Kapitalisasi
Alam
Khudori
; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI),
Anggota
Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KORAN TEMPO, 02 Juli 2012
Konferensi Pembangunan Berkelanjutan di Rio
de Janeiro (Rio+20), Brasil, 20-22 Juni, usai sudah. Pada akhir pertemuan,
ratusan kepala negara menyepakati deklarasi politik yang disiapkan beberapa
hari sebelumnya: "The Future We Want".
Dokumen 53 halaman itu dibuat oleh United
Nations Environmental Programme (UNEP). Isinya memuat komitmen
negara-negara anggota PBB yang meneguhkan kembali niat merawat bumi. Sepanjang
konferensi, perundingan dokumen ini berlangsung tertutup. Kalaupun ada hal
baru, itu sebatas pengakuan atas eksistensi masyarakat adat. Sebaliknya,
perlindungan kehidupan laut, pembatasan subsidi BBM fosil, dan jaminan hak-hak
warga miskin gagal disepakati.
Seperti yang sudah-sudah, konferensi
menimbulkan kekecewaan. Gro Harlem Brundtland, misalnya, tak yakin hasil Rio+20
bisa mengatasi krisis sosial dan lingkungan. Pengamat lingkungan dan penulis
laporan pembangunan berkelanjutan PBB 25 tahun lalu itu yakin hasil konferensi
bakal mendorong pemerintah di negara-negara berkembang untuk mempersilakan
korporasi besar membabat sumber daya alam di negeri mereka. Seperti KTT Bumi 20
tahun lalu, demikian pula aneka kesepakatan penyelamatan bumi di bawah PBB,
konferensi alpa mengatur sepak terjang korporasi transnasional (TNCs). Padahal
TNCs paling bertanggung jawab atas aneka kerusakan lingkungan, pengurasan
sumber daya alam, dan menciptakan pola-pola konsumsi sesaat serta budaya
konsumtif.
Meski ada kesadaran kuat bumi makin rusak,
komitmen dalam "The Future We Want"
akan bernasib sama seperti 20 tahun lalu: tak lebih dari retorika politik
belaka. Dalam dokumen itu ditawarkan konsep green economy (ekonomi
hijau) sebagai platform pembangunan baru. Ekonomi hijau inilah yang
menggantikan platform pembangunan berkelanjutan yang dihasilkan di Rio 20 tahun
lalu. Sejatinya, ekonomi hijau tak lebih re-branding pembangunan berkelanjutan.
Salah satu elemen penting ekonomi hijau adalah pasar jasa-jasa lingkungan hidup
yang dihitung dengan melakukan valuasi lingkungan. Penciptaan pasar jasa-jasa
lingkungan didasari oleh kegagalan pasar menampung kebutuhan sosial dan
lingkungan dalam pasar ekonomi. Lewat valuasi lingkungan, jasa sosial dan
lingkungan yang tidak punya nilai karena tak punya pasar akhirnya tertampung di
pasar. Muslihat para ekonom neoliberal itu menghasilkan aneka skema jasa
lingkungan hidup, seperti perdagangan karbon (carbon sink) melalui
mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM),
pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan (reduction of
emission from deforestation and forest degradation (REDD), atau jasa
keanekaragaman hayati (the economic of ecosystem and biodiversities/TEEB).
Pasar jasa lingkungan melibatkan dua pihak:
penjual (sellers) atau penyedia (providers) jasa, dan pembeli (buyers)
atau penerima (beneficiaries) jasa lingkungan hidup. Penjual dan pembeli
jasa lingkungan hidup akan bertemu dalam arena transaksi jual-beli atau pasar
jasa lingkungan hidup. Seperti pada umumnya pasar, posisi penjual dan pembeli
tidak selalu setara. Para penjual jasa lingkungan adalah negara-negara miskin
dan berkembang yang mengandalkan ekonomi pada berkah sumber daya alam, seperti
pertanian, kehutanan, atau perikanan.
Sebaliknya, pembeli adalah negara-negara maju
yang menumpukan ekonomi pada industri, transportasi, pertambangan, dan industri
ekstraktif lain yang amat polutif dan berdampak eksternal tinggi pada
lingkungan. Penjual-pembeli memikul dan mengemban agenda serta kepentingan
ekonomi-sosial-politik yang berbeda. Negara-negara maju tidak mau mengerem laju
ekonomi dan mengubah industrinya yang polutif atau mengubah gaya konsumsi yang
boros. Untuk mempertahankan gaya hidup itu, dengan kekuatan finansialnya mereka
membeli jasa-jasa lingkungan yang ditawarkan negara-negara berkembang dan
miskin. Sebaliknya, negara berkembang dan miskin, karena kapasitasnya terbatas,
jadi tak berdaya. Jika kemudian transaksi jual-beli jasa-jasa lingkungan
berjalan timpang dan jauh dari pasar sempurna, itu adalah sebuah keniscayaan.
Ironisnya, keniscayaan itu sengaja diciptakan.
Skema pasar jasa lingkungan yang diusung
ekonomi hijau sama sekali tidak menjawab persoalan kerusakan lingkungan yang
makin masif. Ekonomi hijau mustahil melahirkan perubahan paradigma di industri,
konsumsi, dan gaya hidup. Lewat pasar jasa lingkungan, baik CDM, REDD, maupun
TEEB, negara maju mendapatkan tiket resmi untuk terus menyemburkan karbon,
mencemari atmosfer dan lingkungan, sepanjang bisa membeli hak emisi, tapak
hutan, dan keanekaragaman hayati negara lain. Lewat CDM, misalnya,
negara-negara industri bisa bebas menyemburkan emisi karbonnya. Lewat CDM,
mereka tidak perlu mengubah gaya hidup boros dan rakus. Di sisi lain, negara
miskin penerima dana CDM wajib menjaga hutan. Hutan menjadi wilayah keramat dan
dilarang dijamah siapa pun, termasuk masyarakat adat yang hidup di sekitar dan
di dalam hutan, yang telah selama ratusan tahun secara turun-temurun
memanfaatkan sumber daya hutan untuk penghidupan. Lewat CDM, terjadilah
pengusiran warga adat besar-besaran.
Jadi, melalui jasa lingkungan, sementara
semula hanya tanah, kini justru atmosfer, hutan, dan keanekaragaman hayati
diprivatisasi. Di balik ekonomi hijau, terselip agenda busuk: metamorfosis
kapitalisme dengan menjadikan lingkungan dan alam sebagai komoditas baru nan
seksi. Proses kapitalisasi alam inilah yang sejatinya terjadi di Rio de
Janeiro. Hal ini sama halnya dengan memutar uang tanpa peduli potensi dampak
yang mengerikan, termasuk deforestasi, kenaikan emisi, business as usual
dalam pola produksi dan konsumsi, serta pelanggaran hak-hak asasi masyarakat
adat. Fakta ini menunjukkan, kalkulasi untung-rugi dalam bisnis telah
mensubordinasi isu lingkungan dari pembangunan ekonomi.
Indonesia, yang diharapkan bisa jadi
penghubung antara kepentingan negara maju dan negara miskin, justru
mempromosikan kapitalisasi alam. Ini bisa dibaca dari dua dokumen yang dirilis
di Rio: "Indonesia and Rio+20"
dan "Submission by the Government of
the Republic of Indonesia to the Zero Draft of UNCSD 2012 Outcome
Document". Sepertinya, isu lingkungan tidak pernah jadi arus utama
dalam peradaban manusia. Tanpa sanksi tegas dan mengamalkan prinsip
"tanggung jawab bersama yang dibedakan" (common but differentiated
responsibilities), prinsip yang diadopsi Konvensi Perubahan Iklim, upaya
menyelamatkan bumi hanya berujung kesia-siaan. Bumi akan selamat bila negara
maju secara kesatria mengakui "dosa" masa lalu seperti terekam dalam
jejak industri mereka, dan mau memikul beban dosa tanpa perlu menyeret negara
miskin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar