Menggugat
Nasionalisme Ekonomi
Fachry Ali ; Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Etika
Usaha
(LSPEU) Indonesia
KOMPAS,
23 Juli 2012
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012
tentang divestasi saham perusahaan tambang mendapat kecaman karena dianggap
menerapkan ”nasionalisme ekonomi”.
Ada dua pertanyaan yang timbul dari sini: apa
dasar kecaman tersebut dan apakah kebijakan nasionalistis itu ada dasarnya.
Terhadap yang pertama, penerapan
”nasionalisme ekonomi” dianggap sebagai ”penyimpangan”. Mengambil jargon the invisible hand ekonom besar Inggris
abad ke-18 Adam Smith, para pengecam menganggap substansi ekonomi adalah sistem
pasar, yaitu sebuah sistem alokasi sumber daya paling efisien dan produktif.
Pasar yang menentukan harga ketika penawaran dan permintaan tidak berimbang.
Pengaturan tak terlihat ini juga berlaku
terhadap migrasi modal. Keniscayaan mencari untung membangun logika bahwa modal
hanya mengalir ke sektor-sektor menguntungkan. Di luar mekanisme ini dianggap
bukan kinerja sistem ekonomi ”murni”.
Agar kemurnian terjaga, impersonality (ketidakberpihakan) dan mutual benefit (saling menguntungkan) merupakan prasyarat mutlak
dan harus terjamin dalam undang-undang. Logika yang dikukuhkan undang-undang
ini yang menjelaskan ”universalisme” kinerja ekonomi yang ”tanpa tapal batas”
mendorong migrasi aktor, modal, ataupun alat produksi dari satu ke wilayah
ekonomi lain. Namun, ini hanya mungkin berlangsung dalam lingkup the sophisticated and advanced concept of the invisible hand (konsep
tangan tak terlihat yang telah sangat disempurnakan), penjabarannya berbentuk business friendly policies.
Dalam perspektif inilah kebijakan
”nasionalisme” ekonomi dianggap ”penyimpangan”. Pertama, karena kebijakan itu
menghadirkan aktor nonpasar: negara ”hanya” entitas politik.
Kedua, bertentangan dengan ”universalisme”
kinerja ekonomi, kebijakan ini memberi ”sekat”. Kinerja ekonomi menjadi ”berwilayah”
dan jadi berlawanan dengan logika impersonality,
bersifat ”personal” dan ”subyektif”.
Ketiga, yang terpenting (tetapi berkaitan
dengan dua poin di atas), melahirkan distorsi dalam sistem pasar murni.
Distorsi inilah yang merusak dan merugikan semua pihak, termasuk negara.
Nasionalisme Ekonomi
Namun, apakah ”nasionalisme ekonomi” itu
buruk?
Dalam sejarah pemikirannya yang berliku—sejak
Alexander Hamilto (1791) dan Friedrich List (1841) hingga awal abad ke-20— ada
jejak konseptual ”nasionalisme ekonomi”, yaitu kebijakan pada tingkat nasional
demi agenda sosial yang ”lebih luhur”.
Dalam Underdevelopment
and Economic Nationalism in Southeast Asia (1969), Frank H Golay dan
kawan-kawan menyebut ”nasionalisme ekonomi” mengacu pada sistem kebijakan nasional,
dengan unit sosial negara-bangsa, untuk mencapai kepentingan nasional yang
dirumuskan melalui proses politik.
Berbeda dengan ”universalisme” dan impersonality ekonomi ”murni”,
”nasionalisme ekonomi” menekankan pentingnya locus kinerja ekonomi (negara-bangsa) karena dirumuskan melalui
proses politik untuk tujuan-tujuan nonekonomi.
Golay dan kawan-kawan memang menekankan
faktor-faktor nonekonomi sebagai pendorong lahirnya konsep ”nasionalisme
ekonomi”, terutama di negara-negara baru merdeka: efek destruktif ekonomi
kolonial, kehampaan kemerdekaan politik (tanpa kontrol ekonomi) dan kepincangan
struktural antara negara maju dan terbelakang. Tujuan kebijakan ”nasionalisme
ekonomi” dalam lingkup negara-bangsa melampaui kesejahteraan material.
Kesejahteraan material rakyat merupakan keniscayaan, melalui ”nasionalisme
ekonomi”, tercapai pula rasa keadilan, keterwakilan berada bersama (inclusiveness), dan kebanggaan
sosial-politik rakyat.
Tekanan pada rasa keadilan ekonomi inilah
yang direfleksikan mantan Direktur Pelaksana IMF Dominique Strauss-Kahn di
Washington, 4 April 2011. Ia memperkenalkan konsep social inclusion dan social
cohesion dalam kebijakan ekonomi karena ketimpangan produk sistem ekonomi
”murni” merupakan salah satu dampak krisis global.
Maka, kebijakan ”nasionalisme ekonomi”
pemerintahan Presiden SBY juga layak ditinjau dari sudut social inclusion dan social
cohesion untuk mencapai tujuan nonekonomis: kepuasan sosial dan kebanggaan
nasional karena ”mampu” mengontrol sumber daya sendiri.
Melalui otoritas konstitusional (Pasal 33 UUD
1945), dan dengan cara renegosiasi (bukan nasionalisasi), negara berusaha
menciptakan distributive economy. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar