Hukuman Bagi Pemerkosa
Bagong Suyanto ;
Dosen Masalah Sosial Anak
Departemen Sosiologi, FISIP
Universitas Airlangga
|
REPUBLIKA, 10
Mei 2016
Sebetulnya, apa bentuk
dan seberapa lama hukuman yang tepat bagi anak-anak yang terlibat dalam tindakan
pelanggaran hukum? Pertanyaan ini menarik dikaji lebih lanjut. Sebab, ketika
terjadi kasus pemerkosaan yang menimpa Yuyun (14 tahun), seorang bocah lugu
asal Bengkulu, awal April lalu, di kalangan masyarakat yang geram dengan ulah
pelaku yang tidak berperikemanusiaan, mereka umumnya menghendaki agar pelaku
dihukum seberat-beratnya.
Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise,
misalnya, menuntut pelaku dihukum seberat-beratnya dan protes keras tatkala
jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Curup menuntut pemerkosa Yuyun
hanya dengan ancaman penjara 10 tahun dan membayar denda Rp 200 juta subsider
enam bulan kurungan penjara.
Di mata masyarakat
yang bersimpati dengan penderitaan dan tragedi yang dialami Yuyun, wajar jika
mereka umumnya menuntut hukuman yang seberat-beratnya karena perlakuan
pemerkosa Yuyun benar-benar di luar nalar sehat.
Dari hasil visum yang
dilakukan dokter diketahui, para pelaku ternyata tetap melakukan pemerkosaan
walaupun korban sudah tak lagi bernyawa. Hati siapa pun pasti miris ketika
membaca ulah pelaku yang sama sekali tak mengenal belas kasihan. Bayangkan,
anak gadis belia yang masih bau kencur diperkosa oleh belasan anak muda yang
sudah kerasukan setan.
Walaupun hukuman seberat
apa pun tidak bakal mengembalikan nyawa korban, karena menyangkut rasa
keadilan dan untuk menjamin efektivitas efek jera, selain hukuman kurungan,
wacana tentang tambahan hukuman kebiri juga diberlakukan untuk para pelaku
tindak kekerasan seksual seperti yang dialami Yuyun?
Tujuan dikenakannya
sanksi kurungan penjara, di atas kertas sebenarnya selain untuk membuat
pelaku jera dan tidak mengulangi kembali perbuatan jahatnya, yang tak kalah
penting adalah untuk memudahkan proses pembinaan. Sehingga, pelaku
benar-benar bertobat menyesali perbuatannya dan kemudian setelah bebas mereka
lahir sebagai sosok baru yang siap beradaptasi kembali dengan kehidupan
masyarakat normal.
Dalam kenyataan,
alih-alih anak yang dibina dalam penjara pelan-pelan bermetamorfosis dan
bertobat menjadi anak-anak yang berkelakuan baik, ternyata kehidupan anak
selama di penjara acap kali membuat anak-anak itu makin berkembang liar.
Studi-studi tentang
anak di penjara, umumnya menunjukkan bahwa mereka kerap mendapat perlakuan
yang sangat buruk dan kasar, baik oleh para senior maupun petugas lapas,
bahkan kadang-kadang lebih buruk dari perlakuan terhadap napi-napi dewasa
pada suatu situasi yang sama.
Sudah menjadi rahasia
umum bahwa penjara bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum ibaratnya
adalah sekolah bagi mereka untuk belajar beradaptasi dalam kehidupan dan
tindak kejahatan yang lebih dalam. Selama di penjara, selain mendapat
berbagai perlakuan kasar, ditendang, dipalak, bahkan dilecehkan secara
seksual, mereka umumnya pelan-pelan menginternalisasi apa saja yang mereka
alami untuk modal menghadapi masa depannya.
Anak-anak yang dihukum
penjara karena ketangkap basah mencopet, ketika bebas bukan tidak mungkin
malah menjadi pencuri atau begal yang makin lihai. Demikian pula anak yang
dipenjara karena memperkosa anak lain, bukan tidak mungkin ketika bebas
mengulang kembali perbuatannya dengan modus yang lebih canggih agar tidak
ketahuan seperti sebelumnya.
Kalau berbicara
idealnya, memang bentuk penanganan terhadap anak-anak yang menjadi pelaku
tindak kejahatan seharusnya adalah dengan upaya diversi dan keadilan
restoratif (restorative justice).
Diversi adalah pengalihan cara penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah
melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat kepada
suatu proses penanganan yang sifatnya informal.
Sedangkan, yang
dimaksud keadilan restoratif adalah proses penanganan kasus anak yang
berkonflik dengan hukum yang melibatkan berbagai pihak dalam memecahkan
masalah secara bersama-sama. Upaya-upaya keadilan restoratif pada dasarnya
bertujuan menghindarkan anak dari tindak penahanan, pemenjaraan, dan proses
stigmatisasi kepada anak yang justru akan membuat mereka ketika bebas kembali
terjerumus dalam aksi kejahatan, bahkan dengan skala yang lebih memiriskan
hati.
Masalahnya sekarang,
dalam kasus pelanggaran hukum yang tergolong serius, seperti tindak
pemerkosaan yang tak berperikemanusiaan, seperti dialami Yuyun, apakah bentuk
penanganan yang dikembangkan seharusnya upaya diversi dan keadilan
restoratif?
Menurut Konvensi Hak
Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak, anak-anak yang berkonflik dengan
hukum kita akui tetap memiliki hak untuk diperlakukan secara adil dan
diupayakan agar penanganan mereka dalam proses hukum tetap mempertimbangkan
perubahan konstruktif anak itu sendiri di masa depan. Tapi, pengalaman telah
banyak membuktikan bahwa anak-anak yang dihukum kurungan penjara ternyata
sering kali tidak bertobat, justru tumbuh menjadi pelaku tindak kejahatan
yang makin canggih.
Karena itu, untuk
melindungi agar anak-anak yang lain tidak menjadi korban kelakuan jahat
mereka, sudah selayaknya jika yang dilakukan adalah upaya-upaya perlindungan
yang lebih pasti.
Khusus untuk tindak
kejahatan kekerasan seksual, wacana tentang ancaman hukuman kebiri adalah
salah satu bentuk penghukuman yang layak untuk diterapkan meski dengan
batasan dan persyaratan kasus yang ketat. Hukuman suntik kebiri, mau tidak
mau harus menjadi pilihan terakhir yang dilakukan.
Sebab, di kalangan
anak-anak yang berkonflik dengan hukum, memang ada sebagian yang sudah
menyimpang hingga ke tahap kronis. Mereka adalah anak-anak yang menjadi
pelaku tindak kejahatan serius, sadis, dan tidak berperikemanusiaan karena
secara psikologis memang memiliki sifat agresif yang terinternalisasi.
Dari aspek hak anak,
barangkali wacana tambahan hukuman kebiri yang diterapkan untuk anak pelaku
pemerkosaan dinilai terlalu berat dan tidak adil. Namun, jika kita berempati
kepada anak-anak perempuan, seperti Yuyun yang menjadi korban tindak perkosaan
sadis, serta berempati kepada perasaan orang tua dan keluarganya,
sesungguhnya ancaman hukuman kebiri masih dianggap tidak cukup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar