Sudah Lupakah Rasanya Menjadi Nusantara?
Anang Iskandar ;
Kepala Badan Reserse dan
Kriminal Polri
|
MEDIA INDONESIA,
19 Mei 2016
SELALU ada sejenis
resah di balik dada saat mengetahui anak-anak bangsa yang mesti terjerat
hukum, khususnya karena penyalahgunaan bahasa. Padahal, bahasa juga merupakan
salah satu cerminan dari sebuah bangsa: peta dari simpanan dan penyandi
instruksi-instruksi genetika setiap organisme bernama manusia Indonesia.
Badan Reserse dan
Kriminal (Bareskrim) Polri hingga saat ini memang masih menangani beberapa
kasus yang terkait dengan penyalahgunaan bahasa. Akan tetapi, bukan
perkembangan kasusnya yang hendak disampaikan di sini: toh tombol hukum yang
sudah telanjur dinyalakan itu, biarlah ia menyala sesuai dengan aturannya.
Mematikan secara
mendadak tombol dari dugaan tindak pidana ujaran kebencian bukan tindakan
yang bijaksana. Kepastian hukum di Indonesia juga menjadi taruhannya. Anak
cucu kita bakal mengambil bahan pelajaran dari ini semua.
Di Baku, Azerbaijan, Forum
Global telah digelar United Nations Alliance of Civilizations pada akhir
April 2016. Satu sesi khusus dari konferensi itu membahas mengenai fenomena
global, ujaran kebencian atau hate speech oleh para panelis.
Tentu saja sesi khusus
yang membuat PBB mesti turun tangan ini memiliki banyak makna. Salah satunya
yang pasti ialah ini semua telah menunjukkan bahwa ujaran kebencian menjadi
fenomena global yang tidak bisa dibiarkan lagi. Kesimpulan yang dihasilkan
dari forum itu sendiri ialah inisiatif bagi seluruh anggota PBB untuk
melaksanakan kampanye 'No Hate Speech' sebagai bentuk nyata perlawanan dari
narasi besar kelompok penyebar ujaran kebencian.
Ini menjadi menarik
karena persoalan ujaran kebencian saat ini, faktanya, disebarkan atau
dikemukakan justru di banyak medium komunikasi oleh kelompok-kelompok
pembenci kedamaian. Paling kentara tentu saja di beberapa media massa hingga
media sosial. Biasanya, ujaran kebencian yang disebar melalui medium ini
memiliki tendensi secara diksi dengan tone negatif mengaitkan berbagai isu
suku, agama, ekonomi, ras, dan kepentingan politik. Satu sisi, sebenarnya
bisa saja ini bukan menjadi persoalan yang patut dibesar-besarkan.
Akan tetapi, justru
saat platform internet yang kini telah menjadi bagian primer dari komunikasi
dan informasi bagi masyarakat Nusantara, penyebaran ujaran kebencian justru
menjadi sejenis tsunami: menggulung budaya Timur khas Indonesia, berganti
dengan wajah yang penuh amarah, tanpa batas yang siapa pun tidak mampu
menghalanginya. Ia disebar dari ruang privat ke ruang publik dengan tujuan
menghancurkan ruang privat manusia lainnya.
Jika sejenak saja
kembali pada kearifan lokal dari Nusantara, Indonesia, ujaran kebencian
sebenarnya satu motif hingga bentuk komunikasi yang seharusnya mesti dihindari.
Paling maksimal yang ada di budaya Nusantara hanya sekadar gosip, gibah,
ngrasani. Medium yang digunakan juga hanya dari mulut ke mulut, sekadar bumbu
penyedap di level rukun tetangga atau rukun warga saja. Tidak begitu
berbahaya awalnya.
Namun, kemudian,
terjangan perubahan zaman dari medium komunikasi yang memang tak bisa
dihalangi ini mau tidak mau mesti segera diantisipasi. Menghadang laju banjir
yang bertubi-tubi tentu saja mesti mendirikan tanggul di banyak sisi.
Manusia Nusantara yang
kini banyak bermetamorfosis menjadi manusia tanpa etika mesti kembali pada
hakikatnya, yaitu berperasaan halus dengan berlandaskan pada perkembangan
jiwa berbasis kearifan lokal.
Bukankah saat ini kita
semua telah merindukan manusia Nusantara yang memiliki rasa tepa selira? Bukankah
kita semua sangat menginginkan manusia Nusantara itu menyampaikan pikirannya,
sesuai dengan budaya, berlandas pada etika? Bukankah kita semua merindukan
manusia Nusantara yang penuh senyum dan saling menghormati satu sama lainnya? Sudah lupakah kita menjadi Nusantara,
Indonesia?
Sudah saatnya juga
kerumunan tanpa wajah yang menjadi penyebar ujaran kebencian dan membuat
manusia-manusia Nusantara yang berbudi halus menjadi liar, tanpa nalar,
berujar tanpa dipikir itu diajak duduk bersama. Melakukan dialog
Juga membuka
perspektif bahwa sesuai dengan zaman ini, ujaran kebencian diam-diam
sebenarnya telah menjadi bisnis atau electronic hate bussiness (E-hate
bussiness). Murni hanya mencari keuntungan pribadi semata. Sudah waktunya
juga mereka yang memiliki pengetahuan bersuara bahwa semuanya bisa
dituntaskan dengan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan.
Dengan itu semua,
kesadaran bersama untuk kembali menjadi Indonesia bisa dipastikan bahwa tidak
akan bertambah lagi anak bangsa yang mesti menghuni rumah tahanan dan lembaga
pemasyarakatan, baik karena persoalan penyalahgunaan bahasa maupun dugaan
pelanggaran pidana lainnya.
Di titik itu juga,
wajah hukum sudah bukan lagi sebagai institusi yang bersifat mutlak dan
final, melainkan sebagai institusi bermoral, bernurani, dan bertujuan
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat
manusia bahagia. Semua karena kemanusiaan dan keadilan yang menjadi tujuan
dari segalanya dalam kita berkehidupan hukum, menjadi Indonesia.
Maka, pada akhirnya,
kembali ke salah satu akar kearifan Nusantara memang bisa menjadi kunci
utamanya: kata dan medium komunikasi adalah senjata, maka berhati-hatilah
menggunakannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar