|
KORAN SINDO, 22 Mei 2013
Isu dinasti politik kembali
menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Terutama setelah Komisi Pemulihan
Umum (KPUD) mengumumkan daftar calon sementara (DCS) Pemilu Legislatif 2014
beberapa waktu lalu.
Di beberapa daerah DCS diisi nama-nama yang punya hubungan keluarga. Ada bapak, ibu, anak, menantu, keponakan, ipar, dan bentuk hubungan sedarah lainnya. Di Banten misalnya dalam DCS Partai Golkar diisi banyak nama-nama dari keluarga Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Tercatat ada nama Andika Hazrumy (anak) dan Hikmat Tomet (suami). Di daerah lain atau partai lain pola semacam ini banyak dijumpai. Pada beberapa pilkada di daerah, politik dinasti juga banyak ditemukan.
Di Bangkalan baru dilantik Bupati Makmun Ibnu Fuad, menggantikan ayahnya, Fuad Amin. Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany adalah ipar Gubernur Atut Chosiyah. Di Kabupaten Kediri kini dipimpin Bupati Haryanti yang meneruskan kekuasaan suaminya, Sutrisno. Haryanti mengalahkanpesaing- pesaingnya, termasuk Nurlaila – madunya sendiri. Dalam catatan Kementerian Dalam Negeri, setidaknya ada 57 kepala daerah yang membangun dinasti politik di tingkat lokal.
Maraknya dinasti politik di negeri ini memancing reaksi negatif dari pelbagai pihak. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilukada antara DPR dan Kementerian Dalam Negeri muncul usulan agar dibuat regulasi yang membatasi dinasti politik. Sebenarnya apa yang salah dari dinasti politik, termasuk di Indonesia? Apakah politik dinasti merugikan warga negara lain di satu sisi dan di sisi lain mendistorsi praktik demokrasi yang tengah kita bangun?
Dinasti politik bukan monopoli negeri ini. Jiran kita, Filipina, bercokol dinasti Aquino. Di Singapura dikuasai keluarga Lee Kuan Yew. Di India ada keluarga Gandhi, di Amerika Serikat (AS) ada keluarga Bush, Kennedy, keluargaLess, Roosevelt, Daleys, Muhlenberg, dan sebagainya. Di negara-negara lain hal semacam ini juga banyak dijumpai. Kecuali barangkali di Singapura yang tampil lebih elegan, di negara-negara yang disebut di atas, dinasti politik jadi sorotan.
Di Amerika misalnya surat kabar ternama The Washington Post pernah menyebut, kata “dinasti” dalam perpolitikan AS kental dengan cita rasa jorok (dirty word). Terminologi dinasti politik (political dynasty) biasa dipahami terkait tampilnya sejumlah politisi yang punya ikatan keluarga di pentas politik formal lebih dari satu generasi. Jadi, beberapa contoh di Indonesia yang disebut di atas sudah masuk kategori dinasti politik.
Sebuah penelitian di AS menunjukkan, dinasti politik lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Para responden survei menyatakan, tampilnya politisi dari dinasti tertentu ternyata kurang simpatik di mata mereka (Snyder, et.al, 2006). Pemilih lebih mengapresiasi politisi yang bisa tampil di pentas politik bukan dari keturunan tokoh terkenal.
Temuan lainnya, makin lama seorang politisi malang melintang di pentas politik, ia punya kecenderungan kuat membangun dinasti politik atau melanjutkan dinasti politik yang sudah ia bangun. Dalam penelitian Snyder dkk, banyak politisi dari dinasti politik di AS miskin pengalaman di sektor jabatan publik sebelumnya. Jadi kalau mereka muncul di pentas politik, sangat diragukan pilihan itu didasari niat mengabdikan diri melayani publik.
Keberadaan mereka lebih didasari motif untuk mengakumulasi aset dalam arti luas, bisa berupa finansial, jejaring bisnis, atau koneksi ke kekuasaan. Bagaimana dengan dampaknya ke sistem demokrasi? Kalau mau jujur, dinasti politik muncul juga karena sistem demokrasi yang menjadi pilihan bangsa ini. Pada Pasal 28 UUD 1945 sudah diatur panjang lebar tentang hak-hak warga negara, termasuk hak berpolitik.
Sebagian pihak berdalih, meniadakandinastipolitik sama saja mencederai hak dasar warga negara. Meski begitu, kita juga harus menyadari, berkembangnya dinasti politik jelas ditopang pengaruh ikatan keluarga alias nepotisme. Apalagi bila dalam suatu organisasi politik atau pemerintahan terdapat patron yang kuat. Kekuatan patron inilah yang bakal menentukan mobilitas politik seseorang.
Bila ia membuka jalan untuk kalangan dekat atau anggota keluarga, merekalah yang akan mengisi posisi-posisi politik. Individu yang cakap terpaksa mengalah. Partisipasi pihak di luar pertalian keluarga tidak menjadi prioritas atau mendapat perlakuan berbeda. Ini semua dalam rangka melestarikan dan memperluas berbagai sumber daya yang sudah mereka genggam.
Patron dalam dinasti perlu menguasai posisiposisi kunci dalam sistem politik (pemerintahan, legislatif, partai politik) atau bahkan meluas ke sistem ekonomi. Kalau perlu, politisi semacam ini terus mempertahankan kekuasaannya sembari mendorong perkembangan ekonomi. Tujuannya, mereka ingin mendapat bagian jika ekonomi terus berkembang. Ini yang oleh Mancur Olson (1999) disebut sebagai “stationary bandits”.
Jadi, bilademokrasidimaknai sebagai sistem yang memberi kesetaraan (equality) semua pihak untuk mengakses jabatan-jabatan publik, jelas keberadaan dinasti politik merupakan ancaman terhadap demokrasi sebab tidak membuka peluang yang sama kepada semua pihak. Padahal mungkin saja dalam sebuah partai misalnya ada caleg yang potensial. Dalam arti memiliki kapabilitas dan elektabilitas di daerah pemilihan tertentu.
Tapi, karena mengedepankan hubungan keluarga, si caleg harus rela digeser nomor urutnya, dipindah dapilnya, atau tidak mendapat kesempatan sama sekali. Pola rekrutmen semacam ini sama saja tidak demokratis. Seolah-olah demokratis karena bangunan dinasti disusun melalui prosedur demokrasi. Dalam penyusunan DCS misalnya sesuai aturan perundangundangan.
Partai politik menyerahkannya kepada KPU, kemudian diverifikasi, diumumkan, dan disahkan. Tapi, sebelum itu sepenuhnya menjadi urusan internal partai. Artinya, kembali kepada kekuatan yang paling dominan di dalam partai. Demokrasi akhirnya hanya rangkaian prosedur, mengabaikan substansinya. Pemilih dan rakyat secara luas jadi korban sebab pemilih terpaksa menerima caleg yang tidak atau kurang kompeten.
Politisi yang akan tampil juga sulit diharapkan memiliki tanggung jawab terhadap konstituen. Motifnya tampil di panggung politik untuk melestarikan kebutuhan dinasti, bukan untuk melayani kepentingan publik. Lalu, bagaimana kita menyikapi keberadaan dinasti politik? Harus diakui dinasti politik sudah lama tumbuh di negeri ini dan kini menjadi kenyataan politik.
Namun, mengingat banyaknya mudarat sebagaimana diurai di atas, ruang gerak dinasti politik harus dibatasi. Yang dibutuhkan sekarang adalah menyusun regulasi yang menekan kecenderungan kolutif dari keberadaan dinasti politik. Dengan begitu, pejabat publik benar-benar berkomitmen dan bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak publik. ●
Di beberapa daerah DCS diisi nama-nama yang punya hubungan keluarga. Ada bapak, ibu, anak, menantu, keponakan, ipar, dan bentuk hubungan sedarah lainnya. Di Banten misalnya dalam DCS Partai Golkar diisi banyak nama-nama dari keluarga Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Tercatat ada nama Andika Hazrumy (anak) dan Hikmat Tomet (suami). Di daerah lain atau partai lain pola semacam ini banyak dijumpai. Pada beberapa pilkada di daerah, politik dinasti juga banyak ditemukan.
Di Bangkalan baru dilantik Bupati Makmun Ibnu Fuad, menggantikan ayahnya, Fuad Amin. Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany adalah ipar Gubernur Atut Chosiyah. Di Kabupaten Kediri kini dipimpin Bupati Haryanti yang meneruskan kekuasaan suaminya, Sutrisno. Haryanti mengalahkanpesaing- pesaingnya, termasuk Nurlaila – madunya sendiri. Dalam catatan Kementerian Dalam Negeri, setidaknya ada 57 kepala daerah yang membangun dinasti politik di tingkat lokal.
Maraknya dinasti politik di negeri ini memancing reaksi negatif dari pelbagai pihak. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilukada antara DPR dan Kementerian Dalam Negeri muncul usulan agar dibuat regulasi yang membatasi dinasti politik. Sebenarnya apa yang salah dari dinasti politik, termasuk di Indonesia? Apakah politik dinasti merugikan warga negara lain di satu sisi dan di sisi lain mendistorsi praktik demokrasi yang tengah kita bangun?
Dinasti politik bukan monopoli negeri ini. Jiran kita, Filipina, bercokol dinasti Aquino. Di Singapura dikuasai keluarga Lee Kuan Yew. Di India ada keluarga Gandhi, di Amerika Serikat (AS) ada keluarga Bush, Kennedy, keluargaLess, Roosevelt, Daleys, Muhlenberg, dan sebagainya. Di negara-negara lain hal semacam ini juga banyak dijumpai. Kecuali barangkali di Singapura yang tampil lebih elegan, di negara-negara yang disebut di atas, dinasti politik jadi sorotan.
Di Amerika misalnya surat kabar ternama The Washington Post pernah menyebut, kata “dinasti” dalam perpolitikan AS kental dengan cita rasa jorok (dirty word). Terminologi dinasti politik (political dynasty) biasa dipahami terkait tampilnya sejumlah politisi yang punya ikatan keluarga di pentas politik formal lebih dari satu generasi. Jadi, beberapa contoh di Indonesia yang disebut di atas sudah masuk kategori dinasti politik.
Sebuah penelitian di AS menunjukkan, dinasti politik lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Para responden survei menyatakan, tampilnya politisi dari dinasti tertentu ternyata kurang simpatik di mata mereka (Snyder, et.al, 2006). Pemilih lebih mengapresiasi politisi yang bisa tampil di pentas politik bukan dari keturunan tokoh terkenal.
Temuan lainnya, makin lama seorang politisi malang melintang di pentas politik, ia punya kecenderungan kuat membangun dinasti politik atau melanjutkan dinasti politik yang sudah ia bangun. Dalam penelitian Snyder dkk, banyak politisi dari dinasti politik di AS miskin pengalaman di sektor jabatan publik sebelumnya. Jadi kalau mereka muncul di pentas politik, sangat diragukan pilihan itu didasari niat mengabdikan diri melayani publik.
Keberadaan mereka lebih didasari motif untuk mengakumulasi aset dalam arti luas, bisa berupa finansial, jejaring bisnis, atau koneksi ke kekuasaan. Bagaimana dengan dampaknya ke sistem demokrasi? Kalau mau jujur, dinasti politik muncul juga karena sistem demokrasi yang menjadi pilihan bangsa ini. Pada Pasal 28 UUD 1945 sudah diatur panjang lebar tentang hak-hak warga negara, termasuk hak berpolitik.
Sebagian pihak berdalih, meniadakandinastipolitik sama saja mencederai hak dasar warga negara. Meski begitu, kita juga harus menyadari, berkembangnya dinasti politik jelas ditopang pengaruh ikatan keluarga alias nepotisme. Apalagi bila dalam suatu organisasi politik atau pemerintahan terdapat patron yang kuat. Kekuatan patron inilah yang bakal menentukan mobilitas politik seseorang.
Bila ia membuka jalan untuk kalangan dekat atau anggota keluarga, merekalah yang akan mengisi posisi-posisi politik. Individu yang cakap terpaksa mengalah. Partisipasi pihak di luar pertalian keluarga tidak menjadi prioritas atau mendapat perlakuan berbeda. Ini semua dalam rangka melestarikan dan memperluas berbagai sumber daya yang sudah mereka genggam.
Patron dalam dinasti perlu menguasai posisiposisi kunci dalam sistem politik (pemerintahan, legislatif, partai politik) atau bahkan meluas ke sistem ekonomi. Kalau perlu, politisi semacam ini terus mempertahankan kekuasaannya sembari mendorong perkembangan ekonomi. Tujuannya, mereka ingin mendapat bagian jika ekonomi terus berkembang. Ini yang oleh Mancur Olson (1999) disebut sebagai “stationary bandits”.
Jadi, bilademokrasidimaknai sebagai sistem yang memberi kesetaraan (equality) semua pihak untuk mengakses jabatan-jabatan publik, jelas keberadaan dinasti politik merupakan ancaman terhadap demokrasi sebab tidak membuka peluang yang sama kepada semua pihak. Padahal mungkin saja dalam sebuah partai misalnya ada caleg yang potensial. Dalam arti memiliki kapabilitas dan elektabilitas di daerah pemilihan tertentu.
Tapi, karena mengedepankan hubungan keluarga, si caleg harus rela digeser nomor urutnya, dipindah dapilnya, atau tidak mendapat kesempatan sama sekali. Pola rekrutmen semacam ini sama saja tidak demokratis. Seolah-olah demokratis karena bangunan dinasti disusun melalui prosedur demokrasi. Dalam penyusunan DCS misalnya sesuai aturan perundangundangan.
Partai politik menyerahkannya kepada KPU, kemudian diverifikasi, diumumkan, dan disahkan. Tapi, sebelum itu sepenuhnya menjadi urusan internal partai. Artinya, kembali kepada kekuatan yang paling dominan di dalam partai. Demokrasi akhirnya hanya rangkaian prosedur, mengabaikan substansinya. Pemilih dan rakyat secara luas jadi korban sebab pemilih terpaksa menerima caleg yang tidak atau kurang kompeten.
Politisi yang akan tampil juga sulit diharapkan memiliki tanggung jawab terhadap konstituen. Motifnya tampil di panggung politik untuk melestarikan kebutuhan dinasti, bukan untuk melayani kepentingan publik. Lalu, bagaimana kita menyikapi keberadaan dinasti politik? Harus diakui dinasti politik sudah lama tumbuh di negeri ini dan kini menjadi kenyataan politik.
Namun, mengingat banyaknya mudarat sebagaimana diurai di atas, ruang gerak dinasti politik harus dibatasi. Yang dibutuhkan sekarang adalah menyusun regulasi yang menekan kecenderungan kolutif dari keberadaan dinasti politik. Dengan begitu, pejabat publik benar-benar berkomitmen dan bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar