Kontroversi
Moratorium Ekspor Gas
Eddy Purwanto ; Mantan Deputi BP Migas
KOMPAS,
06 Agustus 2012
Seolah klimaks dalam polemik isu gas
domestik, salah satu fraksi partai besar di DPR tampil dengan usulan
”moratorium ekspor gas”.
Usulan ini didasari pertimbangan peran gas
sebagai komoditas strategis. Fraksi ini menuntut agar pemerintah segera
mengumumkan moratorium ekspor gas, selanjutnya memanfaatkan gas hanya untuk
kepentingan domestik.
Gayung pun bersambut. Pemerintah tengah
mempertimbangkan pemberlakuan moratorium atau penghentian kontrak ekspor gas
bumi yang baru dan selanjutnya gas dimanfaatkan di dalam negeri. Direktur
Jenderal Migas Kementerian ESDM menyatakan, pemerintah berniat mengubah
paradigma pemanfaatan gas dari sebelumnya hanya sebagai sumber penerimaan
negara menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pemanfaatan gas sebagai
pendorong pertumbuhan ekonomi akan memberi dampak berantai yang jauh lebih
besar bila dibandingkan hanya sebagai penerimaan devisa negara.
Sungguh ironis! Sejatinya ketentuan sejenis
moratorium sudah hadir sejak tujuh tahun lalu. Namun karena berbagai kendala
politik, tekno-ekonomi dan infrastruktur, maka ketentuan pelarangan atau
pembatasan ekspor gas seolah mandul, bahkan dimakzulkan. Beberapa aturan
pelarangan atau pembatasan ekspor tersebut hingga hari ini masih berlaku atau
belum dibatalkan. Apakah perlu aturan moratorium baru, sementara aturan yang
lama masih berlaku?
Moratorium versi 2005
Alkisah, pada 21 November 2005, Wakil
Presiden RI memimpin rapat khusus tentang ketersediaan gas domestik. Salah satu
hasil rapat dimaklumatkan dalam bentuk surat edaran oleh Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian. Surat bernomor S288/M.EKON/12/2005 tanggal 2 Desember 2005
itu ditujukan kepada para pemangku kebijakan. Isi instruksi memuat tiga fatwa
terkait moratorium yaitu: (1) tidak memperpanjang kontrak- kontrak penjualan
LNG gas ke luar negeri; (2) tidak membuat kontrak baru penjualan LNG/gas ke
luar negeri; dan (3) produksi gas Indonesia harus diutamakan digunakan dalam
negeri untuk keperluan PLN dan industri.
Sampai hari ini, instruksi moratorium
tersebut belum dibatalkan. Saat itu yang dianggap menjadi kendala utama bagi
para pemangku kepentingan adalah masih rendahnya harga gas domestik sehingga
menimbulkan keengganan pelaku usaha untuk mengembangkan lapangan gas baru.
Kendala utama lainnya adalah belum tersedianya infrastruktur distribusi menuju
sentra-sentra konsumen dan industri, seperti fasilitas regasifikasi,
penyimpanan, dan jaringan pipa yang butuh biaya tinggi.
Moratorium Bersayap
Berbagai tekanan teknis dan nonteknis
membayangi pelaksanaan moratorium. Salah satunya defisit APBN yang membengkak,
dipicu penurunan cadangan dan produksi minyak, diduga telah memaksa pemerintah
bersikap agak longgar terhadap moratorium ekspor gas. Dengan harapan mengundang
hadirnya investasi besar-besaran di sektor migas.
Pada 24 Oktober 2007, Menko Perekonomian yang
baru—tanpa perlu merujuk kebijakan sebelumnya—telah menerbitkan aturan melalui
surat No S-110/M.EKON/10/2007 yang ditujukan kepada Menteri ESDM. Surat yang
ditembuskan ke beberapa pemangku kepentingan itu menyampaikan perintah agar
memprioritaskan produksi gas untuk pemenuhan kebutuhan gas dalam negeri, baik
untuk pembangkit listrik maupun untuk kebutuhan industri, dengan harga yang
wajar. Sepanjang persyaratan ini dipenuhi, penjualan gas untuk ekspor
dimungkinkan.
Maklumat tersebut tentunya berlaku bagi
seluruh pelaku usaha hulu migas di Indonesia, khususnya pelunakan moratorium
yang tersurat: ”sepanjang persyaratan dipenuhi, maka penjualan gas oleh para
pengembang untuk ekspor dimungkinkan”. Namun, bila yang dimaksud persyaratan
itu dikaitkan dengan ”Neraca Gas Bumi Nasional” yang diterbitkan Kementerian
ESDM, moratorium seharusnya masih berlaku karena hingga detik ini neraca gas
masih defisit.
Maklumat Menko Perekonomian yang baru seolah
bersayap sehingga memberi ruang multitafsir. Namun, fatwa moratorium warisan
Menko Perekonomian sebelumnya tak dibatalkan alias masih berlaku hingga kini.
Di tengah hiruk pikuk politik menjelang
Pemilu 2009, merebak polemik isu proyek Donggi-Senoro, yang sempat terangkat
hingga ke meja Wakil Presiden RI. Menolak permohonan izin ekspor, Wakil
Presiden RI pada 7 Juli 2009 menyampaikan fatwa melalui surat No 23/WP/7/2009.
Pertama, menegaskan kembali kebijakan energi
pemerintah mendahulukan kepentingan pemenuhan energi nasional sesuai hasil
rapat tanggal 3 Juni 2009. Kedua, kebijakan ini sudah dilaporkan kepada
Presiden dan menyetujui sepenuhnya.
Selepas Pemilu 2009, dengan bergantinya wapres,
isu ekspor gas mencuat kembali dan jadi polemik hingga ke DPR. Tampaknya,
menjelang Pemilu 2014, polemik gas domestik akan berulang, tetapi dengan latar
belakang dan kepentingan berbeda.
Moratorium versi 2010
Selepas Pemilu 2009, awal tahun 2010 Menteri
ESDM yang baru, setelah mencermati berbagai isu, pada 27 Januari 2010
memaklumatkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 Tahun 2010 tentang Alokasi dan
Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan dalam Negeri. Beberapa pasal
yang terkait dengan kebijakan ekspor gas adalah sebagai berikut.
Pertama, menteri menetapkan kebijakan alokasi
dan pemanfaatan gas bumi dengan mengupayakan agar kebutuhan dalam negeri dapat
dipenuhi secara optimal. Kedua, bila kebutuhan gas bumi dalam negeri telah
dapat dipenuhi, menteri dapat menetapkan kebijakan lain atas alokasi dan
pemanfaatannya.
Peraturan Menteri ESDM tersebut memaklumkan
bahwa wewenang menentukan alokasi gas di Republik ini berada di tangan Menteri
ESDM, termasuk larangan atau pembatasan ekspor yang masih berlaku hingga kini.
Dari informasi di atas, sejatinya sudah sejak
lama Indonesia memiliki kebijakan moratorium ekspor gas. Namun, tanpa political
will yang kuat, mustahil akan dapat diwujudkan. Wacana menerbitkan aturan
moratorium yang baru sah-sah saja, tetapi nasibnya akan sama bila kendala
pokoknya belum ditangani. Terutama terkait kurangnya infrastruktur transportasi
dan distribusi gas menuju sentra konsumen dan industri, seperti fasilitas
regasifikasi dan jaringan pipa.
Kendala moratorium dari sisi pasokan adalah
kesulitan mengembangkan lapangan gas raksasa yang sudah lama ”tidur”, seperti
Blok East Natuna, karena dirongrong tingginya biaya pengembangan. Tanpa
pemberian insentif besar-besaran, harga gas domestik yang dihasilkan pengembang
sulit terjangkau oleh masyarakat pengguna gas.
Ditambah lagi dengan hambatan dari sisi
hilir, tata niaga gas bumi yang belum efisien membutuhkan pembenahan yang
serius, terutama terhadap praktik monopoli dan ditabraknya prinsip-prinsip unbundling oleh perusahaan transportasi
gas sehingga cenderung merugikan pengguna gas, termasuk industri lokal yang
sulit bersaing di pasar global.
Tanpa perhatian khusus pemerintah atas
kendala-kendala di atas, dari hulu hingga hilir, apakah dijamin kebijakan
moratorium yang baru akan efektif memenuhi kebutuhan gas domestik? Jawabannya: tidak! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar