Sabtu, 11 Agustus 2012

Kekerasan di Sekolah


Kekerasan di Sekolah
Mohammad Abduhzen ; Direktur Eksekutif
Institute for Education Reform Universitas Paramadina
KOMPAS, 11 Agustus 2012


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa tidak boleh ada lagi pendidikan yang disertai kekerasan baik di sekolah maupun perguruan tinggi.
Pernyataan itu disampaikan menanggapi kekerasan di beberapa sekolah terkait masa orientasi sekolah baru-baru ini.

Kekerasan di sekolah ternyata tak hanya terjadi ketika masa orientasi sekolah, juga sepanjang tahun dengan beragam modus, intensitas, dan pelaku. Data yang dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukkan bahwa dari 1.026 responden, 87,6 persen anak mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah. Dari persentase itu, 29,9 persen kekerasan dilakukan guru, 42,1 persen oleh teman sekelas, dan 28,0 persen oleh teman lain kelas.

Menghilangkan perilaku kekerasan di lingkungan pendidikan bukan perkara mudah. Faktor penyebabnya sangat kompleks. Paulus Wirutomo (2007) menyebutkan bahwa kekerasan dapat disebabkan faktor yang bersifat individual, kultural, dan struktural. Perpeloncoan, menurut Guru Besar Sosiologi UI itu, merupakan wujud kekerasan struktural: sekolah kasih kesempatan dan wewenang resmi kepada senior melakukan kekerasan atas yunior.

Kekerasan adalah satu pilihan di antara sejumlah kemungkinan perilaku. Secara psikologis memang pelajar adalah anak muda yang tengah mengalami pancaroba, mencari identitas diri dan pengakuan. Yang jadi persoalan, mengapa tindak kekerasan bera-da dalam urutan teratas dalam jiwa, lalu jatuh sebagai pilihan para pelaku? Ini tentu berkorelasi dengan bagaimana persekolahan dan proses pembelajarannya diselenggarakan.

Pertama, kondisi lingkungan fisik pendidikan kita tak mendukung hadirnya rasa aman dan nyaman. Arsitektur sekolah kebanyakan dibangun memanjang dan terbuka seperti barak darurat tanpa memperhitungkan sisi- sisi edukatif. Situasi serupa itu, selain sulit memungkinkan kontrol, memudahkan pihak/pengaruh luar untuk masuk, juga mengurangi perasan terayomi.

Kedua, pembelajaran di seko- lah kurang mengembangkan kemampuan memilih sehingga murid dan lulusannya sering kesukaran memutuskan pilihan secara benar dan tepat. Memilih adalah proses mental yang mendahului setiap tindakan sadar dan menuntut sejumlah data pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan menalar.

Meskipun filosofi pendidikan kita mencerdaskan kehidupan bangsa, strategi pemelajarannya tak mementingkan pengembangan kemampuan berpikir. Kuriku- lum dan metodologi pendidikan nasional dirancang lebih mengisi pikiran dengan seabrek fakta pengetahuan; tak memberi cukup ruang bagi tumbuhnya kemampuan nalar sehingga pemelajaran di sekolah tak mencerahkan.

Ketiga, relasi dalam pemela- jaran di sekolah kita sangat tidak demokratis. Bertahun-tahun murid jadi obyek dominasi guru yang memosisikan diri sebagai sumber utama belajar dan kebenaran. Kebanyakan guru mengajar secara otoriter tanpa memberi kesempatan bagi murid mengekspresikan dan memekarkan potensi dirinya. Anak tidak mendapat pengakuan, kenikmatan, dan kepuasan dalam proses pemelajaran yang kemudian berakumulasi mencari penyalurannya sendiri.

Keempat, iklim pemelajaran yang menegangkan, terlebih dengan adanya ujian nasional, bercampur dengan ketakpastian masa depan dalam situasi bangsa (juga keluarga) yang karut-marut seperti sekarang, menyimpan banyak potensi konflik yang laten. Problem ketakpastian hukum, kesenjangan ekonomi, ketaktegasan pemimpin serta ketakpuasan terhadap kelompok dominan setiap saat mudah memantik amuk yang mengerikan.

Kelima, media massa yang silih berganti dan terus-menerus mendedah segala macam kekera-san, irasionalitas, dan percabulan jadi sumber inspirasi, imitasi, dan referensi bertindak ketika anak menghadapi masalah.

Presiden SBY menekankan reformasi pendidikan besar-besaran sebagai solusi menghilangkan kekerasan. Ini kali kedua presiden menyampaikan gagasan demikian setelah yang pertama saat membuka Temu Nasional pada 29 Oktober 2009.

Solusi

Secara normatif, reformasi pendidikan telah dimulai sejak amendemen UUD 1945, berlanjut pada UU Sisdiknas 2003, dan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Ada tiga ide utama yang ditetapkan mengawali perubahan besar: anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD, perubahan copernican definisi pendidikan dari guru aktif ke murid aktif, dan profesionalisme jabatan guru.

Sayangnya, dalam implementasi, ketiga gagasan itu banyak terdistorsi sehingga pendidikan kita kuyup anomali, antara lain kekerasan di sekolah. Presiden seharusnya mengaudit jalannya reformasi pendidikan yang dicanangkan, bukannya tertarik pada hal sepele: masa orientasi sekolah atau gedung rusak.

Kekerasan di sekolah itu kompleks dan sukar dihilangkan seca- ra instan. Reformasi yang fundamental, total, dan gradual merupakan keniscayaan. Solusi sementara ialah pelatihan guru dan murid, terutama anak yang tergabung dalam kelompok dominan: OSIS dan kelompok lain.

Pelatihan guru terutama meningkatkan motivasi dan menginspirasi perubahan ke arah yang lebih demokratis. Problem kinerja guru adalah rendahnya motivasi yang tak akan membaik dengan diceramahi para pejabat atau dengan sertifikasi portofolio. Diperlukan model pelatihan yang partisipatif, efektif, dan menyenangkan.

Pelatihan murid bertujuan memberi orientasi hidup, motivasi berprestasi, dan kepemimpinan. Model pelatihan dengan pendekatan dinamika kelompok yang digunakan Pelajar Islam Indonesia untuk membina para pelajar selama ini ternyata efektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar