|
KOMPAS,
21 Juni 2013
Eksekusi
terpidana mati kembali dilakukan kejaksaan. Setelah merasakan pahitnya penjara
lebih dari 15 tahun, Jurit bin Abdullah, Ibrahim bin Ujang, dan Suryadi
Swabuana bin Sukarno mengembuskan napas terakhirnya di Nusa Kambangan di
hadapan regu tembak kepolisian.
Angka-angka
kematian belum berhenti dan akan terus bertambah. Enam orang akan dieksekusi
kejaksaan dalam waktu dekat. Setelah itu entah berapa lagi yang akan
dieksekusi.
Pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono mencatatkan rekor tertinggi dalam melakukan eksekusi
terpidana mati di masa reformasi. Dua puluh orang telah dieksekusi selama dua
periode kepemimpinan SBY. Meski tren di tingkat internasional banyak negara
sudah menghapuskan hukuman mati, setidaknya melakukan de facto moratorium,
Indonesia justru menunjukkan arus sebaliknya: gencar sekali melakukan praktik
hukuman mati!
Dari
193 negara anggota PBB, 97 telah menghapus hukuman mati, 35 negara melakukan
moratorium penghentian eksekusi mati, 8 negara menghapus hukuman mati dalam
kejahatan khusus, dan 53 negara masih menerapkan hukuman mati, termasuk
Indonesia.
Paradoks
kemanusiaan
Pembunuhan
berencana yang dilakukan tiga terpidana mati yang baru saja dieksekusi
merupakan tindak kejahatan yang tidak bisa dibenarkan dan harus dihukum.
Tindakan itu tak hanya melukai korban dan keluarganya, tetapi juga melukai rasa
kemanusiaan kita. Meskipun demikian, menghukum mati tiga orang itu adalah
keliru karena bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia.
Kekuasaan
yang beradab seharusnya berpikir dan bertindak untuk terus dan terus merawat
kehidupan. Kekuasaan yang otentik sejatinya menjadikan kehidupan sebagai nilai
tertinggi. Di sini, praktik hukuman mati menjadi paradoks kemanusiaan karena
berimplikasi pada hilangnya kehidupan seseorang.
Mencabut
nyawa manusia, baik itu dilakukan dengan tindakan pembunuhan maupun dengan
menghukum mati pelaku pembunuhan, sejatinya memiliki esensi yang sama. Mencabut
nyawa manusia adalah tindakan yang mengikis peradaban manusia dan semestinya
ditolak dengan alasan apa pun.
Dalam
masyarakat yang beradab, fungsi hukum bukan lagi sebagai fungsi yang bersifat
balas dendam. Fungsi hukum yang memandang nyawa dibayar dengan nyawa adalah
cerminan dari hukum rimba yang tidak selaras lagi dengan keadaban masa kini.
Fungsi hukum seharusnya diletakkan sebagai sarana kontrol dan koreksi sosial
atas kejahatan yang terjadi.
Hukuman
mati mengandung logika yang meletakkan beban tanggung jawab dari sebuah
kejahatan semata-mata hanya ditekankan dan dibebankan kepada pelaku kejahatan.
Dalam hukuman mati terkandung logika: pelaku seolah biangnya masalah sosial
sehingga ia harus disingkirkan dari masyarakat, tidak boleh diberikan
kesempatan untuk hidup karena akan menjadi ancaman. Padahal, tindakan kejahatan
di masyarakat sesungguhnya tidak terjadi dalam ruang yang kosong. Tindak kejahatan
hampir semuanya bermula dari ketidakadilan dan kemiskinan.
Pada
masa kini, tindak kejahatan tidak bisa lagi dilihat hanya dari kacamata
kesalahan individu si pelaku. Kompleksnya dinamika kehidupan sosial telah
menempatkan tindak kriminalitas itu sebagai bagian dari produk sosial di mana
negara dan lingkungan sosial secara langsung atau tidak langsung memberi
kontribusi atas terjadinya kejahatan. Apalagi dalam zaman yang terbuka karena
revolusi teknologi informasi yang membuka lebih banyak ruang bagi kejahatan.
Persoalan
kemiskinan, ketakadilan, keterbelakangan pendidikan, korupsi yang mewabah, dan
persoalan sosial lainnya tentu secara langsung atau tidak berkontribusi atas
terjadinya aksi kejahatan. Di sini, negara dan masyarakat tidak bisa lepas dari
tanggung jawab atas terjadinya kejahatan sehingga logika penghukuman dengan
menghilangkan nyawa seseorang semestinya tidak dibenarkan. Menjadi tidak adil
jika beban kesalahan dan tanggung jawab suatu kejahatan dibebankan semata-mata
hanya kepada si pelaku kejahatan dengan menghilangkan nyawanya.
Selain
itu, alasan penggunaan hukuman mati untuk memberikan efek jera kepada pelaku
kejahatan secara faktual tidak terbukti. Tidak ada korelasi positif antara
hukuman mati dan naik-turunnya angka kejahatan. Dalam kasus kejahatan yang
diancam oleh hukuman mati, seperti kejahatan narkotika, sejak kampanye
kebijakan hukuman mati dijalankan secara intensif kenyataannya tingkat
kejahatan narkotika tetap tinggi. Dengan kata lain, persoalan ini menunjukkan
bahwa lingkungan sosial dan kegagalan negara juga tidak bisa dilepaskan dari
kejahatan yang terjadi.
Derita
sebelum kematian
Praktik
hukuman mati menyimpan luka penderitaan bagi para terpidana mati karena
menunggu proses eksekusi yang tidak sebentar. Dalam tiga kasus terpidana mati
yang terakhir dieksekusi kejaksaan, lebih kurang mereka harus menunggu 15 tahun
pahitnya tahanan penjara.
Sebagian
besar kasus hukuman mati yang telah dieksekusi di Indonesia hampir semua harus
menunggu masa eksekusi yang panjang. Jika dilihat dari jumlah total 25 eksekusi
mati di Era Reformasi, hampir semua menjalani kurungan penjara paling
sedikitnya lima tahun. Tercatat hanya satu terpidana yang eksekusinya dilakukan
tidak sampai setahun sejak vonis pertama dijatuhkan. Bahkan, di antara yang
telah dieksekusi itu, ada yang telah mendekam di penjara lebih dari 10 tahun.
Fenomena ini sering disebut juga dengan fenomena deret kematian.
Dalam
konteks itu, korban eksekusi mati sesungguhnya tidak hanya mengalami satu
bentuk hukuman berupa hukuman mati, tetapi juga menjalani hukuman lain berupa
hukuman penjara. Di sini, para korban sesungguhnya mendapatkan hukuman ganda
dan berlipat, yakni hukuman mati plus hukuman penjara.
Tak
hanya itu, para terpidana mati juga mengalami penyiksaan sebagai akibat dari
fenomena deret kematian. Persoalan ini memberikan tekanan psikologis tersendiri
bagi mereka. Setiap waktu mereka dihadapkan pada penantian kematian yang tidak
pasti. Setiap pagi dan setiap malam para terpidana mati membayangkan peristiwa kematian
dan hal itu tentunya jadi bentuk penyiksaan tersendiri. Kondisi ini mereka
alami bertahun-tahun.
Meski
sejumlah terpidana mati telah menyesali kesalahannya pada masa lalu dan
menunjukkan perbaikan diri, hal itu tidak dijadikan dasar pertimbangan untuk
mengubah hukumannya.
Sudah
saatnya praktik penerapan hukuman mati dihentikan, diganti hukuman seumur
hidup. Langkah terdekat yang bisa dilakukan pemerintah adalah segera melakukan
moratorium pelaksanaan hukuman mati di Indonesia dengan menghentikan penjatuhan
vonis mati baru terhadap pelaku kejahatan ataupun menghentikan eksekusi
terpidana mati. Dalam jangka panjang, tentu saja penghapusan seluruh UU yang
mencantumkan hukuman mati menjadi penting dilakukan demi dan atas nama
kemanusiaan dan konstitusi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar