IMLEK 2013 dirayakan pada 10 Februari besok. Namun,
sebelum hari H, komunitas Tionghoa di beberapa kota di Indonesia sudah
bangun dari tidurnya.
Mereka menyambut Tahun Baru China tersebut dengan memasang lampion-lampion,
pohon angpau, memoles wajah kelenteng lebih menawan, juga menyiapkan ragam
acara agar kian meriah.
Sulit untuk mengingkari bahwa ritual Imlek bagaikan oase bagi kaum
minoritas ini. Dari situlah, mereka mereaktualisasi kebudayaan leluhur yang
semasa Orde Baru sempat dikebiri oleh penguasa alias tidak boleh
dipertontonkan ke publik. Maklum apabila perayaan kultural itu digunakan
sebagai ajang berekspresi bagi sahabat-sahabat Tionghoa.
Banyak restoran dan hotel di kota-kota besar ramai mengiklankan Imlek
dinner.
Jamak bahwa pada momentum yang digelar setahun sekali itu, segala unsur
budaya Tionghoa dikemas menjadi komoditas bisnis yang menggiurkan bagi
pelaku usaha, termasuk ihwal kuliner.
Dalam konteks urusan makanan, orang-orang Tionghoa cukup berhasil
melesakkan bermacam jenis makanan khasnya ke meja makan warga pribumi tanpa
diiringi konflik atau ketegangan. Bila sudi membuka berlembar-lembar
catatan sejarah Nusantara, terekam relatif banyak pertikaian yang
melibatkan etnik Jawa dengan Tionghoa hingga memakan korban jiwa. Bahkan,
sampai menumbuhkan citra negatif dan meninggalkan rasa sentimen yang
berlebihan kepada golongan minoritas di kemudian hari. Akan tetapi,
sentimen tersebut tidak berlaku alias luruh di tempat meja hidangan.
Kecenderungan intoleransi terhadap kemajemukan dan isu pri-nonpri yang
sekarang menjadi problem kebangsaan yang krusial tidak didapati di meja
makan.
Sepenggal kenyataan sejarah yang menggembirakan adalah sumbangan
masyarakat Tionghoa tidaklah kecil dalam menambah keragaman pangan di bumi
Indonesia. Gara-gara pembauran etnik Tionghoa di negeri ini selama
berabad-abad dan terjadinya proses akulturasi budaya yang longgar, ada
`pelangi' di meja makan kita. Dari perspektif antropologis, sejauh mana
kebudayaan luar merangsek ke sendi kehidupan penduduk pribumi, lalu berkembang
merupakan sesuatu yang sukar untuk dibendung. Bukan hanya di wilayah
perkotaan, makanan produk komunitas Tionghoa juga turut memengaruhi
masyarakat yang tinggal di daerah perdesaan.
Seperti hasil pengamatan Andreas Maryoto (2009), bila kita pernah
ikut kenduri di keluarga di lingkungan perdesaan Jawa Tengah, kita bakal
menyaksikan pertemuan apik ragam jenis makanan yang unik. Di dalam wadah
terbuat dari bambu yang disebut besek, terkumpul berbagai makanan yang
tidak seluruhnya berupa hidangan lokal. Penyelenggara kegiatan kenduri akan
mengisi besek dengan nasi, sayur, lauk, dan buah untuk dibawa pulang para
tamu.
Bukan Asli Indonesia
Sayur yang disajikan ada mi dan cap jay, tidak lain adalah pengaruh
budaya kuliner
China. Selain itu, ada pula tahu yang berukuran kecil.
Menurut Denys Lombard yang beken sebagai pakar peradaban Jawa, tahu
merupakan makanan asli dari negeri Tiongkok, bukan lahir dari rahim ibu
pertiwi Indonesia. Adapun kecap, yang dipakai bumbu untuk cap jay, berasal
dari dapur orang China. Menurut JJ Rizal (2010), kecap berasal dari kata
kee tjiap atau sari ikan kee yang sohor di negeri Gouw (sekarang Chekiang
dan Kiansu).
Sedari dulu, etos kerja orang China jangan dipandang remeh. Mereka
memang terlihat gigih dalam mengembangkan usaha kuliner, mengingat
masyarakat Jawa di kawasan perkotaan punya kecenderungan sebagai penikmat
hidup ala priayi. Ada tantangan untuk meladeni budaya wong Jawa yang gemar
keplek ilat atawa hobi jajan.
Di Surakarta, misalnya, ditemukan kue basah keleman, bikinan nyoyah
China di Pecinan sekitar Pasar Gedhe yang legendaris itu. Keleman yang
terdiri atas klepon, nagasari, dan lapis, ternyata sanggup bersanding
begitu harmonis di meja bersama makanan lokal macam lentho, blanggreng,
cothot, pisang goreng, dan lainnya.
Berikutnya, satu jenis makanan Tionghoa yang paling ngangeni (dirindukan) bagi para
wisatawan dari luar Kota Solo, yaitu serabi
notosuman alias apem china.
Diketahui bahwa serabi tersebut dijual oleh keluarga China sejak permulaan
abad XX. Berkat bisnis serabi yang mendulang sukses, alhasil keluarga ini
membangun rumah reyotnya menjadi gedung beton bertingkat dua.
Seiring bergulirnya sang waktu, keahlian bikin serabi ditularkan
kepada wong Jawa dan itu berdampak positif. Perhatikan saja di tepian Jalan
Slamet Riyadi, saban sore dipenuhi pedagang serabi yang mangkal dengan
memakai gerobak. Cukup merogoh duit sepuluh ribu dari kantong, kita bakal
memperoleh empat biji serabi rupa-rupa rasa.
Sungguh mengharukan, tanpa ada paksaan atau rekayasa yang berarti,
makanan serabi telah menjelma menjadi salah satu ikon kuliner yang nikmat
di kota tempat pecahnya belasan kali konflik pribumi dan nonpribumi itu.
Tiada salahnya kalau serabi disahkan sebagai simbol kerukunan di daerah
yang ditempeli stigma `kota konflik' ini.
Kemudian, bagi orang tua yang lahir di era 1940-an, tentu mendengar
ketenaran restoran Siem Kok Pie dan Ong Djie Swie di Kota Bengawan.
Dengan menyajikan makanan ala China yang uenak, restoran tersebut larisnya bukan main. Penggemarnya
mencakup daerah Solo, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya. Jika di Kota Solo
ikon kulinernya serabi, di Semarang ialah lumpia. Menarik bahwa makanan
yang namanya menasional itu datang dari China ke Semarang diperkirakan
sebelum 1900. Beberapa nama produsen lumpia seperti lumpia Gang Lombok,
lumpia Mbak Lien, lumpia Jalan Mataram, dan lumpia Jalan Pemuda tidak cuma
dikenal di lingkungan Semarang, tapi juga pendatang dari luar kota.
Andreas Maryoto (2009) menerangkan, persilangan budaya tampak dari
isi lumpia. Cara memasak, bentuk, dan nama adalah ciri hidangan Tionghoa,
sedangkan rasa manis dan orak-arik sebagai isi merupakan ciri khas makanan
Jawa. Ada keberagaman yang menyimbol di sini.
Sesaat lagi, di perayaan Imlek (sin
tjia) ini, lidah kita bakal merasakan lezatnya kue china atau kue
ranjang. Hidangan istimewa di perayaan Tahun Baru China yang juga digemari
masyarakat lintas etnik dan lintas kelas itu menunjukkan kehadiran kuliner
Tionghoa membuahkan keragaman makanan di Nusantara. Pesan yang penting
dicomot sembari menikmati kue ranjang ialah perdamaian tidak sekadar di
meja makan, tapi juga harus direalisasikan dan dijaga di dalam kehidupan
sehari-hari. Semua adalah saudara, duduk harmonis, layaknya kue ranjang
bersebelahan dengan lentho jawa
dan bika ambon di meja makan.
Sebuah potret yang indah, bukan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar