|
SINAR HARAPAN, 22 Mei 2013
Kendati
reformasi sudah berdengung sejak 15 tahun lalu, Indonesia masih terus hidup
dalam impitan krisis. Padahal reformasi menjanjikan banyak hal, termasuk
menegakkan wibawa pemerintah serta mengembalikan kepercayaan dan penghormatan
rakyat atas negara.
Reformasi
juga berjanji akan mewujudkan demokrasi, membangun tata kelola pemerintahan
yang baik, bersih, dan bebas KKN, meninggalkan dwifungsi ABRI dan mendesain
militer profesional, men-delete
institusi negara ekstra yudisial yang beroperasi di luar ketentuan konstitusi,
membatasi konglomerasi ekonomi, membangkitkan ekonomi kerakyatan, menghormati
hak asasi manusia, serta mewujudkan pers yang bebas dan merdeka.
Aktual,
begitu banyak paradoks dalam kehidupan era reformasi. Misalnya, kegagalan
demokrasi prosedural dalam memperbaiki mutu bernegara, gagal memberantas
praktik oligarki, gagal membangun birokrasi berwatak pelayanan, gagal
mewujudkan parpol sebagai institusi demokratis, gagal memperkecil jurang
kesenjangan sosial, gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta gagal
membangun karakter bangsa dan kebanggaan nasional.
Yang
memilukan, tingkat kepercayaan dan wibawa pemerintah, baik di pusat maupun
daerah—khususnya aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa dan hakim—kian
berada di titik nadir. Menteri, politikus (pusat maupun daerah) serta puluhan
kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) tak sedikit yang kini berstatus
sebagai tersangka korupsi.
Sementara
para politikus dan elite birokrasi terus berlaku tak senonoh: melakukan praktik
korupsi berjamaah dengan membacak anggaran negara dan perburuan rente. Padahal,
reformasi sejatinya mampu menghadirkan habitus sosial dan kultur politik baru
serta tata kelola politik negara yang beretika dan bermoral, rasional,
transparan, dan akuntabel.
Namun,
benih reformasi yang kita pupuk ternyata tak mampu melahirkan perubahan
sistemis dan mendasar seperti yang didamba rakyat. Reformasi menjadi kosa kata
artifisial, karena ia telah mencampakkan daulat rakyat dan melupakan janji
kesejahteraan.
Di
negeri ini, politik beroperasi seperti pasar gelap, tempat di mana elite
negara, politikus, birokrat, dan pengusaha kasak-kusuk mencuri profit dari
jantung kekuasaan. Maraknya fenomena politik citra, dagang sapi, dan transaksi
kian melengkapi tesis Rotberg tentang indikasi Indonesia menuju negara gagal (failed state).
Dengan
imunitas yang dimiliki, para elite negara, birokrasi tingkat tinggi, dan
politikus parlemen (pusat maupun daerah) telah menjadi mesin penguras uang
negara paling kejam. Parlemen dan parpol bahkan dituding menjadi bunker nyaman
bagi para koruptor.
Maka,
segala berita panas yang dilansir lusinan media massa, terutama yang menyangkut
beragam ironi politik dan patologi sosial, seperti menu sarapan pagi dan makan
malam yang terus meneror kesadaran dan rasionalitas publik.
Hanya
Janji
Reformasi
ternyata dipahami para elite yang berkuasa sebagai janji ketimbang komitmen
konstitusional untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang lebih berkualitas.
Para
elite predatoris yang berwatak Machivellian tak hanya menciptakan dominasi di
semua aspek dan lini kehidupan, menekan kekuatan-kekuatan pesaing, tapi juga
terus memproduksi citra dan imagologi politik guna membunuh kesadaran, daya
kritis, dan akal sehat publik.
Faktual,
reformasi telah berjalan di labirin gelap akibat jebakan dan kepungan
kepentingan sempit para elite. Perilaku pragmatis dan transaktif ini telah
membentuk watak kartel di tubuh elite. Itu karena politik kartel membutuhkan
kongsi untuk melakukan perburuan rente antar-elite dalam rangka persekutuan
penguasaan atas akses ke sumber-sumber ekonomi negara.
Gejala
kartelisasi politik dapat kita telisik dari sifat kompetisi antarparpol, yang
sejak awal reformasi berlangsung secara tak berpola dan miskin ideologi.
Persaingan konsep dan gagasan hanya berlangsung sengit di arena pemilu atau
pilkada. Namun, sifat kompetisi gagasan itu lenyap, dan seketika luruh menjadi
kerja sama (persekutuan) politik: di arena parlemen, di jantung birokrasi, dan
di altar dunia bisnis.
Fenomena
politik kartel merujuk pada fakta bahwa seluruh perilaku parpol, baik produk Orde
Baru maupun Reformasi, cenderung berwatak kolutif ketimbang kompetitif. Parpol
kerap menunjukkan watak untuk melayani dirinya sendiri ketimbang menjadi
representasi kepentingan publik.
Ruh
ideologis-programatis telah tergantikan dengan ruh politik koruptif berwatak
kartel-transaksional. Platform, visi, dan program semua parpol tak ada
yang beda; yang tampil lima tahunan di arena kampanye secara retoris-simbolis.
Tak ada tanggung jawab, komitmen, dedikasi dan loyalitas dari parpol untuk
mewujudkan janji-janji manisnya.
Faktual,
kendati zaman telah berubah dan generasi telah berganti, perilaku politik
(antidemokrasi) dan watak ekonomi (rente) warisan Orde Baru tetap menjadi
budaya politik yang mempersulit elemen prodemokrasi untuk membongkar berbagai
sendi dan dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara yang kolutif, koruptif, dan
nepotik.
Mahalnya
ongkos politik yang harus ditanggung politisi dan birokrat untuk meraih “mimpi
kekuasaaan” dituding banyak pihak sebagai pemicu maraknya kasus korupsi
anggaran negara yang dilakoni para pejabat dan politikus, di pusat maupun
daerah.
Penegakan
hukum lebih buram lagi. Pisau aparat hukum era reformasi hanya tajam bagi
rakyat kecil, namun tumpul ketika akan digunakan bagi mereka yang berduit dan
punya kuasa. Puluhan kasus dugaan korupsi politikus, pejabat dan pemimpin
daerah (baik di eksekutif maupun di legislatif), hingga kini proses hukumnya
masih banyak yang terseok.
Praktik
kekerasaan dan konflik horisontal terjadi di mana-mana. Lemahnya penegakan
hukum dan keteladanan pemimpin yang seyogianya ditunjukkan para elite negara,
politikus, dan aktor-aktor birokrasi, faktual telah menumpulkan hadirnya
“politik harapan”.
Kita
lelah dengan pidato elite negara, politikus, pejabat, dan birokrat yang
membuat komitmen ini-itu, namun tak satu pun yang dikerjakan secara konsisten.
Kata dan perbuatan seakan dua dunia yang berbeda. Ideologi kerakyatan dan
kebijakan pro poor, pro job, dan pro wealth tak lebih dari jargon yang
membuih di lautan janji palsu.
Jalan
reformasi yang kita pilih mestinya bisa memperkuat instrumen kontrol publik
melalui kehadiran parpol berwatak demokratis yang dikawal penuh oleh pers yang
bebas guna mewujudkan penyelenggaraan kehidupan bernegara yang prorakyat,
bersih, dan bebas KKN.
Reformasi
kini tak cuma menjadi janji pilu, tetapi yang mencemaskan, ia tengah berjalan
di labirin gelap kekuasaan yang irasional dan paradoks. Maka, 2014 adalah
momentum tepat bagi rakyat untuk bangkit dan bersatu; menghentikan seluruh
irasionalitas politik reformasi.
April
2014 adalah pintu masuk seluruh elemen prodemokrasi yang merindukan “Indonesia
Baru” untuk menghentikan pengkhianatan dan penistaan amanat reformasi; dus
mengambil-alih kereta reformasi yang 15 tahun telah dibajak para petualang
politik dan elite oportunis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar