Produksi pertambangan Indonesia yang mayoritas terdiri dari
batubara, timah, tembaga, emas dan ammonia
benar-benar menggiurkan. Untuk saat ini produksi
tembaga di Indonesia didominasi oleh PT Freeport Indonesia dan PT Newmont
Nusa Tenggara. Kedua perusahaan AS tersebut memproduksikan sekitar 50
persen dari seluruh produksi tembaga di Indonesia. 85 persen dari
produksi tembaga Indonesia diekspor. Sebagaimana tersiar di
commodity
online.com, produksi Indonesia turun 35 persen pada tahun 2012.
Selama ini, permintaan terhadap tembaga kebanyakan datang dari industri
kabel telekomunikasi dan kabel elektronis.
Dominasi PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara pada sektor
tembaga sangat disayangkan oleh LSM Jerman. LSM bernama
Watch Indonesia prihatin dengan
fakta bahwa PT Freeport belum menaikkan kemakmuran masyarakat lokal.
Karena Papua adalah provinsi yang memiliki status otonomi khusus maka ada
aturan bahwa 80 persen dari penghasilan nasional yang diterima dari
Freeport harus kembali ke provinsi Papua.
Hal lain yang harus diperhatikan dan menjadi desakan Watch Indonesia
adalah perlu dihindarinya praktek-praktek yang tidak bertanggungjawab terhadap
lingkungan dan yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Seperti
diketahui, praktek tidak bertanggungjawab pernah dilakukan oleh petambang
emas Newmont Minahasa Raya pada periode 1996-2004 lalu. Akibatnya, waktu
itu lingkungan tercemar limbah pertambangan, ekosistem Teluk Buyat rusak
dan penyakit kulit masyarakat merajalela.
Selain tembaga, sektor aluminium kini juga meningkat signifikan. Pada
April 2011, PT Antam memulai pembangunan pabrik aluminium (
Chemical Grade Alumina) di Tayan,
Kalimantan Barat. Pabrik yang dibangun bersama dengan perusahaan kimia
Jepang Showa Denko (20 %) dengan investasi sebanyak US$ 450 juta itu
bakal memproduksi 300.000 ton oksida aluminium pertahun. Bahan mentah
untuk produksi tersebut adalah persedian bauksid yang telah tersedia di
daerah tersebut. Pabrik aluminium ini akan memulai produksinya pada 2014
dengan produksi tahunan sebanyak 300.000 ton.
Karena permintaan lokal terhadap produk baja naik, perusahaan
pertambangan PT Merukh Iron & Steel yang dimiliki oleh Merukh
Enterprises juga tergiur melakukan investasi yang luas kepada produksi
besi dan baja. Di pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur pun akan dibangun dua
pabrik baja dan besi senilai 20 miliar Euro. Kooperasi perusahaan
Luxemburg Paul Wurth SA dan perusahaan Jerman Siemag AG akan memproduksi
3.5 juta ton baja pertahun. Dalam rangka CSRnya (
Corporate Social Responsibility) maka akan dibangun prasarana
di Sumba senilai 15 miliar Euro. Pabrik itu sendiri akan dibangun pada
tahun ini dan akan memulai produksinya pada 2015 mendatang.
Pabrik pertama Paul Wurth SA dan Siemag AG akan dibangun di Sumba Barat,
dimana di tempat ini ada persediaan 977 juta ton bijih logam dengan
kandungan besi 68 persen. Persediaan sebanyak 1 miliar ton dengan
kandungan besi yang sama ada di lokasi kedua yaitu di Sumba Timur. PT
Sumba Prima Iron (SPI) yang adalah anak perusahaan Merukh akan menggali
bijih logam tersebut. SPI pun menjalin kerjasama dengan Salgaocar Mining
Industries Pvt Ltd dari India dan ESG Eisenerz-Stahl GmbH dari Jerman. Menurut
perkiraan SPI, permintaan baja di Indonesia akan naik menjadi 20 juta ton
pertahun sampai tahun 2020 dan 30 juta ton sampai tahun 2030.
Indonesia adalah eksportir timah terbesar di dunia dan produsen terbesar
setelah China. Secara global, perusahaan nasional PT Timah adalah
perusahan terbesar dari industri timah dan memiliki saham sebanyak 25
persen dari PT Koba Tin. Saham PT Koba Tin lainnya dimiliki oleh Malaysia
Smelting Corporation. Sektor timah sempat terdampak krisis ekonomi global
tahun 2008/09. Karena sering ada pertambangan timah ilegal, sektor timah
memiliki banyak masalah struktural. Karena harganya turun dan produksinya
makin kurang ekonomis, jumlah produksinya pun dikurangi. Instansi
pemerintah di kepulauan Bangka-Belitung pun sering menutup pertambangan
dan peleburan ilegal akhir-akhir ini. Produsen ilegal tersebut memakai
pola pertambangan primitif yang merusak lingkungan.
Untuk meningkatkan produktivitas, PT Timah Tbk melakukan investasi
sebanyak 1.2 miliar Rupiah pada tahun 2011. Dengan dana tersebut,
dibelilah peralatan untuk eksplorasi dan pertambangan offshore. Menurut
Indonesia Finance Today, produksi timah perusahaan tersebut mencapai
29,600 ton pada 2012. Capaian sebanyak itu naik sebesar 6,600 ton
dibanding dengan tahun 2010.
Sejauh ini, ada juga investasi luas yang direncanakan oleh PT Bumi
Resources Minerals Tbk (BRM) untuk pertambangan emas, intan, tembaga,
besi, timbal dan seng. Untuk perluasan proyek itu telah disediakan dana
sebesar US$ 581 juta antara tahun 2011 dan 2013. BRM, perseroan oleh
perusahaan pertambangan Pt Bumi Resources Tbk (BUMI), memiliki saham atas
PT Citra Palu (97%) dan PT Gorontalo Minerals (80%). PT Citra Palu
memiliki kontrak konsesi seluas 138,889 ha untuk pertambangan emas di
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Daerah konsesi yang dimiliki oleh
PT Gorontalo Minerals untuk tambangan emas dan tembaga seluas 36,070
hektar. Menurut laporan WALHI Agustus 2012, ada banyak penambang liar di
kawasan konsesi PT Citra Palu yang sudah sempat menggunduli pegunungan
Peboya untuk menambang emas.
BRM juga memiliki konsesi untuk seng, timbal, perak dan besi. Anak
perusahannya yaitu Herald Resources Ltd menguasai 80 persen PT Dairi
Prima Minerals. Perusahaan tersebut tahun ini akan mulai dengan
pertambangan seng dan timbal di Dairi, Sumatera Utara. Cadangan seng di
Dairi mencapai 20.1 juta ton dan termasuk salah satu cadangan terbesar di
dunia.
Investor terpenting sektor pertambangan emas dan perak tentu saja PT
Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. Kedua perusahaan
tersebut adalah cabang dari perusahaan pertambangan AS. BRM memiliki
saham sebesar 24 persen di PT Newmont Nusa Tenggara yang memiliki
pertambangan emas yang menguntungkan bernama Batu Hijau. Akan tetapi, ada
juga masalah lingkungan terkait dengan pertambangan di Batu Hijau. Tiap
hari dibuang 120,000 ton tailings ke Teluk Senunu. Tragisnya, Batu Hijau
akan melangsungkan produksinya hingga 2025.
Sementara banyak perusahaan tambang telah menentukan besaran perluasan
investasinya, sekarang ini masih ada 40 perusahaan pertambangan yang
menunggu izin untuk membuang limbah pertambangan ke dalam laut. LSM
sosial dan lingkungan hidup tentu khawatir dengan kerusakan berat yang
akan diderita lingkungan kalau perusahaan pertambangan itu melanjutkan
praktek-praktek yang tidak dapat diterima tersebut. LSM lingkungan hidup
khawatir pertanggungjawaban atas polusi dan kerusakan lingkungan tidak
diminta oleh instansi-instansi pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar