Selasa, 07 Agustus 2012

Menggantang Asap


Menggantang Asap
Syamsuddin Haris ; Profesor Riset LIPI
KOMPAS, 07 Agustus 2012


Tinggal hitungan bulan bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengukir prestasi dan menorehkan tinta emas bagi Ibu Pertiwi tercinta sebelum 2014. Namun, lagi-lagi yang terdengar hanya sekadar curahan hati tentang kinerja kabinet, kongkalikong anggaran, dan soal-soal lainnya. Sampai kapan kita harus menganyam asa?

Betapa tidak, di tengah penantian panjang publik akan adanya terobosan kepemimpinan presiden dalam menyelesaikan berbagai soal bangsa kita, SBY hanya berhenti pada keluh kesah. Mulai soal menteri-menteri dari partai politik yang sibuk dengan kepentingan parpol masing-masing hingga masalah anarki dan kekerasan yang katanya bukan hanya tugas kepolisian. Tidak ada yang salah dengan berbagai ”curhat” presiden itu. Hanya saja, curhat-curhat yang terlalu sering dan berulang kali dikemukakan bukan hanya membuat kita jenuh, melainkan juga membenarkan sinyalemen betapa lemah sosok SBY.

Tentu tak akan pernah ada permasalahan bangsa dan negara yang bisa dituntaskan jika seorang presiden hanya pandai berkeluh kesah. Yang diperlukan dari seorang presiden adalah perintah dan instruksi yang spesifik terhadap para pembantunya sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab mereka masing- masing. Jika tak ada perintah dan instruksi spesifik terhadap pejabat atau menteri tertentu dari presiden dengan mekanisme hukuman dan ganjaran tertentu pula, aneka persoalan bangsa pun akhirnya terus menggantung di bibir kering para penyelenggara negara.

Kinerja Menteri Parpol

Dalam soal kinerja para menteri dari parpol, tidak pada tempatnya bagi presiden mengeluhkan kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Kabinet yang beraroma politik untuk mengakomodasi kepentingan parpol pendukung adalah pilihan SBY sendiri.

Meskipun diakui ada kontrak politik bahkan pakta integritas antara SBY dan para menteri, khususnya dari parpol, ironisnya presiden tak pernah berani menghukum parpol koalisi yang menentang kebijakan pemerintah. Terakhir, walaupun Partai Keadilan Sejahtera di DPR menolak kebijakan pemerintah terkait bahan bakar minyak, SBY justru tetap membiarkan menteri-menteri dari PKS ”tidur nyenyak” dalam kabinet.

Oleh karena itu, jika Presiden SBY mempersoalkan kinerja para menteri dari parpol yang sibuk mengurus parpolnya masing-masing, itulah risiko politik yang harus diterima dari format kabinet yang sejak awal bersifat politik.

Permintaan mundur bagi menteri yang sibuk berpolitik, lalai melayani rakyat, ataupun ditengarai bersekongkol menyalahgunakan dana APBN tidak akan pernah digubris oleh para menteri selama Presiden SBY sendiri tak pernah bisa bersikap tegas dan memberi contoh penindakan atau hukuman bagi mereka yang balela. Para menteri kabinet juga tampaknya sudah hafal karakter SBY. Jika tidak terbukti secara hukum melakukan tindak pidana dan perbuatan asusila, mereka akan merasa ”aman” dalam KIB II.

Karena itu, soal kinerja para menteri dari parpol sebenarnya lebih merupakan problem SBY sendiri ketimbang masalah bagi menteri-menteri yang bersangkutan. Selama Presiden SBY tak pernah berani menggunakan hak konstitusinya memberhentikan menteri yang tak loyal ataupun berkinerja buruk, maka selama itu pula Kepala Staf Sosial Politik ABRI era Soeharto ini bakal terpenjara oleh ”curhat” dan keluh kesah sendiri hingga Pemilu 2014.

Menggantang Asap

Apabila Presiden SBY mengharapkan para menteri yang ditengarai berkinerja buruk itu sadar, lalu insaf, dan akhirnya benar-benar mundur dari kabinet, jelas ia keliru bahkan cenderung sebagai harapan yang sia-sia alias menggantang asap. Kultur politik para petinggi politik negeri ini hampir tak mengenal tradisi mundur. Sebaliknya, yang sering dipertontonkan adalah kultur pantang mundur: mempertahankan jabatan tanpa malu, apalagi rasa bersalah. Demi kekuasaan, acap kali integritas pribadi dikorbankan dan harga diri digadai serta diperjualbelikan.

Perumpamaan ”bagai menggantang asap” juga dapat dikenakan bagi publik yang berharap SBY bisa berubah menjadi lebih cepat, lebih tegas, serta lebih berani mengambil risiko, dan berani tidak populer dibandingkan dengan sebelumnya. Harapan seperti ini juga cenderung sia-sia karena bertolak belakang dengan watak personal SBY. Lebih dari tujuh tahun kepemimpinan SBY di negeri ini bukanlah waktu yang pendek bagi publik menantikan perubahan gaya kepemimpinan jenderal kelahiran Pacitan, Jawa Timur, ini, tetapi hal itu tak kunjung terjadi.

Soalnya, tanpa perubahan gaya kepemimpinan presiden, kinerja kabinet tidak akan pernah lebih baik. Peringatan dan permintaan SBY agar menteri yang tidak loyal lebih baik mundur pada akhirnya akan dianggap angin lalu saja oleh para pembantu presiden. Para menteri dari parpol akan terus asyik memanfaatkan jabatan mereka memperbesar pundi-pundi parpol masing-masing.

Presiden SBY lagi-lagi hanya curhat dan tidak bertindak apa pun meski mengaku geram atas informasi sahih tentang ”kongkalikong” anggaran (APBN) antara oknum eksekutif pembantunya dan legislatif. Mengapa SBY tak langsung memanggil Jaksa Agung dan Kepala Polri menindaklanjuti jika benar memiliki informasi sahih tentang pelanggaran yang dilakukan para pembantunya? Bukankah Presiden SBY merupakan ”panglima tertinggi” dalam penegakan hukum di negeri kita saat ini?

Pertanyaan serupa juga bisa diajukan terkait kinerja menteri dari parpol. Mengapa presiden tidak memberhentikan saja menteri-menteri yang tidak becus dan memiliki loyalitas ganda itu?

Apa boleh buat, pertanyaan-pertanyaan seperti ini masih akan mewarnai perjalanan bangsa kita hingga 2014 karena berharap jawab atasnya juga dapat diibaratkan sebagai menggantang asap, suatu harapan sia-sia yang tak akan pernah terjadi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar