Kamis, 09 Agustus 2012

Hukum Otonomi Terterabas


Hukum Otonomi Terterabas
Irfan Ridwan Maksum ; Anggota DPOD RI,
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi-Negara FISIP-UI dan UMJ 
SINDO, 09 Agustus 2012

Sudah satu dekade terlewati sejak reformasi, keinginan bangsa Indonesia memberantas korupsi, ternyata tidak diikuti oleh surutnya praktik tersebut. 
Praktik korupsi bahkan terus merebak dan yang menyedihkan justru terjadi di daerah seiring membesarnya otonomi akhir tahun 90-an lalu. Sebagai contoh, masyarakat kita disodori kasus suap Bupati Buol yang seakan mencoreng wajah otonomi daerah Indonesia. Kasus tersebut menyita banyak perhatian masyarakat. Kita wajib mencari solusi jitu untuk mengatasinya.

Budaya Menerabas

The status of local-authorities as units of Local Self-government is provided with broadbased legal foundation” (Khan dan Muthallib: 1985). Otonomi adalah gejala multidimensi dan salah satunya dimensi hukum. Dalam otonomi terkandung hak mengatur (regelend) dan mengurus (bestuur). Dalam tataran praktik, hak tersebut selalu dikaitkan dengan seberapa besar sumber daya uang yang melekat sehingga otonomi berubah menjadi auto-money.

Teori mengenai budaya menerabas yang menghinggapi masyarakat Indonesia yang dikenalkan Koentjaraningrat ternyata berlaku untuk memperjelas fenomena praktik korupsi di daerah. Jika Pak Koen mengatakan bahwa budaya tersebut menjadi penyebab gagalnya pembangunan di Indonesia, di sini budaya menerabas membawa gagalnya pelaksanaan otonomi. Para aktor terkait pelaksanaan otonomi bertindak secara gegabah memanfaatkan hak-hak dalam berotonomi dan cenderung abai terhadap kewajiban-kewajibannya.

Dalam otonomi, hak dan kewajiban mengatur harus diwujudkan terlebih dahulu dengan mengembangkan regulasi- regulasi agar dapat dijadikan dasar bagi jalannya birokrasi dalam rangka menjalankan hak pengurusannya. Hak pengurusan dengan demikian juga isinya adalah kewajibankewajiban pelayanan kepada masyarakat baik berupa barang maupun jasa. Produk pengaturan tertinggi di daerah adalah peraturan daerah dan atau peraturan kepala daerah.

Kebanyakan daerah otonom tidak bergairah mengembangkan urusan-urusan yang sebetulnya telah diotonomikan, tetapi langsung melakukan pengurusan melalui kegiatan pengalokasian sejumlah dana dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Mereka hanya rajin membuat perda atau peraturan kepala daerah jika menyangkut keuangan, sementara pengaturan dalam berbagai urusan pemerintahan cenderung diabaikan. Pengaturan sangat terkait dengan sistem politik yang berkembang, budaya makro daerah otonom, dan sistem ekonomi yang berkembang di daerah. Pengaturan menjadi dasar bagi proses pengurusan. Pengurusan tanpa dasar pengaturan amat rentan terhadap praktik korupsi.

Dalam praktik, hal tersebut masih sering diterabas. Contohnya di bidang pendidikan dasar dan menengah. Urusan ini sudah diotonomikan, namun banyak elite di daerah yang tidak mengerti tentang bagaimana mengatur urusan yang diotonomikan tersebut. Elite politik pemegang kekuasaan pengaturan tersebut bahkan langsung bermain di besaran uang APBD. Mereka seolah tidak paham akan otonomi atau pura-pura tidak tahu karena khawatir tidak kebagian sumber daya uang APBD di daerahnya.Kelalaian penerabasan hak-hak pengaturan langsung pada hak pengurusan ini menjadi modus otonomi daerah di Indonesia di semua sektor dan jenjang.

Terdapat pula gejala yang disebut sebagai daya inovasi yang terlalu lincah dari daerah seperti katakanlah di Sragen dan di Jembrana. Hal ini pun tampak disebabkan oleh grusagrusu- nya elite daerah melakukan pengurusan terkait uang daerah dalam APBD. Dalam hal ini budaya patron-klien menjadi penyebab yang patut dicurigai (Muhtadi: 2012). Elite lokal berupaya menjadi patron baik oleh masyarakatnya maupun oleh sesama patron di daerahdaerah lain dengan memanfaatkan akses yang besar terhadap kekuasaan mengalokasikan APBD. Akhirnya hukum otonomi pun terterabas.

Kita tentu khawatir jika korupsi di daerah sampai pada korupsi jenis ‘state-capture’, yakni otonomi untuk kepentingan elite dan kroninya semata. Kasus bupati Buol sayangnya masuk dalam kategori jenis korupsi ini yang menunjukkan ketidakmampuan menjalankan kebijakan otonomi daerah yang benar.

Penguatan Institusi

Kondisi di atas diperkeruh oleh suasana di tingkat nasional yang tidak kondusif yakni sering terjadinya ketidaksinkronan dan ketidakharmonisan antarperaturan perundangan, baik sektoral maupun antarjenjang. Untuk itu, pemerintah harus menguatkan berbagai elemen terkait sistem otonomi ini, di samping menguasai teori, teknik, dan ilmu hukum, juga harus memahami betul teori otonomi daerah yang dikembangkan dalam sebuah negara bangsa.

Elemen sektoral pusat sebaiknya tidak memanfaatkan peluang ketidakmampuan daerah otonom dalam pengaturan dengan mengeluarkan juklak dan juknis yang potensial menjadi bumerang otonomi daerah. Dengan juklak dan juknis dari pusat tersebut, bukan otonomi daerah yang muncul,melainkan keseragaman dan sangat mungkin terjadi birokratisasi terhadap birokrasi daerah.

Sejalan dengan di tingkat nasional, di daerah juga harus dilakukan penguatan kapasitas institusinya. Elite politik lokal sebaiknya memahami soal ini.Hendaknya mereka tidak mementingkan kepentingan politik yang dijalankannya semata. Sistem hukum harus diletakkan di atas kepentingan golongan dan kelompoknya. Urusan yang diserahkan kepada daerah sebaiknya menjadi prioritas untuk ditegakkan terlebih dahulu sembari melakukan penyesuaian apakah kemampuan keuangan dalam APBD terpenuhi atau tidak.

Dengan acuan kemampuan tersebut, pada akhirnya dapat diketahui skala prioritas urusan yang diserahkan tersebut untuk dikelola dengan desain perencanaan yang matang. Dari sini hak (kewajiban) mengatur dan mengurus dapat ditegakkan oleh daerah.

1 komentar:

  1. Saya, Khuzaeni, Pangkah, sangat setuju dengan pendapat Prof.Irfan Ridwan Maksum. Baik juga kalau diaplikasikan di seluruh pemerintah daerah di Indonesia.Yang penting para Kepala Daerah harus jujur dan transparan, demi kesejahteraan masyarakatnya.

    BalasHapus