Bom
Waktu dalam Krisis Uni Eropa
Salamuddin Daeng ; Peneliti di Indonesia for Global Justice
SINAR
HARAPAN, 20 Juli 2012
Banyak analisis muncul dalam melihat krisis
yang melanda Uni Eropa (EU) saat ini. Namun, menarik juga untuk memahami
bagaimana anatomi krisis tersebut dan penularannya secara struktural terhadap
perekonomian Indonesia.
Krisis EU bukanlah semata-mata krisis
keuangan, atau krisis utang pemerintah, atau krisis akibat pertumbuhan yang
rendah, tetapi krisis ekonomi yang sifatnya struktural dalam tiga dimensi
krisis utama d bawah ini.
Pertama, kelebihan produksi barang/jasa pada
tingkat EU dan global (overproduction)
yang tidak dapat diserap pasar (underconsumption)
karena daya beli mayoritas masyarakat yang semakin rendah. Sebagai contoh, over produksi pangan terjadi saat lebih
dari 1 miliar manusia di muka bumi menurut World
Health Organization (WHO) mengalami kelangkaan pangan.
Kedua, adanya konsentrasi uang dan kapital di
tangan segelintir pemain pasar keuangan, yang tidak dapat diekspansi dalam
kegiatan produksi barang maupun jasa (overaccumulation),
sehingga hanya diekspansi lewat utang dan pasar keuangan (money to money)
Ketiga, transaksi pasar keuangan derivatif
yang besar (financial buble) yang
tidak sebanding dengan produksi riil, akibat liberalisasi sektor finansial.
Produk pasar keuangan derivatif global mencapai US$ 600 triliun, sementara
produksi riil barang dan jasa (PDB) dunia hanya sekitar US$ 60 triliun.
Jika melihat fundamen krisis ini, masalahnya
menjadi jelas, bahwa ekonomi tengah berada dalam ketidakseimbangan yang dalam (unbalance).
Dengan demikian, para analis mestinya
memperhatikan bahwa tidak mungkin meningkatkan pertumbuhan sementara ekonomi
mengalamai over produksi, demikian pula dengan perluasan investasi. Sementara
itu, pasar keuangan derivatif tidak mungkin diperluas lagi karena gelembungnya
telah pecah.
Penulis berpendapat ada yang keliru dalam
cara penanganan krisis ini, sehingga justru semakin memperparah keadaan. Sejauh
ini langkah penanganan yang dilakukan EU, bersama Dana Moneter Internasional
(IMF), seperti membenamkan bom waktu yang cepat atau lambat akan meledak dan
memorak-porandakan ekonomi EU.
Memperkaya Spekulan
Skema penyelesaian krisis yang disponsori
Jerman, IMF, G-20, yang berkutat pada reformasi sektor keuangan sejauh ini
tidak dapat mendinginkan krisis. Justru yang terjadi sebaliknya, negara-negara
yang mengalami krisis malah berhadapan dengan kekacauan politik nasional
berkepanjangan.
Kebijakan dana talangan perbankan, stimulus
fiskal, bunga rendah, austerity,
justru merugikan kepentingan negara-negara krisis dan menguntungkan negara pemberi
utang.
Sebagai contoh dari total utang Yunani
sebesar € 400 miliar (252 persen dari PDB), sebagian besar berasal dari Prancis
sebesar € 41.1 miliar, Jerman sebesar € 15.9 miliar, Inggris sebesar € 9,4
miliar dan dari Amerika Serikat sebesar € 6,2 miliar (BBC News, November 2011). Dengan begitu, konteks penyelamatan yang
dilakukan negara besar bukan untuk Yunani, melainkan untuk menyelamatkan uang
negara besar itu sendiri.
Dalam rumus penyelesaian krisis EU, ada tiga
hal yang dihasilkan: pertama, terkurasnya pajak rakyat dari negara-negara yang
terkena krisis sebagai dana talangan bagi sektor swasta perbankan, yang
notabene adalah investasi luar negeri.
Kedua, terkurasnya anggaran nasional
dari negara-negara yang mengalami krisis ke tangan negara pemberi utang,
seperti Jerman, Prancis, Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang.
Ketiga, terkurasnya dana rakyat dan anggaran
negara dari negara-negara yang terkena krisis dan negara miskin lainnya seperti
Indonesia, berpindah ke tangan sektor swasta, khususnya pemain pasar keuangan.
Modus pengumpulan uang melalui G-20 dan IMF
mengindikasikan rencana semacam itu. Dengan demikian, potensi penularan krisis
ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia, sangat mungkin terjadi dalam jangka
pendek.
Ini terjadi ketika negara besar menarik utang
dan investasi luar negeri mereka dalam rangka menyelamatkan EU terlebih dahulu.
Berdasarkan ketiga hal tersebut, semakin
terindikasi bahwa krisis EU dan krisis keuangan global tidak lain adalah
strategi memperkaya perusahaan swasta, pemain pasar keuangan, dan lembaga
keuangan regional dan global. Sementara itu, krisisnya dibiarkan terus bergulir
sebagai mekanisme sentralisasi kapital semacam itu.
Menanam Bom Waktu
Krisis EU memang akan berlangsung panjang,
namun sangat bergantung pada cara pemerintahan EU menanganinya. Krisis ini juga
bisa menimbulkan kebangkrutan EU dalam tempo yang sangat singkat. Jika skema
kebijakan yang dijalankan salah, ini justru akan menimbulkan gejolak baru.
Sebagai contoh, kebijakan dana talangan dan kebijakan
dana talangan perbankan justru menimbulkan beban utang dan bunga yang semakin
besar dan menjadi bom waktu di masa depan. Demikian juga dengan stimulus fiskal
dan suku bunga rendah sama sekali tidak dapat membantu pergerakan ekonomi,
karena kebijakan semacam itu telah lazim dilakukan pada era sebelum krisis.
Bagaimana mungkin, solusi utang yang dijawab
dengan utang baru, masalah yang ditimbukan finansialisasasi anggaran negara
dijawab dengan sentralisasi lembaga talangan dan pengawasan perbankan pada
tingkat regional atau global, serta masalah rendahnya pertumbuhan justru
dijawab dengan stimulus fiskal bagi sektor swasta yang dapat menekan anggaran
negara. Semuanya jelas merupakan solusi keliru.
Mestinya krisis dijawab dengan formulasi
antikrisis, tesis dijawab dengan antitesis. Utang pemerintah harus dijawab
dengan pemotongan utang, melalui audit terhadap utang bermasalah terlebih
dahulu. Dengan demikian, negara-negara anggota EU yang menjadi episentrum
krisis dapat menekan pengeluaran mereka untuk cicilan utang dan bunga.
Rusaknya sistem keuangan akibat penyatuan
mata uang, harusnya dijawab dengan memperbaiki kembali institusi keuangan pada
setiap negara, memperkuat kembali kemandirian sektor keuangan masing-masing
negara sehingga tidak rentan terhadap gejolak regional atau global.
Demikian pula halnya masalah rendahnya
pertumbuhan ekonomi, tidak dapat dijawab dengan bunga rendah dan stimulus
fiskal, yang justru akan semakin memperparah penerimaan negara.
Kemampuan penerimaan negara harus diperbesar
dengan meningkatkan pajak bagi sektor swasta, terutama transaksasi keuangan,
karena sektor inilah yang harus diregulasi secara ketat dengan memberi beban
besar pada transaksi sektor keuangan. Strategi ini juga bisa menahan spekulasi
dan arus keluar uang (capital outflow) dari suatu negara.
Jadi, cara pengambil kebijakan EU menjawab
krisis, ibarat masalah dijawab dengan masalah baru, tesis dijawab dengan tesis
yang baru. Ini tentu saja tidak akan menghasilkan kemajuan, namun justru akan
memperparah dan menjadi bom waktu yang dapat meledak setiap saat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar