Senin, 09 Juli 2012

Kendala Kebijakan Konversi BBM ke Gas


Kendala Kebijakan Konversi BBM ke Gas
Eddy Purwanto ; Mantan Deputi BP Migas    
SINDO, 09 Juli 2012

Pada pembahasan RAPBN 2013, pemerintah mengusulkan kuota BBM bersubsidi sebesar 45–48 juta kiloliter (kl),asumsi kuota maksimal 48 juta kl diberlakukan bila program penghematan dan kenaikan harga jual BBM bersubsidi tidak terlaksana.

Artinya, pemerintah wajib menyukseskan program penghematan BBM agar angka kuota maksimal tidak terlampaui. Sejalan dengan pembahasan RAPBN 2013,Presiden SBY lima kebijakan penghematan energi nasional, satu di antaranya adalah konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi. Sebagai tahap awal, pada tahun 2012 Kementerian ESDM memperoleh alokasi anggaran Rp2 triliun untuk membangun 162 stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) di Pulau Jawa dan Bali.

Kendala teknis dihadapi Pertamina, karena butuh waktu yang relatif lama untuk pembebasan lahan dan menyelesaikan perizinan yang sangat banyak, sehingga dukungan pemerintah daerah sangat dibutuhkan. Sedangkan, kendala yang substansial adalah jaminan pemerintah terhadap pasokan gas secara konsisten dalam jangka panjang dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Jaminan pemerintah inilah yang patut dikaji lebih dalam sebelum kebijakan konversi ini benar-benar diberlakukan secara luas (full scale) sebagai kebijakan nasional.

Gas Sebatas Fatamorgana

Hari ini Indonesia masih menjadi salah satu sentrum pengekspor LNG dunia, Indonesia masih mengekspor sekitar 23 juta ton LNG per tahun walaupun cenderung terus menurun seiring dengan melonjaknya kebutuhan gas domestik. Angka resmi cadangan gas terbukti akhir 2011 tercatat 104 triliun kaki kubik (TCF) dengan tingkat produksi gas Indonesia sekitar 8.000–8.800 juta kaki kubik per hari.

Sekilas dari angka statistik memang memberikan kesan bahwa Indonesia kaya dengan gas bumi,namun pemangku kebijakan perlu waspada karena cadangan gas tersebut masih sebatas angka statistik di atas kertas yang bisa melorot jauh apabila diperhitungkan faktor tekno-ekonomi di lapangan. Sebagian keberadaan lapangan gas di Indonesia seolah ”fatamorgana”.

Sebagai contoh sejak tahun 1973 Indonesia mencatat penemuan lapangan gas raksasa Blok East Natuna dengan cadangan tercatat 46 TCF, namun karena kandungan CO2 yang sangat tinggi (70%) dan lokasinya di laut dalam, hingga kini setelah hampir 40 tahun lapangan East Natuna masih dibiarkan ”tidur” karena tingkat kesulitan teknis dan biaya yang sangat tinggi.

Dengan absennya East Natuna (46 TCF) cadangan gas Indonesia sejatinya langsung anjlok dari 104 TCF tinggal 58 TCF. Ada beberapa lagi penemuan- penemuan lapangan gas yang secara statistik tercatat dalam buku cadangan namun pesimistis untuk dapat dikembangkan secara komersial karena alasan tingkat cadangan yang ”tanggung” ditambah kesulitan teknis seperti lokasi berada di kawasan laut dalam atau wilayah perbatasan yang rawan sengketa.

Lapangan East Natuna dan sejenisnya bisa saja dikembangkan tetapi pemerintah harus rela berkorban dengan memberikan insentif besar-besaran kepada kontraktor bahkan kemungkinan juga harus rela memberikan subsidi harga gas kepada pengguna akhir di dalam negeri karena mahalnya ongkos produksi.

Dalam kegiatan eksplorasi selama dua puluh tahun terakhir penemuan di Indonesia memang didominasi oleh gas bumi,hanya sayang penemuan cadangan gas tersebut relatif kecil-kecil dan umumnya jauh dari sentra konsumen atau di laut dalam sehingga secara komersial sulit dikembangkan, baik untuk kepentingan domestik maupun ekspor.

Dari statistik cadangan terbukti sebesar 104 TCF, apabila dihitung angka cadangan gas hanya dari lapangan-lapangan yang dapat dikembangkan secara komersial diperkirakan cadangan susut tinggal 50% sehingga hakikatnya Indonesia hanya memiliki sisa cadangan gas sekitar 50 TCF,jauh di bawah proyeksi kebutuhan gas di masa depan. Bila dibagi dengan produksi maka cadangan gas tersebut hanya bertahan selama 15 tahun, bukan 60 tahun seperti yang dipercaya oleh pemerintah dan publik saat ini.

Gas bumi masih dapat dimanfaatkan untuk mengurangi konsumsi BBM tidak hanya untuk transportasi melalui program konversi BBM oleh BBG tetapi juga untuk mendukung kegiatan ekonomi lainnya seperti industri, namun bila program ini hendak diperluas tidak hanya di Jawa- Bali, pemerintah membutuhkan jaminan pasokan gas,baik sumber, volume, jangka waktu dan harga, mengingat era harga gas murah sudah berlalu.

Melihat neraca gas yang masih defisit,pemerintah harus lebih berhati-hati dalam menyusun program yang membutuhkan volume gas bumi dalam jangka panjang dengan harga terjangkau, termasuk program konversi BBM ke BBG. Kebutuhan gas domestik akan terus melaju, utamanya kelak setelah kebijakan subsidi BBM ditiadakan, ditambah daya beli industri lokal dan masyarakat sudah semakin meningkat, pemerintah perlu segera melakukan percepatan program (crash program) peningkatan cadangan melalui kebijakan lintas sektor untuk meningkatkan iklim investasi di sektor hulu migas, termasuk perbaikan aturan perpajakan, tumpang-tindih regulasi, tumpang tindih lahan, kepastian hukum, dampak otonomi daerah dan banyak lagi.

Dampak Kebijakan Subsidi BBM

Terbukti dalam jangka panjang kebijakan subsidi BBM justru menyengsarakan rakyat. Sebagai rujukan, salah satu penyebab tingginya volume ekspor gas yang sekarang dihujat adalah karena kebijakan subsidi BBM masa lalu yang berkepanjangan sehingga pada rentang waktu sebelum tahun 2000 gas bumi sangat sulit dipasarkan di dalam negeri, karena kalah bersaing melawan BBM yang lebih murah dan mudah, ditambah dengan minimnya infrastruktur.

Guna mendapatkan manfaat ekonomi pemerintah ”terpaksa” mengekspor gas yang harganya belum setinggi sekarang. Kini tiba masanya domestik menuntut volume gas yang jauh lebih banyak, separuh cadangan gas komersial sudah ”tergadai” keluar negeri. Implementasi kebijakan konversi BBM ke BBG untuk transportasi yang sudah dikampanyekan secara luas oleh pemerintah, secara teknis dan ekonomis tampaknya perlu lebih dicermati lebih dalam, jangan sampai pemerintah terbebas dari subsidi BBM tetapi harus menanggung beban subsidi gas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar