Perokok
Bertambah, Petani Menjerit
Kartono Mohamad ; Penggiat Pengendalian Tembakau
|
KOMPAS,
21 September 2012
Hasil survei Global Adult Tobacco Survey yang
diluncurkan Menteri Kesehatan beberapa hari lalu menunjukkan bahwa jumlah
perokok di kalangan orang dewasa di Indonesia naik signifikan.
Dari 53,9 persen (1995)
menjadi 70 persen (2012). Dengan prevalensi seperti sekarang, persentase
perokok dewasa di Indonesia menjadi nomor satu di dunia. Ini mengungguli China
dan India meski jumlah absolut tentu kalah karena jumlah penduduk mereka yang
lima kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan Indonesia.
Dampak terhadap kesehatan
dan biaya mengobatinya juga meningkat. Jika ditambah beban ekonomi tak
langsung, kerugian ekonomi makin besar. Menkes Nafsiah Mboi mengungkapkan,
kerugian makroekonomi akibat konsumsi rokok diperkirakan Rp 245,4 triliun atau
seperempat dari total APBN 2012 dan empat kali lebih besar dibandingkan
penerimaan cukai rokok yang sering dijadikan dalih tentang besarnya sumbangan
ekonomi perokok (pembayar cukai adalah perokok, bukan industri rokok).
Peningkatan konsumsi rokok
juga tecermin dari peningkatan produksi rokok. Berdasarkan data Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI,
produksi rokok yang 220 miliar batang (2006) sudah menjadi 270 miliar batang
(2010). Kalau harga per batang Rp 500, berarti Rp 135 triliun dibakar perokok
Indonesia setahun. Kenaikan produksi rokok seharusnya meningkatkan pembelian
tembakau dari petani. Namun, petani tembakau menjerit
karena industri rokok tak mau membeli hasil panen petani. Pabrik rokok lebih
memilih tembakau impor.
Data BPS menunjukkan, dalam
kurun Januari-Juli 2012, total impor tembakau asal China 45.507,44 ton 191,4
juta dollar AS. Selain dari China, Indonesia mengimpor tembakau dari Turki
5.009,2 ton (31,74 juta dollar AS), dari India 6.308,02 ton (23,75 juta dollar
AS), dari AS 2.907,17 ton (21,43 juta dollar AS), dari Brasil 2.517,02 ton
(19,15 juta dollar AS), dan dari negara lain total 20.637,26 ton (94,96 juta
dollar AS).
Banyak Dalih
Kalangan industri umumnya
punya alasan lain mengapa mereka tak mau membeli tembakau produksi petani
lokal. Kompas pernah memberitakan bahwa di Mataram lima perusahaan tak membeli
ataupun mengurangi pembelian tembakau tahun ini, tetapi menampung produk daun
tembakau yang dibudidayakan petani mitra kerjanya.
Niat itu dikeluhkan petani
swadaya atau nonmitra perusahaan yang tak bisa memasarkan produk di tengah menurunnya
harga jual Rp 2,5 juta per kuintal tahun lalu menjadi Rp 1,8 juta per kuintal.
Sesuai ketentuan, perusahaan berkewajiban membeli 20 persen dari total produksi
petani swadaya.
Di Kendal lain lagi
alasannya. Pemilik gudang tembakau pabrik rokok Sampoerna di sana, Robby,
mengakui setakat ini pihaknya belum
mau beli tembakau dari Kendal sebab banyak mengandung zat kimia (Kompas).
Sementara itu, penurunan pembelian tembakau lokal di Temanggung beralasan lain:
stok di gudang masih banyak.
Apa pun alasannya,
petani tembakau menjerit akibat tata niaga tembakau yang tak adil: menempatkan
posisi tawar petani sangat rendah terhadap tengkulak dan pemilik pabrik.
Sementara, pabrik rokok tetap membeli tembakau impor, ini terbukti dari impor
yang meningkat dari tahun ke tahun.
Di sisi lain, pemerintah
membiarkan impor terus terjadi. Pembuangan devisa untuk hal yang membahayakan
kesehatan sekaligus mengancam petani tembakau.
Ada pembela rokok yang mengatakan,
impor terjadi karena rancangan peraturan pemerintah (RPP) mengharuskan
standardisasi kandungan tembakau. Ini mengada-ada karena RPP hingga sekarang
belum keluar. Impor sendiri sudah berlangsung lama, barangkali sekitar sepuluh
tahun, bahkan sebelum UU Kesehatan disahkan parlemen.
Ada juga yang mengatakan
bahwa pabrik rokok tak membeli tembakau karena ketakutan RPP akan terbit. Ini
makin tak masuk akal. Isu pengendalian tembakau sudah berlangsung lama, tetapi
produksi tetap meningkat pesat dan impor tembakau juga meningkat.
Bahkan, dari negara-negara
yang di dalam negerinya sudah mengetatkan konsumsi rokok. Suatu bukti bahwa
pengaturan konsumsi rokok tak membuat petani tembakau di China, AS, Turki, dan
Brasil mati. Bahkan, bisa ekspor ke Indonesia.
Petani
tembakau akhir-akhir ini menjadi sengsara bukan karena RPP yang tak kunjung
muncul, melainkan oleh ulah tengkulak dan pabrik rokok. Namun, ketika petani
tembakau menjerit, politisi parlemen dan pemerintahan yang semula menolak RPP
dengan dalih mengancam petani tembakau justru diam saja. Siapa sebenarnya yang
mereka bela? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar