Menjaga Kualitas Dokter
Gumilar Rusliwa Somantri ;
Rektor Universitas Indonesia
2007-2012
|
REPUBLIKA, 16
Mei 2016
Pemerintah membuka
beberapa fakultas kedokteran baru. Hal ini menandai dihentikannya moratorium.
Langkah pemerintah ini menggembirakan sebagian pegiat pendidikan. Tapi,
menuai juga kekhawatiran sebagian lainnya terkait kualitas dan implikasinya
pada keselamatan pasien. Tampaknya, salah satu argumen pemerintah membuka
keran moratorium adalah memecah tembok tebal komersialisasi pendidikan di
tengah-tengah kekurangan dan ketidakmerataan dokter. Semakin terbuka pilihan,
pemain lama tidak dapat berbuat semena-mena. Tulisan ini mengangkat isu
kualitas pendidikan dokter dari perspektif peran kritik dan kontrol
mahasiswa.
Tidak dapat diragukan
lagi, pendidikan kedokteran merupakan pilihan favorit para calon mahasiswa.
Mereka mendaftar di fakultas kedokteran demi meraih kebanggaan tinggi di mata
keluarga dan masyarakat. Karena, untuk diterima di fakultas tersebut mereka
harus bertarung dan menyisihkan banyak pesaing. Rasio antara jumlah pendaftar
dan mahasiswa diterima, untuk beberapa kasus universitas, sangatlah tidak
masuk akal. Selektivitas yang tinggi, dengan demikian, merupakan ajang
pembuktian kualitas diri mahasiswa kedokteran, sekaligus simbol eksklusivitas
korps mahasiswa di bidang ini.
Para mahasiswa
fakultas kedokteran tersebut banyak yang belum sadar bahwa, selektivitas
tinggi bukanlah jaminan bagi mereka untuk lulus menjadi dokter dengan
kompetensi tinggi. Mereka, seyogianya tidak hanya membayangkan pendapatan
aduhai dan penghormatan tinggi di masa mereka berkarier, tetapi mereka pun
perlu menyadari tiga hal berat yang sedang dihadapi profesi kedokteran.
Pertama, perkembangan
luar biasa ilmu dan teknologi kedokteran yang dipacu penemuan-penemuan baru
di bidang teknologi nano, genome, dan informasi. Hal tersebut terus
merevolusi format dan substansi ilmu kedokteran. Sementara itu, format
pelayanan sekaligus penanganan pasien pun mengalami perubahan orientasi.
Sehingga, mahasiswa kedokteran perlu masuk pada proses pembelajaran yang
memungkinkan mereka adaptif, bahkan kompatibel dengan perkembangan baru di atas.
Kedua, pasien di era
abad 21 ini telah berubah menjadi subjek sadar hukum dan hampir bertoleransi
zero terhadap segala kasus malapraktik. Oleh karena itu, kecakapan dokter
dituntut paripurna. Seorang dokter, apakah dia dokter umum atau spesialis, seyogianya
menguasai ilmu dasar dan terapan klinis kedokteran dengan baik di tataran
mutakhir. Ia seharusnya mempunyai paparan pengalaman yang cukup dalam
menangani pasien. Hal ini baik dari segi variabilitas jenis, intensitas, atau
derajat kesulitan kasus penyakit. Bahkan, ia dituntut menguasai teknik
berkomunikasi, berempati, membaca dimensi kontekstual penyakit, dan mengerti
sosio-psikologis pasien. Sehingga, kesuksesan menangani pasien ditandai
hadirnya kepuasan dan keselamatan klien.
Perkembangan ketiga
adalah "ideologi" baru dalam menangani pasien yang mensyaratkan
luruhnya dominasi ego dokter. Yaitu, pasien adalah orientasi pokok dan
segala-galanya bagi dokter. Hal ini menjungkirbalikkan sistem pelayanan
feodalistik patron-klien lama. Cara pandang ini menggeser sistem pelayanan
kesehatan yang menempatkan dokter dekat dengan posisi Tuhan, menjadi
pelayanan kesehatan berorientasi kepentingan, kesembuhan, dan keselamatan
pasien. Seiring dengan perkembangan ini, pelayanan kesehatan harus menjadi
rumah kaca keterbukaan informasi. Misalnya, dari kondisi medis pasien,
rencana tindakan, risiko-risiko, hingga implikasi pendanaan. Terkait hal ini,
tidak tertutup kemungkinan pasien "pintar" juga menuntut terbukanya
kemungkinan mendapat penanganan kasus mereka secara lintas disiplin dalam
rangka mencapai sukses maksimal.
Jadi, tidaklah mudah
untuk menjadi seorang dokter di masa mendatang. Kesadaran ini perlu dibangun
dan dipupuk di kalangan para mahasiswa kedokteran. Sehingga, para mahasiswa
sendiri perlu menjadi elemen kontrol dan kritis penting bagi lembaga-lembaga
yang terlibat dalam proses pembelajaran mereka untuk berubah dan menempa
kulitas. Selama ini, mata rantai kelembagaan, seperti fakultas, rumah sakit,
perpustakaan, laboratorium dasar terpadu, dan lain-lain acap menganggap
mahasiswa sebagai subjek tunasuara. Di sisi lain, mahasiswa yang cerdas dan
pandai menuntut adalah aset negara. Anak didik generasi baru yang sadar akan
beratnya tuntutan profesi di masa datang ini diharapkan akan lebih
bertanggung jawab dalam menjejaki masa pendidikan mereka. Termasuk, mereka
kritis melihat apakah lembaga-lembaga tersebut dapat mengantarkan mereka
menjadi dokter sesuai tuntutan zaman.
Hak kritik dan
pengawasan dari mahasiswa fakultas kedokteran harus ditujukan pada upaya
lembaga merespons tiga perkembangan di atas. Misalnya, apakah sistem
kurikulum telah berada di titik terdepan perkembangan ilmu? Misalnya,
ilmu-ilmu dasar yang dipejari di departemen biomedis mutakhir dan kontekstual
dalam mendukung pengembangan keahlian di bidang kedokteran. Tentu, hal ini
perlu didukung oleh hadirnya laboratorium memadai dan mencukupi. Sementara
itu, perkembangan bidang-bidang di ranah ilmu kedokteran klinis yang
dipelajari, apakah memuat kedalaman dan ekstensivitas kasus penyakit? Apakah
aplikasi dari temuan-temuan baru dibidang teknologi kedokteran, informasi,
genome, dan lain-lain telah diperkenalkan secara mencukupi?
Sementara itu, para
mahasiswa pun sepantasnya turut menelisik kurikulum, proses pembelajaran, dan
akses kerja sama lintas disiplin yang seharusnya disediakan dalam pelayanan
akademik oleh fakultas kedokteran. Pada dasarnya para mahasiswa kedokteran
perlu yakin bahwa mereka dapat berkembang menjadi dokter yang mampu menangani
pasien dan memecahkan persoalan pasien dengan baik. Mereka mendapatkan
jaminan akan diantarkan pada proses pembelajaran yang mampu mengasah
kemampuan komunikasi empatif, terbuka, bijak, dan selalu berpihak pada
kepentingan dan kesembuhan pasien. Dan tentu, ia dijamin pula oleh tempat
belajarnya untuk menjadi dokter yang menginternalisasi nilai kerja sama
lintas disiplin demi kepentingan klien.
Jadi, di titik ini,
kita melihat pendidikan nilai dari mahasiswa kedokteran adalah krusial.
Proses belajar dengan infrastruktur yang bagus pada dasarnya bertujuan
membangun nilai dokter. Ia adaptif terhadap teknologi, terus mengikuti
perkembangan ilmu, insan pembelajar sejati, terbuka, bijak, dan mampu
menghormati hak-hak pasien secara profesional. Oleh karena itu, kritik dan
kontrol para mahasiswa kedokteran juga ditujukan pada kemampuan fakultas
mereka, apakah mampu membangun kapasitas mereka menjadi insan egaliter,
terbuka, dan melihat hak pasien lebih penting dari kebanggaan diri akan
statusnya menjadi seorang dokter. Pasien tentu adalah segala-galanya. Tentu,
nilai dokter seperti ini mempunyai keunggulan komparatif yang dapat
diandalkan untuk bersaing di era pasar terbuka MEA dan sebagainya.
Bagaimana kritik dan
kontrol mahasiswa selayaknya dikembangkan? Kendali mutu pemerintah, penerapan
Konsil Kedokteran, masukan Asosiasi Profesi, dan pengawasn masyarakat sipil
terhadap kualitas penyelenggaraan pendidikan kedokteran adalah penting. Tapi,
peran proaktif para mahasiswa perlu juga masuk dalam hitungan. Salah satunya,
mereka perlu berhimpun dalam asosiasi mahasiswa fakultas kedokteran yang
berdaya dan mempunyai posisi tawar yang baik. Kebanyakan fakultas kedokteran
pasti tidak suka akan perkembangan baru ini. Mahasiswa akan dinilai ikut
cawi-cawi pada ranah yang jauh dari tugasnya sebagai objek pembelajaran. Sikap
fakultas kedokteran ini harus diubah. Asosiasi ini dijadikan partner terbuka
yang egaliter dan diberi akses untuk terlibat dalam berbagai dialog objektif.
Sehingga, masukan mahasiswa dapat didengar dan membawa perbaikan yang berguna
pada pembangunan nilai dan kapabilitas mereka. Dengan demikian, mereka turut
menjadi salah satu pilar yang menjaga kualitas pendidikan kedokteran di Tanah
Air. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar