BPK, WTP, dan
Korupsi
Soemarso S Rahardjo ; Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 01 Desember 2012
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Wakil Gubernur DKI Jakarta,
terheran–heran. Bagaimana mungkin Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah
mengeluarkan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan
penggunaan anggaran pemerintah daerah, masih melaporkan adanya potensi
kebocoran keuangan daerah sebesar kurang lebih Rp 400 miliar di sektor
fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos).
Hal serupa tidak hanya dialami Pemda DKI Jakarta. Banyak daerah
lain yang laporan keuangannya memperoleh pendapat WTP, tetapi kemudian
dilaporkan adanya penyimpangan anggaran.
Keheranan Ahok juga dialami oleh banyak masyarakat pemerhati
pertanggungjawaban keuangan negara. Jawaban yang diberikan untuk kenyataan
ini adalah bahwa pernyataan pendapat WTP terhadap laporan keuangan tidak
berkaitan langsung dengan ada/tidaknya penyelewengan.
Kewajiban Mengevaluasi Kecurangan
Sebelumnya perlu diketahui bahwa ada beberapa jenis pernyataan
pendapat (opini) yang dapat diberikan oleh auditor eksternal. Salah satunya,
yang terbaik, adalah WTP. Dengan pendapat ini, auditor mengatakan bahwa
laporan keuangan yang di buat oleh auditee
telah bebas dari salah saji yang materiil (signifikan).
Bebas dari salah saji materiil mengandung arti bahwa angka–angka
yang disajikan dalam laporan keuangan tidak dinyatakan terlalu besar/kecil
secara materiil sesuai klasifikasi penyajian yang benar serta telah terdapat
pengungkapan/penjelasan yang cukup memadai.
Valuasi, pengakuan, dan pengungkapan untuk setiap pos
klasifikasi ditentukan oleh standar akuntansi yang diakui profesi. Untuk
dapat menyatakan pendapat, auditor harus sudah melaksanakan prosedur audit
untuk mengumpulkan bukti yang cukup dan tepat. Pengumpulan bukti harus
dilakukan sesuai dengan standar audit yang diakui oleh profesi.
Beberapa dari prosedur yang harus dilakukan sesuai dengan standar
audit adalah memahami lingkungan usaha auditee untuk mengevaluasi risiko
inheren yang terkandung dalam audit serta memahami pengendalian intern untuk
mengevaluasi risiko pengendalian yang terkandung di dalamnya.
Baik risiko intern maupun risiko pengendalian akan memengaruhi
kemungkinan dapat dideteksinya salah saji materiil selama audit. Di samping
itu, kecurangan (fraud) juga wajib dikaji dalam tahap audit tersebut. Dalam
khazanah audit, kecurangan dapat dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu pelaporan keuangan
yang curang (fraudulent financial
reporting) dan pencurian aset (misappropriation
of assets).
Pelaporan keuangan yang curang dilakukan dengan mengutak-atik
laporan keuangan sedemikian rupa sehingga hasilnya sesuai dengan keinginan
pembuat. Pencurian aset sudah jelas dari kalimatnya. Kecurangan di lembaga
pemerintah/negara pada umumnya masih dalam taraf pencurian aset.
Dampak Adanya Kecurangan
Apa pengaruh adanya kecurangan terhadap salah saji laporan
keuangan pemerintah? Jika melalui proses audit, kerugian negara akibat
kecurangan telah terbukti maka kerugian tersebut, seharusnya tidak dilaporkan
dalam pos aktiva/aset.
Kalau kerugian berhubungan dengan pelaksanaan program/proyek
maka kerugian itu tidak boleh dilaporkan sebagai biaya program/proyek. Ada
dua kemungkinan untuk melaporkan kerugian karena kecurangan. Jika kerugian
dapat ditagihkan atau dituntutkan adanya ganti rugi dari pihak yang
menyebabkan terjadinya kerugian maka pos yang layak untuk pelaporan adalah
piutang.
Sebaliknya apabila tuntutan ganti rugi tidak dimungkinkan maka
perlu pos tersendiri untuk melaporkan adanya kerugian karena kecurangan. Hal
yang sama, barangkali, berlaku jika terjadi ketidakefisienan dalam
pengelolaan anggaran. Dengan bentuk pelaporan yang demikian masyarakat bisa mengetahui
seberapa bersih dan efisiennya pengelolaan anggaran di sektor
pemerintah/negara.
Kerugian negara akibat kecurangan tidak mengenal konsep
materialitas. Kecurangan sebesar Rp 1,- tetap merupakan kecurangan. Pelaporan
kerugian negara akibat kecurangan, betapa pun kecilnya, dimaksudkan untuk
menunjukkan bersih tidaknya pengelolaan keuangan negara.
Bebas dari kecurangan merupakan ciri khas dalam akuntabilitas
publik. Namun, kalau dilihat dari wacana yang ada bahwa penggelembungan
harga, dalam anggaran dapat berkisar antara 30–50 persen maka kemungkinan
kerugian negara itu tentulah cukup material (besar) secara relatif.
Evaluasi Risiko Kecurangan
BPK merupakan auditor eksternal bagi lembaga-lembaga
pemerintahan/negara. Lembaga-lembaga ini adalah auditee. BPK memberikan pendapat
terhadap unit satuan kerja di pemerintah baik pusat atau daerah, maupun
lembaga-lembaga negara yang lain. Oleh karena itu, ia tentu sudah melakukan
prosedur sesuai dengan standar audit yang ditentukan.
Evaluasi lingkungan usaha, pengendalian intern, dan kemungkinan
terjadinya kecurangan harus disesuaikan dengan kondisi di mana auditee
beroperasi. Untuk mencegah munculnya keheranan-keheranan seperti disebutkan
di atas, ada baiknya kita ulas kondisi yang memungkinkan terjadinya kecurangan
dalam kaitannya dengan operasi satuan kerja lembaga-lembaga
pemerintah/negara.
Kecurangan terhadap pengelolaan keuangan negara atau sering
disebut dengan korupsi, bukan hal yang aneh di Indonesia. Masyarakat
Transparansi Internasional menahbiskan Indonesia pada peringkat ke-100
terburuk dari 183 negara di dunia dalam hal korupsi. Lingkungan usaha unit
satuan kerja di lembaga pemerintah/negara berada dalam kondisi ini.
Oleh karena itu, siapa pun auditor eksternal yang mengaudit
lembaga-lembaga tersebut harus sudah menempatkan risiko terjadinya kecurangan
pada tingkat yang cukup tinggi. Sementara itu, pada waktu mengevaluasi risiko
pengendalian, perhatian tidak cukup hanya diberikan pada kebijakan dan
prosedur serta monitoring yang diterapkan dalam proses pengelolaan anggaran.
Bagian paling penting untuk dikaji adalah faktor yang dapat
mengakibatkan tumpulnya sistem pengendalian intern, yaitu adanya kolusi atau
kongkalikong. Tingkat penyebaran kongkalikong di Tanah Air ini tampaknya
sudah sangat meluas ke seluruh sistem.
Kongkalikong tidak hanya terjadi pada tingkat operasional,
tetapi telah menohok pada level puncak manajemen. Tidak itu saja,
kongkalikong ternyata juga telah melibatkan pihak eksekutif, legislatif, dan
pengusaha. Kongkalikong telah mencakupi tahap perencanaan, pelaksanaan,
sampai monitoring.
Kongkalikong tidak mudah dideteksi. Kebijakan dan prosedur yang
ditentukan bisa saja telah diikuti dengan saksama. Pandangan yang sekarang
ini dianut adalah bahwa jika pengeluaran anggaran telah dilakukan sesuai
dengan kebijakan/prosedur maka pengeluaran tersebut akan dianggap sah.
Audit terhadap anggaran yang bebas dari kecurangan seharusnya
meretas lebih dalam dari sekadar ketaatan pada kebijakan dan prosedur. Untuk
seorang auditor, tentu ada cara untuk dapat mendeteksinya. Akan lebih baik
lagi kalau sistem transaksi dan pembayaran yang diberlakukan telah dirancang
untuk menghindari terjadinya kongkalikong tersebut.
WTP memang tidak menjamin bebasnya lembaga pemerintah/negara
terkait dari kecurangan. Namun, pendapat itu sering digunakan sebagai mantra
kebersihan bagi auditee. Masyarakat awam, yang tidak tahu seluk-beluk audit,
sering terkesima dengan kenyataan ini.
Agar informasi yang tersebar tidak menyesatkan, ada baiknya jika
pemberian pendapat WTP bagi lembaga pemerintah/negara dilakukan dengan lebih
hati–hati. Di samping itu, bentuk pelaporan keuangan yang memungkinkan
diungkapkannya kerugian negara karena kecurangan perlu dipikirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar