|
KOMPAS,
25 Januari 2013
Ini ucapan anggota DPR,
Eva Kusuma Sundari, yang dikutip wartawan Liputan6.com pada 15 Januari 2013
perihal perkataan calon hakim agung Daming Sunusi di DPR tentang hukum atas
pemerkosa yang menghebohkan itu.
”Dia tidak bisa menjadikan
isu yang menjadi concern HAM global ini sebagai candaan karena eksesnya jiwa
yang cacat atau trauma. Dia tidak siap jadi hakim agung karena empati saja
tidak mampu, karena lack sensitivitas jadi akan gagal men-deliver keadilan
sebagaimana amanat UU KDRT, UU HAM, UU Anti Diskriminasi terhadap Perempuan,
UU Perlindungan Anak, bahkan UU Sistem Peradilan Anak. Mind set-nya sudah
oppressive terhadap perempuan.”
Masih
mengutip Eva, reporter menulis: ”Ketua
MA, ungkapnya, harus mengkondiser
ini sebagai permasalahan serius karena mind set para hakim yang oppressive
terhadap minoritas perempuan merupakan indikator pengadilan yang sexist
juga.”
Di
sini kita mendapati bahwa wartawan yang seharusnya siap dengan perangkat
dasar komunikasi, yaitu bahasa, sudah masuk perangkap bahasa kacau sebagian
besar tokoh publik. Kita mafhum ini bukan satu-satunya, juga bukan kasus
langka.
Sekadar
menyebut beberapa bentukan yang kacau: ”menjadi concern”, ”empati saja tidak
mampu”, ”lack sensitivitas”, ”men-deliver”, ”mind set-nya sudah oppressive”,
”mengkondiser”. Bagaimana seharusnya mengatakan hal yang sama dengan cara
yang tepat? Yang bersangkutan sendiri harus mulai dengan kedisiplinan dalam
berbahasa.
Sejak
awal pertumbuhannya, kaum intelektual bumiputra tak bisa lepas dari hegemoni
bahasa Barat. Berlatar belakang budaya feodal, ditambah pengalaman dijajah
selama ratusan tahun, terbentuk kondisi mental minder (istilah ini dari
bahasa Belanda) pada kelas atas, yang merembes ke bawah.
Perpaduan
perilaku gengsi dan mental minder mencetak pribadi yang tak mampu menghargai
nilai diri sendiri. Sebagai dampaknya, muncul sikap suka pamer. Sindiran
orang Betawi, ”biar tekor asal
kesohor”.
Ambisi
pamer diri, yang pada golongan tertentu cenderung mencakup aspek aksesori
jasmaniah, pada golongan intelektual—di samping wartawan, penulis, seniman,
dan akademikus, sebagian politikus dan birokrat dapat dianggap termasuk
golongan ini—cenderung mencakup aspek intelek dan pengetahuan. Orang kaya
pamer harta, orang yang banyak membaca pamer perbendaharaan bacaan, sedangkan
orang yang merasa memiliki lisensi ”bicara kepada publik” pamer kosakata.
Di
negeri paternalistik ini, sampai sekarang masih banyak birokrat dan politikus
yang ketika diwawancara wartawan atau ”menyampaikan amanat, komentar,
sambutan” tak ubahnya sedang berpetuah kepada kawula. Yang dihamburkan bukan
kalimat-kalimat sederhana yang mudah dimengerti khalayak dari segala lapisan,
melainkan seperti raja unjuk kekuasaan. Ironisnya, acap kali yang
bersangkutan tak sadar bahwa ucapannya hanya kata-kata dari berbagai bahasa
yang berserakan tanpa sistem yang membentuk makna.
Dalam
kasus semacam ini wartawan seharusnya jadi penyaring; kritikus bahasa yang
pragmatis bagi khalayak. Dalam kutipan tak langsung saringlah residu yang tak
perlu agar tersaji berita dalam bahasa yang efektif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar