Babak Baru
Centurygate
Febri Diansyah ; Pegiat
Antikorupsi; Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS,
20 November 2012
Hujan di bulan November ini membawa ingatan
saya pada tanggal-tanggal sibuk empat tahun lalu. Bank Century, yang notabene
sebuah bank kecil, ”disuntik” dana segar lebih dari Rp 6,7 triliun.
Tidak boleh ada bank gagal saat itu karena
membahayakan perekonomian Indonesia. Mereka menyebutnya dengan istilah risiko
dan dampak sistemik.
Setidaknya ada 18 peristiwa penting terkait
kasus Bank Century saat itu, sebagian penuh kejanggalan. Sebut saja sederet
kejadian 14 November 2008 ketika kebijakan pemberian fasilitas pendanaan
jangka pendek (FPJP) pada Bank Century sebesar Rp 689,34 miliar diputuskan.
Hari itu terjadi sejumlah hal yang nyaris
tak masuk akal, mulai dari pelaksanaan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia
lanjutan, yang membicarakan perubahan peraturan Bank Indonesia (PBI). Ini
diduga sebagai upaya memuluskan talangan untuk Bank Century. Lalu, penyusunan
draf revisi PBI; penyampaian kepada Menteri Hukum dan HAM untuk diteliti;
penerbitan PBI No 10/30/PBI/2008 yang mengubah PBI No 10/26/ PBI/2006;
penerbitan surat edaran tentang petunjuk pemberian FPJP, pengajuan oleh Bank
Century, penelitian persyaratan FPJP oleh BI; perjanjian FPJP di depan
notaris antara BI dan Bank Century, hingga pencairan FPJP pertama Rp 356,81
miliar. Semua terjadi di satu hari yang sibuk.
Demikian juga pada 21 November 2008, hari
bersejarah bagi Bank Century. Setelah melewati rapat panjang sejak tengah
malam, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang dibentuk berdasarkan
Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, menetapkan
Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Padahal, kabarnya saat
itu sejumlah pihak yang hadir justru tak meyakini Century akan berdampak
sistemik. Bahkan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
mengingatkan, jika bank ukuran kecil dianggap berisiko sistemik, ini justru merugikan
citra perbankan Indonesia yang terkesan sangat rapuh.
Namun, keputusan KSSK ternyata belum cukup.
Agaknya ada pihak yang meragukan dasar hukum perppu yang rapuh jika nanti
ditolak DPR. Dalam catatan rapat yang dimulai pukul 05.30 pada hari yang sama,
terdapat notulen Komite Koordinasi dengan dua kesimpulan: menyerahkan
penanganan Century pada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana
ditetapkan KSSK, dan LPS akan menangani berdasarkan UU No 24/2004.
Cerdik, karena KSSK hanya dikenal di
Perppu, sedangkan di dalam UU No 24/2004 hanya dikenal Komite Koordinasi.
Ternyata benar, 18 Desember 2008, DPR tidak menyetujui Perppu JPSK tersebut.
Sungguh dua hari yang sibuk di bulan November.
Kita tahu, kemudian Parlemen mempersoalkan
kebijakan ini melalui Panitia Khusus. Proses politik yang hiruk pikuk ini
berakhir dengan sekadar rekomendasi pada penegak hukum, yang tidak
menyelesaikan masalah. Akhirnya, bola panas berada di tangan KPK. Hampir tiga
tahun berselang, proses hukum skandal perbankan ini masih diproses
penyelidikan, yang dimulai sejak Desember 2009. KPK telah memeriksa lebih
dari seratus saksi dan ahli. Bagaimana masa depan kasus ini?
Babak Baru
Secara mengejutkan beberapa pimpinan KPK
menyampaikan sejumlah kejanggalan dalam proses penyelamatan Bank Century.
Pada minggu ketiga November ini direncanakan akan ada ekspose kasus yang
dapat berujung pada peningkatan status ke penyidikan dan esoknya akan
dilakukan pertemuan dengan tim pengawas Century di DPR. Apa yang kira-kira
akan terjadi? Tersangka baru? Atau, KPK kembali mengatakan, ”Kami akan
mendalami kasus ini?”
Mencermati sejumlah pernyataan KPK,
harusnya lembaga ini tak terganjal lagi dengan pembuktian unsur melawan hukum
di balik kebijakan Century. Sebutlah pemberian FPJP yang melanggar PBI bahkan
ketika sudah diubah sekalipun, perjanjian FPJP yang kontroversial, kondisi
bank yang bermasalah sejak awal, keraguan dalih risiko sistemik, serta
potensi kerugian keuangan negara, atau bahkan debat soal kebijakan tidak bisa
dipidana.
Belajar dari kasus BLBI
KPK bisa mempelajari sejumlah yurisprudensi
Mahkamah Agung dan putusan pengadilan lain, baik kasus yang ditangani KPK
ataupun Polri dan kejaksaan. Terkait dengan kasus BLBI yang menjerat sejumlah
Direktur BI tahun 1997, ICW menemukan tiga putusan pengadilan yang bisa
dipelajari KPK, yaitu Putusan MA No 977, 979, 981 K/Pid/2004 tanggal 10 Juni
2005 yang diketuai oleh Ketua MA Bagir Manan waktu itu.
Semua terdakwa divonis melakukan korupsi
secara bersama-sama dan dihukum penjara satu tahun enam bulan. Kasus ini
sempat menjadi perdebatan karena di pengadilan tinggi mereka dinyatakan lepas
dengan alasan kebijakan tidak bisa dipidana dan perbuatan bukan tindak
pidana.
Kasus ini menarik karena dalam dakwaan JPU
disebutkan adanya perbuatan bersama-sama tiga terdakwa (Heru Soepraptomo,
Hendrobudiyanto, dan Paul Soetopo S) dengan Boediono, Mukhlis Rasyid,
Haryono, dan J Soedrajad Djiwandono. Kasus ini berawal dari hasil keputusan
Direksi BI pada rapat 15 Agustus dan 20 Agustus 1997 yang memberikan
kelonggaran fasilitas terhadap sejumlah bank ketika dikhawatirkan terjadi
persoalan likuiditas dan penarikan dana oleh nasabah (rush). Perhitungan
kerugian negara menurut JPU adalah Rp 18,16 triliun, yang merupakan bantuan
likuiditas BI dihitung dari pemberian fasilitas saldo debet dengan
menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum.
Apa yang bisa dipelajari dari tiga putusan
MA di atas? Pertama, yang terpenting adalah, tidak benar sebuah kebijakan
tidak bisa dipersoalkan dengan UU Tindak Pidana Korupsi. Jika pembuat kebijakan
melanggar sejumlah aturan hukum dan lahir penyalahgunaan wewenang, merugikan
keuangan negara dan menguntungkan diri sendiri atau pihak lain, pembuat
kebijakan bisa dijerat UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, unsur kesengajaan pembentuk kebijakan
tidak harus dibuktikan dengan adanya kickback atau keuntungan yang diterima
pejabat itu. Khusus poin kedua ini, KPK juga pernah menangani sejumlah kasus,
termasuk kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia senilai
Rp 100 miliar dengan salah satu terdakwa mantan Gubernur BI Burhanuddin
Abdullah, bahkan hanya dengan ukuran ”kepatutan” pada unsur melawan hukum
materiil.
Memang, ketika kebijakan diambil tahun
1997, aturan yang berlaku adalah UU Nomor 3 Tahun 1971. Namun, melihat unsur
Pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 sebagaimana diubah UU No 20/ 2001 yang berlaku
saat ini, tampaknya tak ada perbedaan mendasar. Pada UU baru justru
ditegaskan korupsi sebagai delik formil, potensi kerugian keuangan negara
sudah cukup dan bahkan diatur di Pasal 4 bahwa pengembalian kerugian keuangan
negara tak membuat seseorang bebas dari pidana korupsi.
Sekarang, tinggal bagaimana KPK menempatkan
fakta-fakta hukum yang sudah ditemukan dalam skandal Bank Century dalam UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Independensi KPK diuji dalam kasus ini.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar