Usai Pesta Politik Golkar
Lely Arrianie ;
Dosen Komunikasi Politik
Universitas Bengkulu;
Ketua Program Magister Ilmu
Komunikasi Universitas Jayabaya Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
18 Mei 2016
PESTA politik Munaslub Golkar baru saja
usai digelar. Baru saja juga terpilih seorang Setya Novanto yang
keberadaannya akhir-akhir ini menjadi sorotan publik karena kasus ‘papa minta
saham’ yang menghebohkan itu. Namun, inilah realitas panggung politik Golkar
hari ini, yang setelah berlelah-lelah menghadapi konflik internal, maju
mundur dalam gugatan hukum untuk mengukuhkan keabsahan kelompok yang
mengklaim sebagai pemimpin sah di partai itu, atau bolak-balik mencari
mediator yang bisa menjembatani konflik dan perpecahan di tubuh partai,
akhirnya sepakat menggelar munaslub bersama.
Polarisasi dukungan
Golkar memang berhasil mengukuhkan model
demokrasi pemilihan nyaris tanpa gaduh dalam munaslub kali ini. Namun, bukan
berarti lepas dari bising dan prejudice
politik berbagai kalangan yang memahami benar proses perjalanan Golkar untuk
sampai kepada munaslub. Di atas kertas ada delapan kandidat yang bertarung,
tapi polarisasi dukungan terbaca sejak awal hanya akan menyekat dua orang
saja, yakni Setya Novanto dan Ade Komarudin.
Parahnya, ada dikotomi pengelompokan dan
polarisasi dukungan yang membelah dua figur tersebut. Novanto didukung Luhut
Pandjaitan dan Ade Komarudin didukung Jusuf Kalla. Meskipun dikotomi yang
melahirkan dukungan semacam ini sah-sah saja dalam kontestasi politik, yang
menjadikan berbeda ialah, biasanya Istana sepakat dalam satu dukungan. Itu
terjadi sejak zaman Orba saat pemerintah mendukung PDI Soerjadi ketimbang
Megawati, atau saat Presiden SBY lebih mendukung Muhaimin daripada Ali
Masykur Musa di PKB. Hanya satu kandidat untuk satu dukungan di Istana.
Akan tetapi, fenomena Golkar mengisyaratkan
suara yang berbeda dari satu pintu Istana pemerintahan dan itu yang
menyebabkan pilah-pilih dalam proses berpolitik di tengah arena munaslub
ini sebenarnya mudah dibaca ke arah mana hulunya. Hanya, persoalannya tidak
semua sepakat secara bulat ke arah satu dukungan karena semua calon tetap
berspekulasi untuk terus maju meski akhirnya tak bisa melaju.
Perolehan suara dukungan yang disyaratkan
30% untuk memenangi kontestasi atau maju pada putaran kedua dengan selisih
jumlah suara yang cukup signifikan antara Novanto yang memperoleh 277 suara
dan Ade komarudin yang memperoleh 173 suara mengisyaratkan kontestasi
dukungan terhadap Novanto demikian masif. Tentu saja, apabila dibaca dengan
sebaran perolehan suara calon lainnya yang variasinya bahkan jika diambil
suara seluruh pendukung enam calon itu, lalu diberikan kepada Ade Komarudin
pun tetap tidak mampu membuat Ade komarudin menang.
Itulah barangkali yang menyebabkan Akom
harus ‘dewasa berpolitik’ lalu memutuskan untuk tidak melaju ke putaran kedua
yang cara ‘elegan’ itu justru menempatkan Akom bukan sebagai orang yang
‘dikalahkan’. Ini juga sebuah pembelajaran politik yang bisa dilihat sebagai
model kompromi yang cukup ideal, di tengah arus persaingan perebutan
kekuasaan dalam berbagai segi dan panggung politik lainnya.
Golkar dan Setya Novanto
Apa yang sebenarnya terjadi dalam Munaslub
Golkar kali ini seolah dukungan suara begitu bulat pada Novanto di tengah
arus persaingan kader-kader muda potensial yang seharusnya dilirik partai
itu. Satu jawabnya, Novanto disokong dukungan maksimal kekuatan lain yang
mampu mengompromikan ide dan kepentingan Golkar secara simbiosis mutualis.
Niemi (1969) pernah menemukan bahwa dalam banyak konflik di parpol, ada
kesepakatan level kedua yang tidak menghilangkan ketidaksepakatan
substantif. Namun, mekanisme agregasi dan campur tangan pihak lain justru
bisa menghasilkan konsensus bulat.
Nah, barangkali pilihan politik terhadap
Novanto di tengah arus kontradiktif figur Setya Novanto itu sendiri tidaklah
penting dibaca kelompok elite di Golkar tersebut, termasuk oleh para
pemilihnya yang punya hak suara untuk menentukan pilihan itu. Akan tetapi,
isu politik uang barangkali masih menjadi unsur penting tentang keterpilihan
tokoh dalam sebuah parpol meski hal itu mungkin hanya terjawab ke depan oleh
mereka sendiri.
Di tangan Setya Novanto pertaruhan
politik Golkar di tengah konstituen dan kadernya atau calon pemilih yang
akan mengapresiasikan kepentingan dan aspirasi politik tentu harus dibaca
berulang oleh Golkar. Artinya, Novanto boleh menang dan mengendalikan sepak
terjang partai itu, tapi beringinnya telanjur menjadi gersang karena figur
Novanto yang masih menyisakan beban politik dengan kasus yang dihadapinya,
yang boleh jadi oleh Golkar dan jajarannya dianggap selesai, tapi tidak oleh
publik.
Jadi pekerjaan rumah mahabesar bagi Novanto
tidak hanya rekonsiliasi internal partai karena komitmen ke publik jauh
lebih penting. Rekonsialisasi bisa membuat mesin partai bekerja maksimal
memberi dukungan atas situasi tidak layak terhadap segala kemungkinan
panggung politik Novanto dilecehkan. Tidak kalah penting ialah bagaimana cara
Novanto meyakinkan publik yang menggerus kepercayaan terhadap kedigdayaan
Golkar yang nyaris hancur lebur.
Koalisi dan pilihan politik
Bagaimana cara Golkar mengembangkan isu
tentang jalan politik Golkar untuk ‘mendukung’ pemerintah, bagi masyarakat
awam sekalipun itu dapat dibaca sebagai sebuah cara aman bagi Golkar untuk
memasukkan melodi dan tarian politik mereka.
Lees Marshment (2005) menyatakan kebutuhan
untuk berkoalisi dalam sistem multipartai yang menganut sistem pemilu
proporsional dapat membuat partai harus mengorbankan kepentingan partai atau
paling tidak untuk menahan diri dalam membuat kebijakan yang menarik bagi
pemilih. Atau sebaliknya, jika terjadi konflik, justru peta koalisi bisa
berantakan dan peserta koalisi akan saling mengecam satu sama lain. Jika
teori ini dipahami Golkar dan tidak ditutupi motif tertentu, sebenarnya
pilihan terbaik Golkar ialah membangun model politik akomodatif terhadap
kepentingan pemerintah dan tidak harus menyatakan diri sebagai pendukung.
Namun, itulah realitas politik kedua
hari ini, sama halnya ketika hari-hari lalu Golkar seperti menjadi
kekuatan mahabesar bagi Koalisi Merah Putih yang berseberangan dengan
pemerintah. Nyatanya, tidak akan pernah ada koalisi permanen dalam politik.
Karena politik itu sejatinya hanya pertemuan dan pertentangan dua
kepentingan, hasil akhirnya ialah kompromi. Kompromi dari apa? Kompromi yang
dipertemukan dan dipertentangkan dalam kepentingan politk tadi. Akan tetapi,
mari kita lihat saja apakah dukungan itu pun hanya akan seumur jagung, sama
halnya dukungan Golkar pada Koalisi Merah Putih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar