Ada pandangan umum bahwa di era
otonomi daerah telah bermunculan raja-raja kecil. Korupsi kian merajalela
di daerah. Dana pusat mengalir deras ke daerah. Pendek kata, daerah
semakin berkuasa.
Benar jika ukuran yang digunakan
adalah kewenangan dalam pemerintahan. Berdasarkan Undang-Undang (UU)
Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan daerah otonom mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, moneter dan fiskal, peradilan, agama, serta
kewenangan bidang lain. Di dalam UU tentang Pemerintahan Daerah yang
lebih baru—UU No 32/2004—ditegaskan kembali bahwa kewenangan pemerintah
pusat hanya meliputi politik luar negeri, pertahanan dan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal nasional, serta agama.
Namun, kewenangan yang besar
bakal kehilangan makna jika tanpa diimbangi keleluasaan daerah untuk
memperoleh sumber pendanaan mandiri dan mengalokasikannya untuk
melaksanakan kewenangan tersebut.
Di era otonomi daerah, hubungan
keuangan vertikal pusat-daerah justru semakin timpang. Pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota semakin mengandalkan dana dari pusat. Porsi
pendapatan asli daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) mengecil. Tak heran kalau sebagian besar APBD di kebanyakan
provinsi dan kabupaten/kota habis untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran
wajib yang sudah ditentukan peruntukannya oleh pusat.
Pos transfer ke daerah di dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang naik pesat dalam
tujuh tahun terakhir, dari Rp 150,5 triliun pada 2005 menjadi Rp 528,6
triliun pada 2012, atau naik 3,2 kali lipat. Sementara belanja total di APBN
hanya naik 2,9 kali lipat, dari Rp 509,6 triliun pada tahun 2005 menjadi
Rp 1.481,7 triliun tahun 2012. Dengan demikian, porsi transfer ke daerah
dalam APBN pun meningkat dari 29,5 persen pada 2005 menjadi 32,4 persen
pada 2012.
Transfer ke daerah terdiri dari
dua kelompok. Pertama, dana perimbangan, yang meliputi dana bagi hasil,
dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Kedua, dana otonomi khusus
dan penyesuaian yang mencakup dana otonomi khusus dan dana penyesuaian.
Lebih dari separuh transfer dana
ke daerah berupa dana alokasi umum, yang boleh dikatakan sebagian besar
merupakan pengalihan administrasi pembayaran dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Kenaikan dana alokasi umum ternyata proporsional
dengan kenaikan belanja total APBN.
Pos kedua terbesar dari transfer
ke daerah adalah dana bagi hasil. Yang menikmati sudah barang tentu
sebatas daerah-daerah yang kaya minyak dan gas bumi serta tambang, juga
DKI Jakarta yang memperoleh bagian terbanyak dari bagi hasil Pajak
Penghasilan Perseorangan (PPh Pasal 21) karena di Jakartalah
terkonsentrasi orang-orang kaya pembayar pajak perseorangan.
Selama kurun tahun 2005-2012,
dana bagi hasil meningkat lebih lambat dari belanja total APBN. Dengan
demikian, dana bagi hasil ini tidak meningkatkan kemampuan penerimaan
daerah secara proporsional dengan ekspansi belanja pemerintah pusat.
Apalagi, bagi daerah-daerah yang miskin sumber daya alam dan sedikit
jumlah penduduk yang membayar PPh Pasal 21.
Apabila ditelusuri lebih rinci,
ternyata kenaikan paling tajam dari pos transfer ke daerah adalah untuk
dana penyesuaian, berupa tunjangan profesi guru dan bantuan operasional
sekolah realokasi pagu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada 2012,
kedua pos pengeluaran ini mencapai 78 persen dari keseluruhan dana otonomi
khusus dan dana penyesuaian yang berjumlah Rp 69,4 triliun. Daerah
tak memiliki kuasa untuk mengutik-utik dana tersebut.
Praktis, tidak ada peningkatan
keleluasaan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam menggali
sumber-sumber pendapatan baru karena sumber pendapatan utama negara masih
dikuasai pemerintah pusat. Pemerintah provinsi umumnya harus puas dengan
pendapatan andalan dari pajak kendaraan bermotor, sedangkan pemerintah
kabupaten/kota mengandalkan pada pajak hotel dan restoran.
Di tengah keadaan yang boleh
dikatakan status quo atau
bahkan memburuk dalam hal otonomi keuangan negara, kini beberapa daerah
tertimpa tangga pula, yaitu terkena sanksi penundaan pencairan dana
alokasi umum sebesar 25 persen setiap bulan karena terlambat mengesahkan
APBD. Kebanyakan daerah tersebut adalah yang pendapatan aslinya sangat
kecil sehingga sangat bergantung pada kucuran dana dari pusat. Padahal,
dana alokasi umum merupakan urat nadi penyelenggaraan pemerintahan umum
di daerah.
Proses politik yang bertele-tele
di daerah menyebabkan rakyat dan birokrasi menjadi korban pertama. Kalau
sanksi bertujuan untuk memacu kinerja daerah, mengapa rakyat dan
birokrasi yang menjadi korban? Pertanyaan lebih lanjut, apakah kinerja
pusat lebih baik? Meski APBN sudah disahkan, banyak praktik keuangan
pemerintah pusat yang tak terpuji. Misalnya, ratusan triliun rupiah dana
pemerintah pusat rata-rata setiap bulan diparkir di rekening pemerintah
di Bank Indonesia. Jumlah dana yang diparkir ini jauh lebih besar
ketimbang seluruh dana daerah yang disimpan di perbankan nasional.
Tengok pula peningkatan sangat
tajam saldo anggaran lebih dalam tiga tahun terakhir, dari Rp 17 triliun
pada 2010 menjadi Rp 56 triliun pada 2012. Pengelolaan APBN seperti itu
menyebabkan peranan APBN dalam pertumbuhan ekonomi sangat rendah, yaitu
hanya 0,1 persen terhadap pertumbuhan ekonomi 6,2 persen tahun 2012.
Bahkan, pada triwulan ketiga dan keempat tahun 2012, pertumbuhan konsumsi
pemerintah tercatat mengalami negatif masing-masing 3,2 persen dan 3,3 persen.
Belum lagi pembiaran pemerintah
pusat atas subsidi energi yang terus membengkak dan sudah menembus Rp 300
triliun pada 2012. Subsidi ini sangat bias perkotaan dan bias Jawa.
Sungguh, yang paling banyak dirugikan dari praktik kebijakan dan politik
anggaran dewasa ini adalah luar Jawa.
Yang dibutuhkan adalah
pembenahan fiskal menyeluruh dengan mengedepankan asas keadilan dan
otonomi daerah hakiki. Bukan asal gertak, padahal pemerintah pusat
sendiri bertaburan praktik tak terpuji. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar