Kegundahan Buruh dalam Refleksi May Day 2012
Endang Suarini, Aktivis
buruh di Sidoarjo
SUMBER
: JAWA POS, 01 Mei 2012
HARI ini 1 Mei atau May Day, yang
biasa diperingati sebagai Hari Buruh Sedunia, bermula dari gerakan buruh pada
akhir abad ke-19. Pada 1 Mei 1886, sejumlah serikat buruh di Amerika Serikat
melakukan aksi besar-besaran menuntut jam kerja dikurangi menjadi delapan jam
per hari. Demonstrasi itu berakhir rusuh di lapangan Haymarket, Chicago, 4 Mei,
yang menewaskan belasan orang dan mencederai lebih dari 100 lainnya. Pada 1889,
organisasi yang dibentuk kelompok sosialis di Eropa dan Amerika, memaklumkan 1
Mei sebagai Hari Buruh.
Mulai rezim kolonial Belanda hingga 2012, May Day sudah lazim diperingati di negeri ini, kecuali pada era Orba (1966-1998). May Day dilarang pemerintahan Presiden Soeharto karena dianggap berbau komunis. Tapi, pasca lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998, May Day menjadi hari besar bagi kaum buruh, entah buruh migran maupun domestik, petani, nelayan, serta kelompok marginal di perkotaan.
Tahun ini, jutaan buruh di tanah air dari berbagai macam serikat buruh siap menggelar berbagai unjuk rasa. Tujuan utamanya, mengingatkan pemerintah agar punya komitmen untuk memperbaiki kesejahteraan buruh dan menjamin keselamatan kerja. Entah didengar atau tidak, para buruh tetap akan memperjuangkan nasibnya yang rata-rata masih buruk.
Buruknya nasib kaum buruh, entah buruh migran maupun domestik, terlihat baru-baru ini. Menjelang May Day, tiga buruh migran dari NTB yang bekerja di Malaysia dipulangkan ke kampung halamannya sudah dalam kondisi menjadi jenazah. Tidak cukup di situ, kabarnya, organ-organ penting dalam tiga jenazah tersebut sudah diambil dan diperjualbelikan. Namun, otopsi Polri mementahkan dugaan itu.
Meski kasus tersebut terjadi di Malaysia, tidak berarti hal-hal buruk itu tidak terjadi di negeri sendiri. Mulai era Marsinah pada dekade 1990-an hingga sekarang, sudah cukup banyak nyawa kaum buruh yang melayang sia-sia karena kecelakaan kerja. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menjelaskan, pada 2011, kecelakaan kerja yang terjadi di seluruh Indonesia mencapai 99.491 kasus dengan 1.965 korban jiwa dan hampir 30 ribu lainnya mengalami cacat tubuh (Tempo, 25/4).
Menurut Jamsostek, setidaknya 75 ribu di antara 95 ribu kejadian kecelakaan terjadi di lingkungan kerja. Itu berarti jaminan untuk keselamatan kerja yang diterapkan banyak perusahaan di tanah air masih rendah, kalau tidak masih asal-asalan. Tingginya angka kecelakaan kerja dipicu fakor masih belum memadainya perlengkapan keamanan kerja. Kondisi tersebut jelas dipicu faktor masih rendahnya perilaku sadar keselamatan kerja. Yang menjadi korban dalam hal ini bukan buruh yang bersangkutan, tapi juga anak-anak dan suami/istri mereka yang masa depannya menjadi serba tidak pasti.
Dirikan Serikat, Di-PHK
Begitulah salah satu konsekuensi terberat menjadi buruh, nyawa pun harus siap dikorbankan. Ironisnya, meski menghadapi risiko seberat itu, hingga kini belum ada perlindungan hukum yang sungguh memihak kepentingan para buruh. Yang terjadi pada tiga buruh migran asal NTB itu menjadi bukti jelas betapa hukum kita masih bersifat tambal sulam. Artinya, baru ketika kasus tersebut diekspos ke publik serta publik meributkan, aparat kita bertindak.
Ke depan, harus dipastikan adanya jaminan perlindungan hukum agar kasus hilangnya nyawa (apalagi kalau ada organ tubuh yang diperjualbelikan) tidak terjadi lagi. Tugas pemerintah, terutama Kemenakertrans, adalah menyiapkan perlindungan hukum yang bisa diandalkan para buruh kita.
Perlindungan hukum tersebut juga diperlukan para buruh di tanah air yang menghadapi ancaman kriminalisasi karena langkah mereka dalam memperjuangkan nasibnya. Baru-baru ini, ada seorang pekerja di sebuah stasiun televisi berita dan talk show di Jakarta di-PHK secara sepihak karena hendak mendirikan serikat kerja. Padahal, mendirikan serikat atau berserikat merupakan bagian dari hak asasi buruh dan dijamin undang-undang. Itu merupakan potret bahwa pada era industri media saat ini ternyata tidak selalu ada kebijakan yang menjamin kebebasan serta kesejahteraan para pekerjanya.
Terkait dengan serikat buruh, keberadaannya merupakan sebuah keniscayaan, mengingat masih rendahnya posisi tawar buruh. Para buruh pun sangat gembira ketika ada banyak serikat buruh setelah lengsernya Soeharto pada 1998. Lewat serikat semacam itu, aspirasi mereka bisa diperjuangkan dan coba dicarikan jalan keluarnya secara bermartabat.
Awalnya, ada fragmentasi tajam antarserikat buruh yang jumlahnya ratusan itu. Namun, belakangan ini ada sinergi dan konsolidasi yang lebih baik. Hal itu terlihat dari sikap guyub dan solidaritas antarserikat buruh menjelang peringatan May Day 2012. Beragam aspirasi atau tuntutan para buruh di berbagai kawasan di tanah air pun kini bisa saling dikomunikasikan. Misalnya, adanya jaminan keselamatan kerja dan jaminan sosial yang lebih baik ke depan.
Kita, para buruh, hanya berharap semoga May Day bisa dijadikan momentum untuk meminimalkan angka kecelakaan kerja sekaligus perbaikan nasib buruh ke depan. ●
Mulai rezim kolonial Belanda hingga 2012, May Day sudah lazim diperingati di negeri ini, kecuali pada era Orba (1966-1998). May Day dilarang pemerintahan Presiden Soeharto karena dianggap berbau komunis. Tapi, pasca lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998, May Day menjadi hari besar bagi kaum buruh, entah buruh migran maupun domestik, petani, nelayan, serta kelompok marginal di perkotaan.
Tahun ini, jutaan buruh di tanah air dari berbagai macam serikat buruh siap menggelar berbagai unjuk rasa. Tujuan utamanya, mengingatkan pemerintah agar punya komitmen untuk memperbaiki kesejahteraan buruh dan menjamin keselamatan kerja. Entah didengar atau tidak, para buruh tetap akan memperjuangkan nasibnya yang rata-rata masih buruk.
Buruknya nasib kaum buruh, entah buruh migran maupun domestik, terlihat baru-baru ini. Menjelang May Day, tiga buruh migran dari NTB yang bekerja di Malaysia dipulangkan ke kampung halamannya sudah dalam kondisi menjadi jenazah. Tidak cukup di situ, kabarnya, organ-organ penting dalam tiga jenazah tersebut sudah diambil dan diperjualbelikan. Namun, otopsi Polri mementahkan dugaan itu.
Meski kasus tersebut terjadi di Malaysia, tidak berarti hal-hal buruk itu tidak terjadi di negeri sendiri. Mulai era Marsinah pada dekade 1990-an hingga sekarang, sudah cukup banyak nyawa kaum buruh yang melayang sia-sia karena kecelakaan kerja. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menjelaskan, pada 2011, kecelakaan kerja yang terjadi di seluruh Indonesia mencapai 99.491 kasus dengan 1.965 korban jiwa dan hampir 30 ribu lainnya mengalami cacat tubuh (Tempo, 25/4).
Menurut Jamsostek, setidaknya 75 ribu di antara 95 ribu kejadian kecelakaan terjadi di lingkungan kerja. Itu berarti jaminan untuk keselamatan kerja yang diterapkan banyak perusahaan di tanah air masih rendah, kalau tidak masih asal-asalan. Tingginya angka kecelakaan kerja dipicu fakor masih belum memadainya perlengkapan keamanan kerja. Kondisi tersebut jelas dipicu faktor masih rendahnya perilaku sadar keselamatan kerja. Yang menjadi korban dalam hal ini bukan buruh yang bersangkutan, tapi juga anak-anak dan suami/istri mereka yang masa depannya menjadi serba tidak pasti.
Dirikan Serikat, Di-PHK
Begitulah salah satu konsekuensi terberat menjadi buruh, nyawa pun harus siap dikorbankan. Ironisnya, meski menghadapi risiko seberat itu, hingga kini belum ada perlindungan hukum yang sungguh memihak kepentingan para buruh. Yang terjadi pada tiga buruh migran asal NTB itu menjadi bukti jelas betapa hukum kita masih bersifat tambal sulam. Artinya, baru ketika kasus tersebut diekspos ke publik serta publik meributkan, aparat kita bertindak.
Ke depan, harus dipastikan adanya jaminan perlindungan hukum agar kasus hilangnya nyawa (apalagi kalau ada organ tubuh yang diperjualbelikan) tidak terjadi lagi. Tugas pemerintah, terutama Kemenakertrans, adalah menyiapkan perlindungan hukum yang bisa diandalkan para buruh kita.
Perlindungan hukum tersebut juga diperlukan para buruh di tanah air yang menghadapi ancaman kriminalisasi karena langkah mereka dalam memperjuangkan nasibnya. Baru-baru ini, ada seorang pekerja di sebuah stasiun televisi berita dan talk show di Jakarta di-PHK secara sepihak karena hendak mendirikan serikat kerja. Padahal, mendirikan serikat atau berserikat merupakan bagian dari hak asasi buruh dan dijamin undang-undang. Itu merupakan potret bahwa pada era industri media saat ini ternyata tidak selalu ada kebijakan yang menjamin kebebasan serta kesejahteraan para pekerjanya.
Terkait dengan serikat buruh, keberadaannya merupakan sebuah keniscayaan, mengingat masih rendahnya posisi tawar buruh. Para buruh pun sangat gembira ketika ada banyak serikat buruh setelah lengsernya Soeharto pada 1998. Lewat serikat semacam itu, aspirasi mereka bisa diperjuangkan dan coba dicarikan jalan keluarnya secara bermartabat.
Awalnya, ada fragmentasi tajam antarserikat buruh yang jumlahnya ratusan itu. Namun, belakangan ini ada sinergi dan konsolidasi yang lebih baik. Hal itu terlihat dari sikap guyub dan solidaritas antarserikat buruh menjelang peringatan May Day 2012. Beragam aspirasi atau tuntutan para buruh di berbagai kawasan di tanah air pun kini bisa saling dikomunikasikan. Misalnya, adanya jaminan keselamatan kerja dan jaminan sosial yang lebih baik ke depan.
Kita, para buruh, hanya berharap semoga May Day bisa dijadikan momentum untuk meminimalkan angka kecelakaan kerja sekaligus perbaikan nasib buruh ke depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar