Kongres Luar Biasa (KLB)
Partai Demokrat (PD) akhirnya menetapkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) menjadi ketua umum menggantikan Anas Urbaningrum. Meski
banyak kritikan, kecemasan, dan kekhawatiran masyarakat karena posisinya
sebagai presiden, SBY menerima putusan KLB. Bahkan, dia siap dikritik dan
dicaci pihak lain atas keputusannya itu.
Ketika masyarakat masih terbengong-bengong dengan
pilihan SBY itu, ditambah lagi dengan pemilihan ketua harian PD dari
Menteri Koperasi dan UKM, Syarif Hasan, lengkap sudah ketua umum dan
ketua harian PD dirangkap oleh pejabat pemerintah. Memang, soal rangkap
jabatan bukan perkara baru di negeri ini, juga bukan perkara tabu. Sebab,
tidak semua pejabat negara atau anggota DPR mau memilih salah satu
jabatan jika ada jabatan kedua atau malahan ketiga dan seterusnya. Semuat
ingin digenggam dengn berbagai alasan.
Namun, seringkali seseorang yang punya jabatan satu
saja sudah banyak masalah, apalagi banyak jabatan yang diembannya.
Seorang presiden, menteri atau anggota dewan adalah pejabat lembaga
negara sehingga apa yang dilakukannya akan mencerminkan dirinya sebagai
pejabat lembaga negara. Mengapa? Karena mereka adalah pejabat publik.
Seseorang yang sudah menjadi pejabat publik, sudah menjadi milik
masyarakat umum. Itulah kenapa ketika pejabat publik itu kemudian menjadi
milik sekelompok orang karena jabatannya yang lain, masyarakat sering
tidak menerimanya.
Pejabat sekarang tentu tidak perlu beralasan bahwa
sejak dahulu rangkap jabatan di parpol juga hal yang biasa. Dulu ada
Megawati yang menjadi ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP). Seharusnya Megawati juga tidak mencampuradukkan dirinya sebagai
ketua partai politik dengan jabatanya sebagai presiden. Ini memang
persoalan kesantunan berpolitik saja. Karena menjadi pejabat publik,
seseorang sering kehilangan ruang privat.
Sekadar contoh, seorang pejabat misalnya menerima
bantuan secara pribadi kepada seorang pengusaha. Bantuan pengusaha ini
sifatnya bantuan pribadi, itu terjelaskan dari akad bantuan pengusaha
tersebut. Sementara pejabat tersebut juga memahami, bantuan pengusaha itu
bantuan pribadi. Namun, apakah kenyataan itu bisa diterima masyarakat?
Tentu tidak. Masyarakat tetap menganggap itu bantuan sang pejabat sebagai
pejabat negara dan bukan sebagai individu, meskipun ada akad bantuan
pribadi.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah seorang
pengusaha itu akan memberikan bantuan jika seseorang tidak sedang menjadi
pejabat negara? Apakah mungkin pengusaha memberikan bantuan, meskipun
atas nama pribadi, tidak punya pamrih karena kedudukan yang diberikan
bantuan itu sebagai pejabat negara? Sangat sulit, bukan? Secara pribadi
saja sulit bagi seseorang melepaskan dirinya sebagai pejabat negara
dengan urusan pribadi, apalagi mengurusi parpol. Mengapa sulit dilakukan?
Orang yang menduduki jabatan tertentu adalah orang yang dilembagakan.
Orang tidak akan mungkin lagi lepas dari jabatan yang diembannya. Dengan
demikian, akan sangat sulit untuk memisahkan antara jabatan sebagai
menteri dengan jabatannya di parpol, apalagi setingkat ketua. Tidak
terkecuali dengan presiden, meskipun berkali-kali dikatakan tetap akan
fokus mengurusi negara. Jadi, para jabatan itu sebenarnya multi wajah.
Apakah mereka yang keluar dari pejabat negara untuk
hanya mengurusi partai atau keluar dari partai untuk mengurusi negara
bisa terhindar dari pencampuradukan jabatan baru dengan jabatan lama yang
sudah ditinggalkannya. Tidak gampang untuk dilakukan, apalagi yang masih
sama-sama masih aktif punya dua jabatan atau lebih.
Bukan mustahil ada pencampuradukkan antara jabatan
presiden atau menteri (Muhaimin Iskandar/ketua umum PKB, Suryadarma
Ali/ketua umum PPP) dengan posisinya sebagai ketua ketua umum parpol.
Meskipun presiden sendiri mengatakan tetap akan mengutamakan tugas negara
daripada urusan partai. Politik tetap sebuah kepentingan dari sekadar
amanah untuk mengurusi kepentingan masyarakat.
Lalu, mau atau tidak mau seorang pejabat publik
rangkap jabatan itu adalah soal kesantunan berpolitik. Akan sangat susah
jika dia sudah tidak punya kesantunan politik, apalagi tidak ada hukum
yang memberikan sanksi tegas. Di sinilah masalah kesantunan berpolitik
itu muncul.
Politik memang persoalan kepentingan. Sejauh
kepentingannya terwadahi dan tidak melanggar hukum ia akan melakukan
rangkap jabatan tersebut. Ini juga berbeda jika ada payung hukum yang
mewadahi atau mengatur soal rangkap jabatan itu. Misalnya, bagaimana
mekanisme pengaturan rangkap jabatan dan bagaimana pula sanksi jika
dilanggar.
Di Indonesia, soal rangkap jabatan memang susah
dihindari. Tidak saja karena tidak ada aturan yang mengaturnya, tetapi
juga tidak ada niat baik pemerintah maupun DPR untuk membuatnya.
Semua sarat dengan kepentingan politik sesa'at bukan
kepentingan masa depan bangsa. Asal menguntungkan rangkap jabatan itu
akan dengan gagah dan tanpa merasa bersalah digenggamnya. Perkara
masyarakat protes, itu urusan lain. Jadi, meskipun rangkap jabatan
dikritik sedemikian rupa, presiden dan menteri-menteri itu akan jalan
terus. Hukum sekadar hiasan kosmestik tergantung siapa yang
menggunakannya.
Kalau soal rangkap jabatan tidak menjadi masalah bagi
pejabat publik karena tiadanya sanksi tegas dan nyata, bangsa ini tidak
akan bisa cepat menyelesaikan persoalan-persoalan besarnya di masa
datang. Sebab para pejabatnya saja sibuk mengurusi politik. Kalau begini
kenyataannya, hukum seringkali juga akan dibuat sedemikian rupa sehingga
bisa menguntungkan dirinya. Dengan kata lain, hukum akan ditentukan oleh
politik. Jika politik itu permainan, hukum ditentukan oleh permainan
politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar