Jumat, 10 Agustus 2012

Apakah Etis Tumbuh Terus?


Apakah Etis Tumbuh Terus?
Daniel Mohammad Rosyid ; Guru Besar Riset Operasi dan Optimasi
Jurusan Teknik Kelautan ITS
KOMPAS, 10 Agustus 2012

Selama beberapa tahun terakhir kita menyaksikan krisis keuangan global yang dipicu oleh krisis keuangan AS. Krisis itu sekarang sudah merembet ke Eropa.

Permintaan agregat global menurun. Bahkan, target pertumbuhan China kini harus dikoreksi di bawah 7,5 persen. Semua wacana ini dipijakkan pada asumsi, tumbuh itu selalu lebih baik daripada tidak. Apakah kita bisa dan etis untuk tumbuh terus? Karena tumbuh mensyaratkan energi, lalu apakah tingkat konsumsi energi per kapita kita bisa tumbuh terus pula? Krisis keuangan global saat ini, serta kerusakan lingkungan global dan kesenjangan global, sinyal bahwa sesungguhnya kita tak bisa dan—karena konsekuensi negatifnya—tak etis tumbuh terus tanpa batas. Ada saatnya untuk berhenti tumbuh. Konsumsi energi per kapita hanya bisa tumbuh hingga tingkat tertentu. Lebih dari itu, konsumsi energi justru merusak lingkungan dan diri sendiri.

CEO Unilever baru-baru ini mengingatkan, jika umat manusia harus mengikuti gaya hidup Eropa, akan dibutuhkan tiga bumi. Sementara kalau mau mengikuti gaya hidup AS, dibutuhkan lima bumi. Ini berarti kita tak bisa meniru gaya hidup keduanya yang kini justru terlilit utang. Saat lokomotif ekonomi dunia bergeser ke China, penting bagi Indonesia mengambil jalan yang berbeda dengan China yang tampak setia dengan model Eropa dan AS yang gagal itu. Kita butuh sebuah modernitas baru yang rendah energi sebagai tuntutan nyata sekaligus etis.

Imbauan hidup hemat energi seperti yang diserukan oleh pemerintah tidak boleh hanya berhenti diganti Premium ke Pertamax atau dari BBM ke gas. Kita memerlukan gaya hidup baru, teknologi baru, dan ekonomi baru yang tidak terobsesi dengan growth, pertumbuhan. Perlu keberanian untuk hidup lebih sederhana. Peringatan Mahatma Gandhi, EF Shoemacher, ataupun Ivan Illich, 50-40 tahun lalu, baru terasa keniscayaannya pada awal abad ke-21 ini.

Sesat Pikir

Gaya hidup baru itu bisa dimulai dari sektor transportasi. Saat ini kita sudah terjerumus ke dalam jebakan moda tunggal, yaitu moda jalan. Lebih buruk lagi: moda jalan pribadi. Untuk negeri kepulauan dengan laut dan sungai yang melimpah serta warisan jaringan rel kolonial yang luas, dominasi mobil dan sepeda motor saat ini sungguh kekonyolan sesat yang luar biasa. Angkutan rel dan sungai mengalami kemunduran, sementara angkutan laut tetap terbelakang.

Rencana membangun Jembatan Selat Sunda adalah kelanjutan dari sesat pikir ini. Antrean truk panjang di sisi Merak ataupun Bakauheni yang sering terjadi tidak akan pernah selesai jika layanan feri dibiarkan tidak menarik untuk investasi. Anehnya, layanan feri ini justru yang disalahkan. Padahal, banyak dermaga di Merak yang rusak tanpa pelindung benturan kapal atau dangkal karena terlambat dikeruk oleh Ditjen Perhubungan Darat yang lebih asyik membangun jalan. Jauh lebih efektif dan murah jika pemerintah membangun jaringan rel di Sumatera dan Jawa, serta menghubungkannya ke pelabuhan-pelabuhan yang efisien di kedua pulau tersebut. Dengan begitu, lebih banyak barang diangkut melalui pelabuhan-pelabuhan di kedua pulau ini.

Mobil dan sepeda motor saat ini adalah bagian dari masalah kita. Jalan adalah ruang publik sehingga harus diprioritaskan untuk angkutan umum. Angkutan umum inilah yang perlu subsidi, bukan kendaraan pribadi.

Di samping itu, sarana transit, yaitu mobilitas dengan energi tubuh tanpa mesin harus disediakan lebih banyak. Ini berarti lebih banyak jalur sepeda dan trotoar bagi pejalan kaki. Untuk kawasan pedesaan, angkutan yang tak memerlukan kecepatan tinggi lebih baik menggunakan pedati ataupun dokar berkuda.

Kehidupan tinggi energi saat ini telah menimbulkan ketidakadilan global dan kemacetan di jalan-jalan kota besar. Ketergantungan pada kendaraan pribadi juga telah menurunkan tingkat kesehatan warga muda. Penyakit tak menular, seperti diabetes, obesitas, stroke, gagal jantung, gagal ginjal naik tajam dengan biaya mencapai puluhan triliun.

Jelas sekali bahwa pada abad ke-21 ini kita memerlukan modernitas baru rendah energi. Tidak saja untuk membangun dunia yang lebih adil, lingkungan yang lebih baik, tetapi juga untuk kehidupan yang lebih sehat. Sungguh tidak mungkin dan tidaklah etis untuk tumbuh terus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar