|
SUARA
MERDEKA, 31 Januari 2013
PRESIDEN Mesir Moham¤med
Mursi, pada Minggu (27/1) malam, menetapkan status darurat di tiga kota yang
bergejolak, yaitu Port Said, Ismailia, dan Suez. Dengan status itu militer
berhak menangkap warga sipil dan membantu polisi memulihkan situasi.
Jumlah korban tewas dalam lima hari kerusuhan telah mencapai 50 orang dan ratusan lainnya luka-luka. Akankah gejolak politik Mesir bisa segera diakhiri, dan apa yang dibutuhkan negara itu untuk keluar dari situasi ini? Kondisi Mesir kini bisa disebut sebagai krisis politik yang getir. Alasannya, pertama; keberhasilan penumbangan rezim totaliter tidak serta merta segera membawa Mesir ke arah situasi yang lebih baik. dua tahun lalu rakyat bersatu dan berhasil menumbangkan Hosni Mubarak yang totaliter. Harapannya tentu saja iklim yang lebih demokratis dan situasi yang lebih baik. Namun polarisasi politik yang pelik kemudian muncul sehingga kini Musir justru terjerumus dalam kekacauan. Kondisi ekonomi memprihatinkan. Ini ditandai antara lain dengan nilai mata uang yang jatuh dan semakin banyak warga Mesir yang jatuh miskin. Situasi tidak beranjak membaik karena transisi yang tidak cukup mulus. Kelompok Ikhwanul Muslimin dan Presiden Mursi memang berhasil memenangi pemilihan umum. Namun demokrasi tidak serta merta bisa diterapkan. Mursi dituduh bersikeras menjalankan politik tanpa berdialog dengan oposisi. Ini terlihat misalnya dari langkah Mursi mengeluarkan dekrit pada November lalu. Oposisi menuding Mursi membajak revolusi dan hanya mendengarkan sekutunya. Namun oposisi juga terpecah-belah dan gagal membentuk gerakan yang mampu menampung aspirasi sebagian besar masyarakat. Dalam konteks seperti itu protes dan demonstrasi kembali marak terjadi dan tidak jarang berujung pada kerusuhan. Kedua; kegetiran itu kini makin nyata melihat fakta bahwa meski situasi darurat diberlakukan, kerusuhan belum mereda. Banyak pihak kemudian khawatir dan cemas. Amerika Serikat bahkan telah menyampaikan sikap resmi dengan mengutuk kerusuhan di Mesir. Apalagi pada 6-7 Februari ini Mesir dijadwalkan menjadi tuan rumah pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-12 Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Ketiga; kuatnya indikasi ketidakpuasan yang mengarah pada upaya menjatuhkan pemerintahan. Ini bisa dilihat dari beberapa pernyataan yang menunjukkan sikap kukuh oposisi pada upaya menjatuhkan rezim Mursi. Artinya, protes tidak lagi sekadar persoalan ketidakpuasan pada situasi tetapi sudah lekat bercampur dengan kepentingan politik. Bahkan rakyat terlihat gerah karena kabinet Mesir menyetujui rancangan undang-undang memberikan hak pada militer untuk campur tangan. Tanpa penyelesaian komprehensif, situasi ini seakan membenarkan dilema yang dihadapi antara demokrasi dan tatanan (order). Samuel P Huntington menyebut bahwa negara-negara berkembang dan baru merdeka seringkali belum membutuhkan demokrasi karena jika demokrasi ditawarkan tanpa kesiapan dan kedewasaan politik justru bisa menjerumuskan pada pertikaian politik. Pihak Ketiga Yang dibutuhkan mereka adalah order (tatanan kuat-stabil) meski itu melalui eksistensi rezim totaliter. Dengan order itu, stabilitas bisa dijamin dan berbagai tahapan pembangunan ekonomi bisa dijalankan. Karena itu, agar tidak kembali kepada fase sebelumnya diperlukan langkah konkret Mursi. Dunia perlu bersikap dengan mendorong penyelesaian persoalan internal Mesir secara politik berbasis konstitusi. Jika situasi tidak juga membaik maka diperlukan uluran tangan pihak ketiga. Pihak ketiga ini diperlukan karena kedua pihak sulit dipertemukan. Pihak ketiga juga urgen demi menghindarkan penyelesaian krisis dengan langkah dan pendekatan kekerasan atau kekuatan. Karena kalau kekerasan yang kembali dipertontonkan maka artinya Mesir kembali memutar jarum sejarah ke fase dua tahun lalu. Pihak ketiga diharapkan mampu menggelar penyelesaian politik dalam kerangka peaceful settlement (langkah-langkah penyelesaian damai). Merujuk pada Artikel 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa misalnya, beberapa opsi yang bisa dilakukan masyarakat internasional untuk Mesir antara lain adalah good offices (memberikan jasa baik pihak ketiga netral untuk membangun komunikasi antarpihak bertikai), mediation (tawaran poin-poin upaya dan langkah penyelesaian konflik oleh pihak ketiga), atau conciliation (upaya mediasi oleh komisi khusus oleh beberapa negara atau organisasi internasional). Selama ini kita melihat fakta bahwa Mesir terbukti sering berperan aktif dengan berhasil menjadi mediator dalam konflik Hamas-Fattah di Palestina ataupun antara Palestina dan Israel. Karena itu, sudah saatnya Mesir mendapat jasa baik dunia Arab ataupun masyarakat internasional untuk keluar dari pelik politik ini. Tanpa peran pihak ketiga yang netral, dikhawatirkan situasi krisis politik ini bisa berlanjut dan menjadi krisis kemanusiaan, yaitu serangkaian kejadian yang secara nyata menimbulkan ancaman pada keselamatan rakyat akibat gangguan keamanan domestik. Mediasi diperlukan untuk menjalankan peacemaking, mempertemukan dan merekonsiliasi sikap pihak-pihak yang bertikai. Proses ini sangat penting karena terlihat sikap oposisi yang tidak mau berdialog. Mereka justru mencurigai motif di balik tawaran langkah Mursi. Jika itu berjalan maka tahap berikutnya adalah peacebuilding, yakni proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial politik ekonomi demi perdamaian yang langgeng. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar