Sanksi Administrasi Politik Uang
Titi Anggraini ; Direktur
Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
|
KORAN SINDO, 16
Mei 2016
Instrumen dan
penegakan hukum pemilu harus menjamin keadilan pemilu (electoral justice). Istilah keadilan pemilu muncul sebagai
paradigma untuk menegakkan kemurnian hak pilih warga negara.
Jika hak pilih warga
negara termanipulasi oleh peserta pemilu, sistem keadilan pemilu harus mampu
mengembalikannya. Jika penyelenggara pemilu telah lalai mengakomodasi hak
pilih, bahkan tidak ada alasan untuk tidak mengembalikan hak pilih itu
sendiri (International IDEA, 2011). Keadilan pemilu bukan semata soal
memastikan setiap warga negara yang memenuhi syarat terdaftar sebagai pemilih
dan bisa menggunakan hak pilihnya di hari H pemilihan.
Namun, juga soal
bagaimana hak pilih itu disalurkan sesuai kehendak bebas pemilih, tanpa
intervensi, pengaruh materi, imingiming, ataupun intimidasi. Inilah yang
acapkali gagal diwujudkan pemilu kita. Dan, ini terjadi salah satunya karena
praktik politik uang yang hari ke hari makin jadi momok dan virus mematikan
bagi praktik berpemilu. Uang menjadi faktor dominan nan ampuh sebagai alat
dan cara memenangkan pemilihan.
Kaderisasi yang tidak
berjalan, rekrutmen yang elitis, dominasi oligarki pemilik modal di struktur
partai, dan ongkos kampanye yang mahal membuat uang dipilih sebagai jalan
pintas untuk menang pemilu. Politik uang menjadi kejahatan luar biasa yang
dilaknat, tapi tetap diminati oknum politik sebagai ”solusi” dalam pemilu.
Ini menjadi kegelisahan yang mendesak dicarikan solusinya.
Kegelisahan yang juga
jadi tantangan pembuat undangundang saat melakukan revisi atas Undang-Undang
Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Terkait ini, diberitakan bahwa Pemerintah
dan Panitia Kerja (Panja) DPR dalam Revisi UU Pilkada menyepakati untuk
menguatkan kewenangan Bawaslu.
Dengan kewenangan yang
baru, Bawaslu bisa memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan sanksi administrasi
kepada pelaku politik uang. Penindakan pelanggaran hukum selama pilkada bisa
lebih cepat dan tak seperti pilkada sebelumnya yang menunggu lama (KORAN
SINDO , 27/4).
Pembatalan Calon
Dalam pengaturan
sebelumnya bukan tidak ada sanksi administrasi atas praktik politik uang.
Pasal 47 ayat (5) UU No 1 Tahun 2015 menyatakan, setiap orang atau lembaga
yang terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan gubernur dan wakil
gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota, maka
penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai gubernur,
wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota atau wakil wali kota
dibatalkan.
Selanjutnya Pasal 73
ayat (1) undang-undang yang sama mengatur bahwa calon dan/ atau tim kampanye
yang terbukti menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lain untuk
memengaruhi pemilih dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU provinsi
dan KPU kabupaten/kota.
Namun, ketentuan
tersebut tidak pernah efektif dan berhasil ditegakkan sebab pelaksanaannya
baru bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkracht).
Bawaslu sebagai pengawas juga penerima laporan pelanggaran pemilu/pilkada
tidak otonom dalam menegakkan ketentuan di atas.
Alih-alih mencapai
kesepahaman soal proses pidana atas laporan politik uang, Bawaslu seringkali
berbeda pendapat dengan pihak kepolisian dan kejaksaan yang tergabung dalam
Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Jika tidak tercapai
kesepahaman, otomatis laporan tidak bisa dilimpahkan ke pengadilan. Artinya,
sanksi administrasi politik uang juga tidak mungkin untuk diterapkan.
Menjadi keinsyafan
bahwa efek jera atas praktik politik uang tak cukup hanya dengan menghukum si
pemberi dan penerima (sebagaimana pengaturan dalam draf revisi UU Pilkada
usulan pemerintah saat ini). Sanksi pidana badan (kurungan/penjara) atau
denda tak akan pernah memberi dampak jera kepada para pelaku.
Mengutip pernyataan
yang sering dilontarkan Ramlan Surbakti, guru besar ilmu politik Universitas
Airlangga, peserta pemilihan hanya takut pada dua hal, yaitu tidak bisa
menjadi peserta pemilu (entah tidak lolos atau dibatalkan) dan ditinggalkan
oleh pemilih. Peserta pemilihan, calon, juga tim kampanye, akan jera kalau
hukum secara tegas bisa mengeliminasi mereka dari proses kompetisi dan
melarang mereka menjadi/mengusung calon di pemilu/pilkada berikutnya.
Agar sanksi
administratif ini bisa efektif ditegakkan, penjatuhannya tidak perlu menunggu
ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana selama ini
dipraktikkan. Mekanismenya, sanksi administrasi diputuskan oleh Bawaslu RI
berdasar temuan langsung di lapangan atau atas rekomendasi Bawaslu provinsi.
Mengapa sanksi
administrasi ini hanya bisa diputuskan oleh Bawaslu RI adalah untuk
betul-betul memastikan agar sanksi ini dijatuhkan tidak asal-asalan, tidak
mudah diintervensi oleh aktor lokal, dan menjaga konsistensi dalam
penerapannya di seluruh wilayah.
Rekomendasi dibuat
berdasar alat bukti yang sangat kuat dan cukup, terang benderang, dan
nyata-nyata tidak dapat dibantah bahwa telah terjadi praktik politik uang
yang dilakukan calon, partai pengusung, dan/ atau tim kampanye (resmi ataupun
tidak resmi) yang bisa dibuktikan terhubung dengan pasangan calon/ partai
politik pengusung. Atas rekomendasi Bawaslu ini, KPU provinsi atau KPU
kabupaten/kota wajib menindaklanjuti dan melaksanakan karena sifatnya final
dan mengikat.
Kompetensi dan Sumber Daya
Kewenangan
eksekutorial ini penguatan paling konkret atas eksistensi Bawaslu sebagai
badan pemutus yang sejak lama diminta. Namun, penguatan kewenangan saja tidak
cukup. Kewenangan baru ini harus diperkuat dengan kemampuan pengusutan dan
pengkajian perkara oleh Bawaslu dan akses pada lembaga lain yang mampu
menelusuri aliran uang dan transaksi ilegal pilkada.
Untuk optimalisasi,
kewenangan baru Bawaslu harus diikuti dengan pembenahan kompetensi dan sumber
daya. Kompetensi berkaitan antara lain dengan seberapa besar kewenangan
Bawaslu bisa memaksa kepatuhan pihak lain. Seberapa besar aksesnya pada data
perbankan dan transaksi keuangan.
Lalu, seberapa mampu
dia melakukan kegiatan-kegiatan pencegahan seperti pendidikan, penyuluhan,
ataupun penyitaan. Tak kalah pentingnya, seberapa banyak staf dan dana yang
tersedia. Berkaitan dengan kemampuan memaksa kepatuhan dan dimensi
pencegahan, India bisa jadi contoh. KPU India misalnya boleh menyita uang
tunai lebih dari USD1.000 yang dipegang seseorang tanpa alasan yang jelas
selama masa kampanye pemilu.
Sejauh ini (sejak 4
Maret), lebih dari USD100 juta telah disita di lima negara bagian yang sedang
menyelenggarakan pemilu (Adhy Aman, 2016). Selain itu, untuk efektivitas
penegakan hukum, pengaturan politik uang mestinya tidak sekadar mencakup
praktik jual beli suara (vote buying).
Definisi politik uang
juga harus mencakup praktik jual beli tiket pencalonan/ mahar politik
pencalonan (candidacy buying) dan
praktik menyuap penyelenggara/hakim pemutus sengketa dalam rangka
memanipulasi proses/hasil pilkada. Dengan pengaturan politik uang yang
semakin komprehensif, diharapkan keadilan pemilu benar-benar bisa terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar