Televisi
Juga untuk Minoritas
Rahayu, DOSEN ILMU KOMUNIKASI UGM,
PENELITI DI PUSAT KAJIAN MEDIA DAN BUDAYA POPULER
SUMBER : KOMPAS, 5 Maret
2012
Saat ini di Mahkamah Konstitusi sedang
berlangsung sidang uji materi UU Penyiaran terhadap UUD 1945. Intinya
mempersoalkan adanya multitafsir Pasal 18 Ayat (1) dan Pasal 34 Ayat (4) yang
mengakibatkan adanya pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran swasta oleh satu
badan hukum dan pemindahtanganan izin penyelenggaraan penyiaran yang tidak
sepatutnya terjadi. Pada saat yang sama, di DPR juga dibahas UU Penyiaran baru.
Membaca risalah sidang perkara yang digelar
pada 15 Februari 2012 itu saya terkejut dengan pernyataan Maruarar Siahaan
(saksi ahli pemerintah) yang mengungkapkan bahwa berbicara soal televisi swasta
adalah berbicara soal pasar (market).
Dalam garis besar pandangannya, televisi dianggap sewajarnya menyusun konten
yang dicari oleh pasar karena pasarlah yang memberi kehidupan bagi televisi.
Pandangan tersebut tak benar dan cenderung
menyesatkan. Sebab, terlalu bias terhadap kepentingan pihak televisi swasta
(Jakarta) serta tidak menghargai keberadaan dan kepentingan kelompok minoritas.
Bukan
Soal Pasar Semata
Seharusnya berbicara soal penyiaran bukan
hanya soal pasar, melainkan juga hak kelompok minoritas mengekspresikan
pendapat dan identitasnya melalui frekuensi yang juga adalah miliknya.
Perlindungan dan penghargaan terhadap minoritas merupakan syarat mutlak bagi
sebuah negara demokrasi. Di Indonesia, jaminan terhadap minoritas diatur dan
dijamin oleh UUD 1945
Dalam pandangan saya, pertama, kepentingan
pasar tak sepantasnya jadi dasar pembelaan untuk mengatur persoalan konsentrasi
kepemilikan lembaga penyiaran. Sebab, kepentingan pasar tidak merepresentasikan
kepentingan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Selama ini yang diperhitungkan sebagai pasar
adalah mereka yang tinggal diperkotaan, punya selera sama atas program dan isi
siaran, serta dianggap berdaya beli atau bernilai ekonomi untuk ”dijual” kepada
pengiklan. Masyarakat pinggiran dan kelompok minoritas di luar karakteristik
tersebut tidak diperhitungkan sebagai pasar dan sebagai konsekuensinya mereka
cenderung diabaikan. Keberpihakan yang berlebihan terhadap pasar hanya akan
mengancam keberagaman masyarakat Indonesia.
Kedua, kelompok minoritas merupakan kekayaan
bagi sebuah negara demokrasi. Karena itu, mereka perlu dilindungi dan dihargai
eksistensinya.
Di dunia penyiaran, bukan hanya lembaga
penyiaran publik atau komunitas yang wajib memberikan kesempatan bagi kelompok
minoritas untuk berekspresi, lembaga penyiaran swasta pun seharusnya memikirkan
secara serius konten siaran yang relevan bagi mereka serta memberikan peluang
bagi kelompok tersebut untuk menampilkan kreasi dan identitasnya. Ini adalah
kewajiban sosial bagi televisi swasta yang mempergunakan frekuensi penyiaran
dalam menjalankan usahanya mengingat frekuensi tersebut adalah milik publik
yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat
Indonesia.
Ketiga, kelompok minoritas tidak hanya berhak
diberi ruang berekspresi oleh lembaga-lembaga penyiaran tersebut, tetapi juga
punya hak mendapatkan jatah alokasi frekuensi dan memanfaatkannya secara
independen. Jatah alokasi ini sangatlah penting untuk menghindari intervensi,
penguasaan, dan penyalahgunaan terhadap kelompok minoritas sebagai akibat dari
standardisasi yang diterapkan oleh suatu lembaga penyiaran tertentu. Hal ini
merupakan salah satu cara untuk menjamin kebebasan berekspresi dan
mengembangkan keberagaman materi siaran.
Di negara Demokrasi
Di sejumlah negara demokrasi, perhatian dan
penghargaan terhadap pluralisme dan keberagaman merupakan prioritas dalam
mengembangkan sistem media, termasuk penyiaran. Di sejumlah negara di Eropa
Barat, seperti Inggris, Denmark, Skotlandia, Swedia, dan juga Irlandia, negara
memberikan hak dan jaminan kepada kelompok minoritas untuk mendirikan medianya
sendiri secara otonom. Bahkan, kelompok ini diberikan perlindungan untuk
menggunakan bahasa ibu ke dalam siarannya (lihat dalam Cox, 2010; Hourigan,
2001; Cormax, 1998).
Pemberian hak dan jaminan itu tidak hanya
diorientasikan untuk memberi ruang bagi mereka untuk mengekspresikan
identitasnya dan meningkatkan partisipasi politik, tetapi juga untuk menjaga
dan melestarikan indigenous language
agar tak punah.
Di Los Angeles, seperti KSCI (channel 18),
KWHY (channel 22), KMEX (channel 34), dan KBSC (channel 52); juga di Toronto,
seperti TV-Ontario (channel 19), CBLFT (channel 25), CFMT (channel 47), dan
CITY (channel 79), menyiarkan program untuk kelompok etnik minoritas. Di
Kanada, bahkan Canadian Association of
Broadcasters secara tegas menyerukan agar industri penyiaran
merepresentasikan keberagaman budaya Kanada dalam siarannya (Public Notice CRTC, 2001).
Di Amerika, para jurnalis dan profesional
media lainnya mendapatkan pelatihan secara intensif untuk meningkatkan kepekaan
terhadap persoalan keberagaman materi siaran. Sebagai contoh, mereka dilatih
bagaimana mempersiapkan sebuah keragaman cerita.
The
Associated Press Stylebook and Libel Manual bahkan mengeluarkan
daftar kata yang harus dihindari/dirujuk untuk menyebut sekelompok etnik demi
menghargai keberadaan minoritas, seperti black yang tidak sepatutnya digunakan
untuk menyebut African American
(lihat dalam Goldstein, 1998).
Sejumlah perusahaan media di Amerika Serikat pun menaruh perhatian serius
terhadap keanekaragaman staf, terutama di ruang redaksi, untuk mendapatkan
pengayaan perspektif menyangkut kelompok minoritas.
Bagaimana Indonesia? Dalam sejarah penyiaran,
negara belum pernah menaruh perhatian serius terhadap hak minoritas untuk
memiliki akses terhadap frekuensi secara otonom. Pada pemerintahan Orde Lama,
tampilan kelompok minoritas di layar kaca adalah ornamen semata karena
didominasi oleh kepentingan penguasa sehingga tidak benar-benar mengekspresikan
dirinya (lihat dalam Kitley, 2000).
Pada pemerintahan Orde Baru sama saja. Pemerintah
dan pengusaha televisi swasta kurang menghargai kelompok minoritas.
Kehadirannya di layar kaca hanya menjadi komoditas, sebagian besar ditampilkan
sebagai pelengkap, bahan olok-olokan, dan diberitakan saat menjadi korban.
Terdapat bias dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas di televisi
Indonesia (Nilan, 2000; Hobart, 2000).
Saat ini, di era reformasi, akankah perhatian
terhadap pasar akan kembali mengabaikan hak kelompok minoritas untuk
mendapatkan akses terhadap televisi? Indonesia telah memilih demokrasi untuk
mengatur kehidupan bernegara. Namun, jangan pernah berbicara soal demokrasi
jika tidak ada penghargaan terhadap minoritas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar