokasi umum Rp 306,2 triliun, sebagai instrumen pemerataan kemampuan keuangan
antardaerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat di daerah; dana bagi hasil Rp 99,4 triliun, untuk mengurangi
kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah; dana alokasi khusus Rp 29,7
triliun, untuk membantu daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan relatif
rendah dalam membiayai pelayanan publik sesuai standar pelayanan minimum dan
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai prioritas
nasional. Tantangan bagi menkeu: bagaimana menyusun format desentralisasi
fiskal yang mengurangi ketimpangan antardaerah yang cenderung meningkat namun
sekaligus meningkatkan kapasitas fiskal daerah.
Dalam
pembiayaan anggaran, ketangguhan fiskal Indonesia belum tercapai meski
pemerintah memiliki solvensi untuk pembayaran utang domestik dan luar negeri.
Sumber ketidaksinambungan ini adalah beban utang dalam negeri yang
peningkatannya jauh lebih pesat daripada peningkatan utang luar negeri. Pesan
penting bagi menkeu yang baru adalah penerbitan surat utang negara (SUN) perlu
dilakukan dengan penuh kehati-hatian dengan mempertimbangkan beban pembayaran
SUN yang jatuh tempo dan kemampuan APBN tahun bersangkutan. Apalagi
diberitakan, pemerintah akan menambah pembiayaan defisit anggaran sebesar Rp
80,4 triliun menjadi Rp 233,7 triliun dalam RAPBN-P 2013 akibat membengkaknya
belanja pemerintah dan turunnya penerimaan negara.
Penggeseran
beban utang, baik dalam negeri maupun luar negeri, dapat dilakukan lewat
penataan ulang (reprofiling),
penjadwalan kembali (rescheduling),
dan restrukturisasi utang perlu dikaji mendalam agar bebannya bisa disebar
sesuai maturitas jatuh temponya. Karena itu, strategi mengendalikan defisit
anggaran di bawah 3 persen dari PDB dan menurunkan rasio utang terhadap PDB
dalam batas yang ”aman” perlu diteruskan.
Untuk
mendorong peran APBN sebagai stimulus pembangunan, menkeu perlu menitikberatkan
prioritas kebijakan dengan melakukan sejumlah perubahan, terutama perubahan
alokasi belanja negara melalui upaya efisiensi berbagai jenis belanja yang
kurang produktif, menghilangkan sumber-sumber kebocoran anggaran yang masih
ada, memperlancar penyerapan anggaran, meningkatkan tingkat kemudahan berusaha
(ease of doing business), dan
meningkatkan anggaran infrastruktur yang mempunyai daya dorong kuat terhadap
pertumbuhan ekonomi (listrik, jalan, pelabuhan), serta pengembangan
infrastruktur pada enam koridor ekonomi. Menkeu juga perlu mengatasi hambatan
investasi infrastruktur dengan membentuk infrastructure
fund, menambah pelaksanaan penawaran saham perdana BUMN ataupun swasta, dan
menambah jumlah dana jangka panjang, termasuk mendorong penerbitan obligasi
daerah.
Harus
diakui, begitu banyak tantangan dan masalah yang perlu diprioritaskan oleh
menkeu yang baru. Momentum reformasi UU Keuangan Negara dan UU Perimbangan
Keuangan Pusat-Daerah agaknya juga menjadi ”pekerjaan rumah” yang harus
diselesaikan sebelum pergantian pimpinan negara tahun 2014. Sebagai menkeu
baru, saya yakin Mas ”Dede” Basri pasti bisa. Selamat bekerja! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar