Merawat Nalar Bangsa
Mohammad Abduhzen ; Direktur
Institute for Education Reform
Universitas Paramadina, Jakarta;
Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS, 02 Mei
2016
Meskipun pemerintahan Presiden
Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam masa lebih dari satu tahun, pemerintahannya
belum menunjukkan rencana dan implementasi
konkret revolusi mental,
anggaplah pemerintah serius dengan gagasan ini. Paling tidak, alur
silogismenya lurus dan konsisten sehingga revolusi mental dirasa sebagai
sebuah kesimpulan valid.
Revolusi mental digagas Joko
Widodo (Kompas, 10/5/2014) dengan premis bahwa selama 16 tahun menjalankan
reformasi kita hanya mencapai kemajuan sebatas kelembagaan. Ekonomi semakin
berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur, tetapi kenapa masyarakat
kita malah bertambah galau, bukannya bertambah bahagia?
Menurut Jokowi, pembangunan kita
belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dari manusia yang
menjalankan sistem sehingga nation building tak mengantarkan Indonesia pada
cita-citanya. Agar perubahan benar-benar bermakna, berkesinambungan, dan
sesuai cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita
perlu melakukan revolusi mental.
Jalan
tol nir-jalan pikiran
Meski demikian, selama
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) berlangsung, kita
menyaksikan kesenjangan antara proposisi yang dinyatakan dan agenda yang
dijalankan. Pemerintahan ini tampak lebih getol membangun tol daripada
membangun jalan pikiran bangsa. Padahal, jalan pikiran merupakan isi mental
utama yang menghubungkan kita dengan
masa depan yang dicitakan dan karenanya perlu lebih dahulu dirawat.
Kedaulatan politik, kemandirian
ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya yang jadi cita-cita pemerintah
merupakan masalah dan bermula dari jalan pikiran atau mindset bangsa.
Kebangkitan bangsa-bangsa maju pada umumnya dimulai dari upaya memelihara
nalarnya sehingga berkhidmat terhadap akal sehat. Kehidupan dan kemajuan
duniawi tampaknya tersusun atas hukum-hukum yang rasional dan akan berkembang
hanya jika dipahami dan dijalani sesuai dengan hukum tersebut.
Mengutamakan pembangunan fisik
sembari seadanya mengembangkan jiwa dan pikiran, selain tak seirama dengan
"Indonesia Raya", juga melawan hukum nalar kemajuan. Pembangunan seperti itu pada akhirnya hanya
akan meneruskan siklus absurditas sisifus seperti selama ini: membangun untuk
menyaksikan kejatuhan/kemerosotan.
Dengan revolusi mental sebagai
gerakan nasional seperti dimaksud penggagasnya, seyogianya pemerintah
memprioritaskan upaya pencerdasan kehidupan bangsa sebagai jalan membentuk
pola pikir bangsa. Ironisnya, upaya pencerdasan bangsa melalui pendidikan
dalam berbagai ranahnya dewasa ini masih diliputi berbagai masalah mendasar.
Orientasi pembelajaran yang
dijalankan sebatas mengoptimalkan kemampuan berpikir tingkat rendah. Pikiran
para murid setiap hari dijejali oleh beragam data pengetahuan yang-entah
berguna atau tidak-dihafal dan diuji di kemudian hari. Sedikit sekali para
pelajar dilibatkan dalam proses berpikir tingkat tinggi, seperti menalar,
menganalisis, dan memecahkan masalah yang konon sebagai salah satu kecakapan
utama yang dibutuhkan untuk hidup dan sukses di abad ke-21. Hasil Programme for International Student
Assessment (PISA) 2012 menunjukkan
kuatnya kemampuan berpikir murid Indonesia pada tingkat rendah dan lemahnya
kemampuan berpikir tingkat tinggi. Sementara negara maju, seperti Singapura
dan Korea Selatan, menunjukkan kemampuan sebaliknya.
Berbekal kemampuan berpikir
tingkat rendah, memasuki abad ke-21 dengan era globalisasinya yang penuh
persaingan akan menjadikan bangsa ini seperti keledai yang tak memiliki
kewibawaan, kemandirian, dan jati diri. Gejala itu mulai tampak dan terasa
ketika berbagai kebijakan dan gerak budaya kita berorientasi kepada
standar-standar "asing", bahkan mungkin untuk kepentingan asing,
dengan argumen "demi daya saing".
Memberikan perhatian besar kepada
bidang pendidikan selain sebagai tanda
pemerintah berpikir maju juga merupakan keharusan untuk penyelamatan bangsa.
Berbagai problem pendidikan kita dewasa ini sudah sangat parah dan memerlukan
Presiden turun tangan karena besaran dan substansinya telah melampaui
kapasitas departemental atau kementerian. Jika kenyataan ini terus diabaikan
, bukan saja akan berakibat pada
involusi dalam dunia pendidikan,
melainkan juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kembali
ke pangkalan
Bangsa Indonesia dengan
pendidikannya mengalami disorientasi di tengah pusaran arus perubahan yang
demikian cepat. Program dan operasi pendidikan dewasa ini seperti tersedot oleh pesona pragmatisme
untuk bertarung dalam era globalisasi. Pendidikan makin jauh meninggalkan
pangkalan, menuju entah ke mana.
Alhasil, bangsa yang cerdas seperti ditetapkan dengan arif oleh para pendiri bangsa, setelah
tujuh puluh tahun merdeka makin jauh panggang dari api.
Bangsa ini barangkali kualat karena begitu lama tak merawat
wasiat "mencerdaskan kehidupan bangsa" dan lebih menyibukkan diri
pada pembangunan ekonomi. Padahal, kecerdasan merupakan substansi yang
menentukan martabat kemanusiaan. Jika saja "mencerdaskan kehidupan
bangsa" dicermati sejak dulu, kiranya bangsa ini tak jadi seperti ini:
para murid kita tak hanya unggul pada kemampuan berpikir tingkat rendah,
tetapi juga unggul pada penalaran tingkat tinggi.
Berpikir tingkat tinggi merupakan
hakikat berpikir yang sesungguhnya karena membutuhkan seluruh potensi dan
kemampuan kognisi. Pembedaan "tinggi-rendah" yang didasarkan pada
taksonomi Benjamin Samuel Bloom (1913-1999) bukan dimaksudkan menunjukkan
hierarki kepentingan, tetapi bertujuan mempermudah secara didaktik-metodik
pembelajaran. Berpikir tingkat rendah
merupakan fondasi dan persyaratan untuk masuk dan menjalankan kemampuan
berpikir tingkat tinggi. Intinya, strategi pembelajaran haruslah mengarah
kepada pencapaian kemampuan berpikir, bukan hanya mengisi pikiran.
Salah satu kelemahan utama
pendidikan kita sejak dahulu adalah masalah metodologi yang dipergunakan para
guru dalam pembelajaran. Untuk kesekian kalinya, terkait persoalan ini, saya mengangkat hasil penelitian Prof CE
Beeby (1987) yang menyatakan bahwa guru-guru menerangkan pelajaran dengan
latar belakang pengetahuan dan keterampilan metodik yang minimal, terbatas
pada buku teks yang dimilikinya. Andalan lain mungkin sisa-sisa ingatannya
dari apa yang pernah dipelajarinya dulu di sekolah. Setelah menguraikan
sesuatu masalah, guru menghabiskan bagian terbesar jam pelajarannya untuk
mendiktekan atau menuliskan apa yang diajarkannya di papan tulis dan menunggu
murid menyalinnya. Catatan itulah yang dipelajari murid dan menjadi bahan
ulangan. Sedikit sekali sekolah di Indonesia membantu menumbuhkan potensi
seorang murid, dan pengaruh sekolah yang menjemukan serta tak imajinatif
tersebut tetap terasa ketika seseorang menjadi dewasa dan memimpin
masyarakatnya.
Singkirkan
kepentingan politis
Di antara upaya yang dapat
mengembangkan kemampuan dan kecakapan berpikir adalah pembelajaran bersifat
dialogis atau partisipatif, atau apalah namanya. Pembelajaran harus
melibatkan secara aktif para murid dalam proses berpikir, utamanya melalui
berbagai ekspresi, seperti verbal dan gerak tubuh. Hal ini penting karena
secara filosofi setiap tindakan sadar senantiasa terdapat intensionalitas
yang meniscayakan rasionalitas.
Secara normatif, pemerintah telah
tepat untuk memperbaiki praktik kelas, antara lain melalui UU Sistem
Pendidikan Nasional (UU No 20/2003) dengan memperbarui definisi pendidikan
dan UU Guru dan Dosen (UU No 14/2005) menetapkan profesionalisme dengan kompetensi guru.
Sementara itu, wacana tentang model pembelajaran partisipatif yang
menyenangkan dan yang efektif berkembang pesat di Tanah Air. Buku-buku
seperti revolusi pembelajaran, akselerasi pembelajaran, guru efektif,
pembelajaran dan pengajaran kuantum banyak dijajakan.
Sayangnya, keputusan normatif dan
berbagai wacana pembaruan pendidikan dalam strategi implementasinya terlalu
banyak diwarnai kepentingan politis sehingga tidak efektif. Yang muncul dan
menyita energi malah persoalan sertifikasi yang terkait dengan tunjangan
profesi dan kurikulum. Ide-ide pembelajaran modern yang
berkembang tak terserap dan peningkatan kompetensi guru yang
seharusnya memerlukan intervensi kualitatif terabaikan.
Kini, terkait pencerdasan bangsa
yang bermuara pada meningkatkan kemampuan berpikir, pemerintah-khususnya yang
menangani bidang pendidikan-diharapkan fokus pada tantangan meningkatkan
kinerja para pendidik melalui pendekatan insentif dan motif. Pemerintah telah
memberikan tunjangan profesi yang relatif baik pada para pendidik, tetapi
sejauh ini pemerintah belum mengelola motif secara efektif. Diperlukan sebuah
model intervensi untuk meningkatkan motivasi yang sekaligus jadi pendorong
peningkatan kompetensi pedagogi dan profesional bagi pendidik dalam jabatan
dan calon pendidik sehingga mereka dapat menjalankan pembelajaran yang
dialogis seperti semangat dari undang-undang.
Cetusan ide revolusi mental
seyogianya dijadikan titik balik ke pangkalan pendidikan kita untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dalam segala dimensinya. Pikiran bangsa ini
telah tumbuh bak semak-belukar menjadi rimba sehingga menutup berbagai jalan
kemajuan. Maka, jangan abaikan pendidikan.
Jadi, senyampang peringatan Hari
Pendidikan Nasional (2 Mei 2016) sebagai titik berangkat, pemerintah melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kiranya perlu mulai membangun jalan
(tol) pikiran bangsa untuk menghubungkan kita dengan masa depan yang
dicita-citakan oleh para pendiri republik ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar