BUMN Sapi Perah
Jusuf Suroso, Assistant Director External Affairs
Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
SUARA
MERDEKA, 03 November 2012
KELUHAN Menteri
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan soal dugaan ada permintaan upeti,
uang jasa, tanda terima kasih, dan sejenisnya oleh sejumlah anggota DPR
sebenarnya bukan cerita baru. Sekurang-kurangnya sejak DPR periode 1999-2004
aroma permainan kotor anggota parlemen itu sudah menyebar ke mana-mana,
menembus dinding beton kompleks gedung di Senayan Jakarta.
Pengalaman para dirut BUMN bermitra kerja dengan DPR kurang lebih sama. Mantan Direktur Utama Pertamina Ariffi Nawawi (2003-2004) mengatakan ia harus mondar-mandir ke Senayan, pernah dalam sebulan lebih dari dua kali dipanggil DPR, gara-gara pernyataannya ingin membebaskan Pertamina sebagai sapi perah.
Akibatnya, waktu habis untuk mengikuti rapat dengar pendapat dengan DPR hingga kinerjanya tidak maksimal. Ujung-ujungnya terkait dengan jatah proyek dan keuntungan lain. Pengalaman lain dituturkan Wijanarko Puspoyo, mantan Dirut PT Bulog yang mengaku harus menyiapkan Rp 100 miliar terkait dengan pengadaan pesawat tempur Sukhoi dari Rusia tahun 2003.
Pengungkapan skandal pemberian cek perjalanan terkait dengan pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia yang dimenangi Miranda Swaray Gultom oleh KPK dan menggiring 24 anggota DPR periode 1999-2004, dari predikat wakil rakyat yang terhormat ke pesakitan, menjadi bagian sejarah hitam parlemen. Miranda pun menjadi pesakitan, dan proses hukum para tersangka kasus ini masih berlangsung.
Belakangan praktik kotor itu bukannya makin surut melainkan sebaliknya, politikus Senayan makin berani dan terang-terangan minta jatah. Karena itu, publik harus mendukung langkah Dahlan Iskan yang ingin membongkar praktik kotor sejumlah wakil rakyat di Senayan. Lantas bagaimana dengan praktik kotor serupa yang dilakukan para pemangku kekuasaan atas BUMN. Menjadi tidak fair bila langkah Dahlan hanya tertuju pada politikus Senayan.
Sudah menjadi rahasia umum, praktik kotor menjadikan BUMN sebagai sapi perah bukan hanya didominasi politikus Senayan melainkan juga pejabat tinggi yang memiliki otoritas terkait dengan status BUMN. Bukankah ’’atasan’’ BUMN itu tidak hanya menteri BUMN, meskipun secara struktural tidak membawahi secara langsung.
Secara hierarki lembaga lain setingkat kementerian, selain DPR, ada kementerian yang secara teknis terkait dengan BUMN tertentu. Yang terkait Istana adalah Sekretariat Kabinet (Setkab) dan Sekretariat Negara (Setneg) yang berperilaku kurang lebih sama dengan politikus Senayan, dengan mengatasnamakan Presiden. Hal yang membedakan, kongkalikong yang dibangun para pemangku kekuasaan itu terhadap BUMN lebih santun dan ’’cerdas’’, tidak sevulgar atau sekasar yang biasa dilakukan politikus Senayan. Pendek kata, modus operandi mereka terkait dengan kepentingan dan posisi dirut BUMN bersangkutan.
Mental Buruk
Praktik kotor berupa pemberian upeti, sogok, hadiah, uang jasa, ungkapan terima kasih, dan beragam istilah lain diyakini merupakan warisan kolonial, tetapi ’’dilembagakan’’ oleh rezim Orde Baru sehingga terlanjur menjadi sikap mental yang sulit diubah. Reformasi birokrasi yang didengang-dengungkan bagaikan berteriak di tengah padang pasir, kafilah terus berlalu, tidak menyentuh masalah dasar yang harus direformasi.
Bahwa birokrat, penyelenggara negara, dan pemangku kekuasaan saat ini adalah wajah baru tetapi stok lama. Dengan kata lain mereka adalah birokrat yang dibesarkan oleh rezim masa lalu yang terlanjur memiliki sikap mental buruk dan perilaku korup. Tak mudah mengubah sikap mental seperti itu untuk menjadi baik. Perubahan itu memerlukan waktu panjang, serta harus dibarengi dengan kekonsistenan dan keteladanan para pemimpin.
Masuknya orang-orang partai dalam jajaran pemerintahan, duduk di kabinet ternyata tidak membawa perubahan secara signifikan. Bahkan mereka terjebak dalam kubangan praktik kotor bawahannya hingga menyandera tidak hanya dirinya tetapi juga partai yang menjadi tempat bernaung.
Termasuk Presiden SBY yang terjerembab dalam kubangan lumpur politikus busuk ketika sejumlah pimpinan teras Partai Demokrat menjadi tersangka dalam berbagai perkara. Beruntung ada Dahlan Iskan yang siap membongkar nama-nama politikus Senayan yang berperilaku buruk. Termasuk kesiapan menanggung semua risiko, terburuk sekalipun, yaitu kehilangan kursi empuk menteri.
Waktu pula yang akan menguji langkah Dahlan, artinya seberapa jauh dia bersungguh-sungguh membongkar bukan hanya perilaku buruk politikus Senayan melainkan juga modus operandi koleganya di kabinet yang acapkali berkongkalikong dengan para pejabat BUMN. Bila langkah itu berhasil, sejarah mencatat sebagai pejabat yang berani, serta bersih dan patut menjadi teladan. ●
Pengalaman para dirut BUMN bermitra kerja dengan DPR kurang lebih sama. Mantan Direktur Utama Pertamina Ariffi Nawawi (2003-2004) mengatakan ia harus mondar-mandir ke Senayan, pernah dalam sebulan lebih dari dua kali dipanggil DPR, gara-gara pernyataannya ingin membebaskan Pertamina sebagai sapi perah.
Akibatnya, waktu habis untuk mengikuti rapat dengar pendapat dengan DPR hingga kinerjanya tidak maksimal. Ujung-ujungnya terkait dengan jatah proyek dan keuntungan lain. Pengalaman lain dituturkan Wijanarko Puspoyo, mantan Dirut PT Bulog yang mengaku harus menyiapkan Rp 100 miliar terkait dengan pengadaan pesawat tempur Sukhoi dari Rusia tahun 2003.
Pengungkapan skandal pemberian cek perjalanan terkait dengan pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia yang dimenangi Miranda Swaray Gultom oleh KPK dan menggiring 24 anggota DPR periode 1999-2004, dari predikat wakil rakyat yang terhormat ke pesakitan, menjadi bagian sejarah hitam parlemen. Miranda pun menjadi pesakitan, dan proses hukum para tersangka kasus ini masih berlangsung.
Belakangan praktik kotor itu bukannya makin surut melainkan sebaliknya, politikus Senayan makin berani dan terang-terangan minta jatah. Karena itu, publik harus mendukung langkah Dahlan Iskan yang ingin membongkar praktik kotor sejumlah wakil rakyat di Senayan. Lantas bagaimana dengan praktik kotor serupa yang dilakukan para pemangku kekuasaan atas BUMN. Menjadi tidak fair bila langkah Dahlan hanya tertuju pada politikus Senayan.
Sudah menjadi rahasia umum, praktik kotor menjadikan BUMN sebagai sapi perah bukan hanya didominasi politikus Senayan melainkan juga pejabat tinggi yang memiliki otoritas terkait dengan status BUMN. Bukankah ’’atasan’’ BUMN itu tidak hanya menteri BUMN, meskipun secara struktural tidak membawahi secara langsung.
Secara hierarki lembaga lain setingkat kementerian, selain DPR, ada kementerian yang secara teknis terkait dengan BUMN tertentu. Yang terkait Istana adalah Sekretariat Kabinet (Setkab) dan Sekretariat Negara (Setneg) yang berperilaku kurang lebih sama dengan politikus Senayan, dengan mengatasnamakan Presiden. Hal yang membedakan, kongkalikong yang dibangun para pemangku kekuasaan itu terhadap BUMN lebih santun dan ’’cerdas’’, tidak sevulgar atau sekasar yang biasa dilakukan politikus Senayan. Pendek kata, modus operandi mereka terkait dengan kepentingan dan posisi dirut BUMN bersangkutan.
Mental Buruk
Praktik kotor berupa pemberian upeti, sogok, hadiah, uang jasa, ungkapan terima kasih, dan beragam istilah lain diyakini merupakan warisan kolonial, tetapi ’’dilembagakan’’ oleh rezim Orde Baru sehingga terlanjur menjadi sikap mental yang sulit diubah. Reformasi birokrasi yang didengang-dengungkan bagaikan berteriak di tengah padang pasir, kafilah terus berlalu, tidak menyentuh masalah dasar yang harus direformasi.
Bahwa birokrat, penyelenggara negara, dan pemangku kekuasaan saat ini adalah wajah baru tetapi stok lama. Dengan kata lain mereka adalah birokrat yang dibesarkan oleh rezim masa lalu yang terlanjur memiliki sikap mental buruk dan perilaku korup. Tak mudah mengubah sikap mental seperti itu untuk menjadi baik. Perubahan itu memerlukan waktu panjang, serta harus dibarengi dengan kekonsistenan dan keteladanan para pemimpin.
Masuknya orang-orang partai dalam jajaran pemerintahan, duduk di kabinet ternyata tidak membawa perubahan secara signifikan. Bahkan mereka terjebak dalam kubangan praktik kotor bawahannya hingga menyandera tidak hanya dirinya tetapi juga partai yang menjadi tempat bernaung.
Termasuk Presiden SBY yang terjerembab dalam kubangan lumpur politikus busuk ketika sejumlah pimpinan teras Partai Demokrat menjadi tersangka dalam berbagai perkara. Beruntung ada Dahlan Iskan yang siap membongkar nama-nama politikus Senayan yang berperilaku buruk. Termasuk kesiapan menanggung semua risiko, terburuk sekalipun, yaitu kehilangan kursi empuk menteri.
Waktu pula yang akan menguji langkah Dahlan, artinya seberapa jauh dia bersungguh-sungguh membongkar bukan hanya perilaku buruk politikus Senayan melainkan juga modus operandi koleganya di kabinet yang acapkali berkongkalikong dengan para pejabat BUMN. Bila langkah itu berhasil, sejarah mencatat sebagai pejabat yang berani, serta bersih dan patut menjadi teladan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar