Konstitusionalisme
Migas Terluka Lagi
Margarito Kamis ; Doktor
Hukum Tata Negara,
Staf Pengajar
FH Universitas Khairun, Ternate
|
SINDO,
20 November 2012
Andai
isme konstitusi hanya bermakna sekadar bernegara berdasarkan hukum, berhukum
secara serampangan pun tidak akan jadi perkara, apalagi perkara besar.
Tidak pula dibutuhkan cara-cara beradab dan bermartabat untuk, misalnya, mengenali level koherensi konstitusionalitas tindakantindakan hukum ketatanegaraan pemerintah. Sayangnya, isme konstitusi,konstitusionalisme, tidak berspektrum sesederhana itu. Konstitusionalisme, sesuai spirit murninya,meminta jauh, bahkan lebih fundamental dari sekadar bernegara berdasarkan konstitusi atau hukum. Konstitusionalisme sejatinya merupakan sebuah impian agung masyarakat yang berkebangsaan, hidup beradab, dan bermartabat.Untuk apa? Keadilan dalam makna yang sesungguhnya, bersemayam di situ, dan diharuskan untuk dijadikan napas pembentukan tatanan berkebangsaan dan bernegara.Hanya dengan cara itulah, harkat dan martabat setiap orang memiliki makna alamiahnya. Terabaikan Para pendiri Republik tercinta ini,tentu,dengan caranya sendiri mengikatkan diri pada, bukan teks-teks hukum, melainkan mozaik konstitusionalisme seindah itu. Entah menghormati mereka atau tidak, menyusul putusan MK yang mengabulkan permohonan pengujian konstitusionalitas atas UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang salah satu diktumnya mendiskualifikasi konstitusionalitas BP Migas, Presiden dan Menteri ESDM menggunakan kewenangan konstitusionalnya untuk, seperti diketahui, mencegah kevakuman hukum. Presiden menerbitkan peraturan presiden (perpres), dan Menteri ESDM menerbitkan dua keputusan menteri (kepmen). Perpres yang diterbitkan Presiden bernomor 95/2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dua Kepmen yang diterbitkanMenteriESDM masing-masing bernomor 3135K/K/ MEM/ 2012 dan Nomor 3136/ MEM/2012. Menurut Rudi Rubiandini, Wakil Menteri ESDM, dengan kedua kepmen itu, tugaseksBPMigasjadi on kembali (SINDO, 16/11/2012). Sungguh sederhana. Mahkamah Konstitusi, dengan Profesor Mahfud MD sebagai ketuanya, memang tidak mewajibkan Presiden dan Menteri ESDM mempelajari kata demi kata dalam putusannya yang sungguh sangat anggun itu.Tetapi, entah bersebab itu atau bukan, atau demi secepat-cepatnya mencegah kevakuman hukum walau hanya sedetik,terbitlah perpres dan dua kepmen di atas. Lahirlah Satuan Kerja Kementerian ESDM yang menurut Perpres Nomor 56/2012 mengemban tugas dan fungsi BP Migas. Sekali lagi, Profesor Mahfud beserta seluruh anggota majelis Mahkamah memang tidak memerintahkan Presiden, Menteri ESDM, dan DPR untuk membaca kata demi kata dalam putusan mereka. Tetapi, perintah yang sesungguhnya bernilai agung itu sejatinya tersirat di balik putusan itu. Tidak mesti berkeringat atau bersusah-susah mengenali perintah itu,tohBP Migas yang pembentukannya didasarkan pada perintah atau didelegasikan oleh UU Nomor 22 Tahun 2001 telah didiskualifikasi konstitusionalitasnya. Soal konstitusionalisme yang dihadapi oleh pilihan hukum itu ialah tidakkah BP Migas sebelum didiskualifikasi konstitusionalitasnya dibentuk oleh pemerintah karena kewenangan pembentukannya didelegasi oleh UU? Bukankah ratio decidendi yang mengantarkan MK mendiskualifikasi eksistensi BP Migas, salah satunya, karena terintegrasinya dua fungsi sekaligus di tangan BP Migas yakni sebagai regulator dan sebagai pihak yang berkontrak? Sungguh konstitusionalisme migas terluka lagi. Undang-Undang Baru Tidak mungkin membayangkan Presiden dan Menteri ESDM tergesa-gesa menyikapi putusan MK, yang sekali lagi, mengagumkan itu. Secara hukum putusan MK itu berlaku setelah dibacakan dalam sidang majelis Mahkamah Konstitusi, prospektus.Putusan itu tidak membawa konsekuensi hukum, apalagi fundamental terhadap semua tindakan hukum BPH Migas yang telah dilakukan. Itu sebabnya tidak ada yang perlu ditakutkan, misalnya, terjadi kekacauan hukum yang membuat investor ketar-ketir. Nasi sudah jadi bubur. Perpres tentang tugas dan fungsi BPH Migas telah diterbitkan, demikian juga kepmen. Sedemikian, bukan tergesa-gesa, melainkan cepatnya tindakan antisipatif itu diambil dengan memilih perpres dan kepmen sebagai bentuk hukum, yang berisi pengaturan, tak pelak, mengakibatkan konteks putusan MK itu tak terselami dengan baik oleh Presiden dan Menteri ESDM. Negara memang menguasai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan negara itu diwujudkan salah satunya membuat regulasi. Regulasi dalam konteks konstitusionalisme pengelolaan migas sebagai kekayaan alam yang terkandung dalambumiwajibberbentukUU, bukan perpres. Perpres, begitu juga peraturan menteri, bukan tidak bisa digunakan, melainkan kedua bentuk hukum ini baru dapat digunakan setelah terlebih dahulu memperoleh delegasi wewenang dari pemegang kekuasaan pembentukan UU,DPR. Sayangnya,keharusan konstitusionalisme seimperatif itu tak cukup bertenaga bagi Presiden dan Menteri ESDM.Boleh jadi, hal itu disebabkan oleh godaan untuk bertindak cepat. Konstitusionalisme memang tak mengharamkan tindakan cepat, bahkan supercepat, tetapi konstitusionalisme memagari tindakan cepat dengan nalar konstitusionalisme pula. Harus diakui pencapaiannya membutuhkan kesediaan untuk menggunakan nalar dalam konsep “the golden rule.” Konsep ini mengandung makna semua aturan, yang dalam kasus ini termasuk ratio deciden di putusan MK, dikenali dan dinilai. Penilaian itu menjadi dasar untuk konstruksi dan menemukan hukum atas soal yang dihadapi, dan yang hendak diatur. Andai nalar ini digunakan, niscaya konstitusionalisme akan menemukan elan-nya sebagai perisai keadilan dalam bernegara. Mengenali semua konteks yang terdemonstrasi dalam pertimbangan-pertimbangan putusan MK, seraya mengorelasikannya, tidak hanya dengan teks Pasal 33 ayat (1) dan (2) UUD 1945, tapi konteks impian pasal itu, niscaya, bukan perpres yang dipilih, melainkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang dipilih. Perpulah bentuk hukum pengaturan ihwal usaha migas, sekadar sebagai pengganti darurat di tengah keadaan hukum baru yang muncul sebagai konsekuensi putusan MK. UU Migas memang harus segera dibentuk. Bukan lantaran sejumlah pasal pamungkasnya telah didiskualifikasi konstitusionalitas nya, melainkan harus diakui ada yang fatal di dalam UU itu. Sungguh menyakitkan, Pasal 33 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang tidak pernah diubah dinyatakan telah diubah. Sekali lagi, menyakitkan karena keteledoran fatal itu berlangsung di tengah gelora bangsa ini mengonsolidasi impian-impian konstitusionalisme agar keadilan menjadi napas bernegara. Bentuklah UU baru, menggantikan UU Migas yang konyol itu, agar kemakmuran rakyat yang dirindukan Pasal 33 ayat (1) dan (2) hidup. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar