Selasa, 01 Mei 2012

Kesejahteraan Buruh


Kesejahteraan Buruh
Dahnil Anzar Simanjuntak, Ketua Bidang Buruh, Tani, dan Nelayan
PP Pemuda Muhammadiyah
SUMBER : REPUBLIKA, 01 Mei 2012


Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) setiap 1 Mei, sejatinya bersinonim dengan lebarannya kaum buruh. Harusnya penuh dengan kegembiraan meski faktanya tidak begitu. Hari Buruh selalu menjadi hari penuh refleksi akan `eksploitasi miskin kesejahteraan' yang dirasakan oleh kelompok buruh.

Pertarungan buruh untuk memperoleh hak-hak ekonominya tidak pernah selesai dalam satu gerakan demonstrasi ataupun gerakan politik lainnya di parlemen. Butuh konsistensi perjuangan dan jejaring politik penyokong aspirasi ekonomi buruh di Indonesia.

Eksploitasi Buruh

Permasalahan utama dari minusnya kesejahteraan dalam bentuk upah yang diberikan kepada buruh, dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama adalah paradigma yang menempatkan buruh sebagai cost (biaya) an sich. Pengusaha dan pemerintah abai perubahan paradigma bahwa buruh adalah makhluk ekonomi dan social, sekaligus yang membutuhkan insentif dalam rangka mendorong kinerja dan tanggung jawabnya dalam jangka panjang. Paradigma kapitalisme yang prorezim upah buruh masih menyelimuti kebijakan perburuhan di Indonesia, sehingga paradigma yang menempatkan buruh sebagai investasi sulit diterima dan dihadirkan dalam kebijakan ekonomi perburuhan di Indonesia.

Kedua adalah akibat paradigma buruh sebagai cost yang merupakan produk pemikiran kapitalisme di atas, maka penguasaan dan distribusi surplus sepenuhnya dikuasai oleh pemilik modal atau pengusaha. Kondisi upah buruh Indonesia sangat mengkhawatirkan. Penelitian Trade Union Rights Center (TURC) menyatakan upah buruh di Indonesia hanya mampu membeli beras sebanyak 160 kg, dengan asumsi harga beras Rp 5.000 per kilogram. Menurut penelitian TURC tersebut, upah buruh secara riil berkurang sebanyak 50 persen setiap tahunnya setelah terkoreksi oleh inflasi.

Sedangkan, apabila dilihat dari sisi total biaya produksi porsi upah buruh hanya 20 persen (BPS, 2012), versi Kemenakertrans 25 persen, sedangkan versi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) porsi upah buruh hanya enam persen dari total biaya produksi. Sementara itu, biaya siluman alias hidden cost mencapai 13 persen. Temuan peneliti penulis (2010), upah buruh berkisar 10 persen sedangkan biaya siluman ditambah dengan high cost of economy lainnya yang disebabkan kealpaan pemerintah adalah 30 persen.

Mari kita tengok disparitas upah buruh Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN dan Asia lainnya. Thailand, misalnya, memutuskan menaikkan batas minimum upah buruh pada angka 300 bhat, atau sekitar Rp 2,6 juta/bulan.
Cina rata-rata sekitar Rp 2,2 juta, Malaysia sekitar Rp 2,7 juta. Padahal, apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia adalah negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi, yakni 6,5 persen di 2011 dan prediksi pada 2012 akan tetap tumbuh tinggi dibandingkan dengan negara lain, yakni sekitar 6,4 persen versi IMF, 6,5 persen versi Pemerintah RI, dan 6,1 versi World Bank.

Tetapi, upah buruh Indonesia justru berbanding terbalik. Agaknya, rezim upah buruh masih dipertahankan oleh Pemerintahan SBY yang prokapitalisme, proeksploitasi buruh minus kesejahteraan terus mendorong maksimalisasi dengan menawarkan insentif kepada investor berupa upah buruh murah.

Upah Tinggi

Berangkat dari konstelasi tersebut, pertama, perubahan paradigma kebijakan Pemerintahan SBY perlu dilakukan untuk mendorong kebijakan afirmasi terhadap buruh dalam bentuk kebijakan (politik) upah buruh yang tinggi. Jeremy R Magruder dari University of California Berkeley, dalam paper-nya yang berjudul Can Minimum Wages Cause A Big Push? Evidence from Indonesia (1990) menyatakan Upah Minimum Regional (UMR) yang tinggi dapat mendorong pertumbuhan sektor formal yang lebih baik dan mengurangi pertumbuhan sektor informal.

Insentif yang tinggi di sektor formal akan mendorong tenaga kerja memilih masuk ke sektor tersebut, karena ciri struk tur ketenagakerjaan di negara berkembang adalah penyerapan tenaga kerja di sektor informal jauh lebih tinggi daripada sektor formal. Dari total 117,4 juta tenaga kerja di Indonesia, per Agustus 2011, 41,4 juta atau 47,83 persen bekerja di sektor formal dan 68,2 juta atau 62,17 persen bekerja di sektor informal.

Selain itu, melalui kebijakan UMR tinggi pemerintah mendesain distribusi surplus relatif lebih adil kepada buruh yang selama ini surplus dikuasai sepenuhnya oleh pengusaha, dan menghindari penumpukan aset pada kelompok tertentu. Pemerintahan SBY harus segera membelokkan keberpihakan kepada kelompok buruh dengan mendorong porsi ideal upah buruh 45 persen dari total produksi.

Kedua, perlu adanya skema flexicurity dalam kebijakan perburuhan di Indonesia. Merujuk best practice, model flexicurity yang diadaptasi dari model kebijakan pasar ketenagakerjaan yang pertama kali dilakukan oleh Perdana Menteri Denmark, Paul Nyrup Rasmussen, paradigma upah minimum yang tinggi direvitalisasi melalui tiga komponen kebijakan. Pertama, fleksibilitas pasar tenaga kerja, kedua jaminan sosial, dan ketiga kebijakan pasar tenaga kerja yang aktif melalui desain kebijakan hak dan tanggung jawab pengangguran.

Namun, dalam konteks penetapan UMR, saya berbeda dan tidak bersepakat dengan pernyataan Menakertrans RI, Muhaimin Iskandar, yang menyatakan idealnya UMR tahun depan (2013) naik sekitar 10 persen. Berangkat dari perspektif flexicurity yang menjadi fondasi desain kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia, saya melihat kenaikan UMR bisa saja di atas atau di bawah 10 persen berdasarkan sektor dan tidak digeneralisasi.

Argumentasi ini berangkat dari beban dan perkembangan industri yang berbeda-beda di Indonesia sehingga pada dasarnya, penetapan UMR dapat dibangun dengan pendekatan sektoral, sekaligus untuk mendorong insentif pada masing-masing sektor. Tetapi, fondasi utamanya tetap pada besaran upah buruh yang harus pada batas minimal 45 persen dari total biaya produksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar