Menimbang Kualitas Buku
Jejen Musfah ;
Pemimpin Redaksi Majalah Suara
Guru PB PGRI
|
REPUBLIKA, 17
Mei 2016
Setiap bulan Mei,
sekolah mulai menimbang buku-buku pelajaran apa saja yang akan digunakan para
siswa dan guru. Kepala sekolah dan guru tidak perlu repot mendatangi
toko-toko buku untuk mendapatkan buku-buku pelajaran yang bagus. Beragam
penerbit akan aktif mendatangi sekolah dan mempromosikan buku terbitan
mereka. Masing-masing penerbit akan menawarkan diskon yang beragam.
Meski pemerintah
menentukan buku apa saja yang harus dipakai, sekolah kerap memiliki pilihan
sendiri, terutama swasta, apakah karena alasan untuk buku pengayaan atau
tergiur "diskon". Kepala sekolah dan guru perlu mempertimbangkan
aspek kualitas materi dalam setiap buku, di samping harga dan diskon dari
penerbit. Jika tidak, sekolah akan kecolongan dengan masuknya buku-buku yang
sebenarnya tidak layak dibaca oleh siswa. Kasus yang berulang terjadi tentang
materi buku pelajaran adalah muatan pornografi dan radikalisme.
Meski pemerintah pusat
dan daerah sudah melakukan penilaian terhadap buku-buku pelajaran, masih
sering muncul kasus materi-materi yang tidak layak bagi peserta didik.
Artinya, penilaiannya lemah atau banyak buku yang dipakai sekolah tidak
dinilai pemerintah. Tidak semua sekolah, khususnya swasta, memakai buku-buku
yang direkomendasikan oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.
Pemerintah sulit mengawasi buku-buku yang dipakai sekolah atau madrasah yang
jumlahnya tidak sedikit.
Muatan pornografi atau
yang mengarah pornografi dalam bentuk tulisan dan gambar sering ditemukan
dalam buku pelajaran, lembar kerja siswa (LKS), dan buku mewarnai. Dampak
materi pornografi dalam buku pelajaran tidak bisa dianggap sepele, di tengah
maraknya kekerasan seksual terhadap anak akhir-akhir ini. Pelakunya adalah
sebagian anak sekolah, yang mungkin dipengaruhi oleh buku bacaan mereka
selain internet.
Buku pelajaran juga
rawan berisi materi yang mampu membentuk benih paham radikalisme di kalangan
pelajar kelak. Perbedaan agama, suku, dan ras yang sangat beragam di negara
ini merupakan sumber potensi konflik dan permusuhan, jika pendidikan gagal
memberikan paham toleransi dan persaudaraan kepada anak sekolah. Karena itu,
buku pelajaran harus dipastikan bebas dari materi atau paham radikal.
Sebaliknya, buku pelajaran harus berisi ajaran akhlak mulia yang bisa
mencegah pecahnya konflik baik vertikal maupun horizontal.
"Editing"
Agar kasus materi
tidak layak dalam buku pelajaran tidak berulang, diperlukan upaya dan kerja
sama dari berbagai pihak. Penulis buku adalah pihak yang paling bertanggung
jawab terhadap isi buku. Penulis buku pelajaran, LKS, dan buku mewarnai,
sebaiknya hati-hati dalam memilih materi yang akan dimasukkan ke naskah buku.
Penggunaan kata,
kalimat, gambar, dan contoh harus terpilih ketat agar tidak mengarah pada
pornografi dan radikalisme. Karena kehati-hatian inilah, menulis buku
membutuhkan waktu yang lama. Jika tidak, kualitas buku tidak bisa terjamin.
Sebuah buku bisa terbit dalam waktu singkat karena mengejar target, sehingga
kualitasnya tidak terjamin.
Penulis buku jangan
lupa bahwa tujuan menulis bukan untuk mendapatkan materi, melainkan
menyebarkan ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter. Berulangnya fenomena
materi tidak layak dalam buku pelajaran menunjukkan penulisnya tidak aware
pada dampak bacaan terhadap pembentukan karakter anak-anak Indonesia.
Editor dari penerbit
harus jeli melihat potensi konten buku yang tidak mendidik. Editor buku
ibarat mata keempat bagi penulis, yang harus bisa menemukan kesalahan dan
kekurangan dari sebuah tulisan. Ia bisa menambahkan dan mengurangi
materi-sepanjang tidak mengubah isi. Bahkan, editor bisa mengembalikan naskah
kepada penulis untuk diperbaiki atau menolak naskah tersebut, jika dinilai
bermuatan unsur pornografi dan radikalisme.
Masalahnya, apakah
semua penerbit memiliki editor internal? Kecuali penerbit-penerbit besar,
terkenal, dan bermodal besar, banyak penerbit buku pelajaran yang tidak
memiliki editor dan tidak mau membayar editor lepas, sehingga buku tidak
melalui proses editing dan proof reading. Karena itu, Pusat Kurikulum dan
Buku (Puskurbuk) dan Dinas Pendidikan provinsi dan kabupaten bisa berperan
dalam menilai buku-buku pelajaran dan LKS di sekolah negeri ataupun swasta.
Peran itu sudah ada, tetapi belum menjangkau semua sekolah atau semua buku
mata pelajaran, terutama muatan lokal.
Penerbit juga harus
selektif dalam memilih naskah buku pelajaran dan LKS. Orientasi materi dalam
penerbitan buku tidak boleh mengesampingkan kualitas buku. Menekan ongkos
produksi buku tidak boleh dengan cara meniadakan proses penilaian isi,
editing, dan proof reading. Karena buku pelajaran akan dibaca oleh banyak
siswa, penilaian materi sangat penting.
Penerbit harus yakin
bahwa kepala sekolah dan guru akan menggunakan buku yang berkualitas baik
meskipun harganya lebih tinggi sedikit dari buku-buku yang ada. Persaingan
yang ketat antarpenerbit buku pelajaran merupakan faktor yang menyebabkan
penerbit-penerbit melupakan atau tidak jeli melihat isi sebuah buku saat
disodorkan penulisnya. Dalam hal ini, penerbit membutuhkan naskah, sementara
penulis-penulis 'ternama' sudah mempunyai langganan penerbit mereka
masing-masing.
Kepala sekolah dan
guru merupakan benteng terakhir dalam penyeleksian buku. Mereka harus membaca
dengan saksama setiap buku yang akan dijadikan pegangan siswa dan guru.
Kepala sekolah bisa menugaskan setiap guru membaca dan menilai buku sesuai
dengan bidangnya masing-masing, dengan menggunakan instrumen atau bentuk yang
dibuat sendiri atau Puskurbuk. Proses ini harus dilakukan karena pada
prinsipnya kualitas buku adalah nomor satu, sedangkan diskon dan harga murah
adalah nomor kesekian.
Demikianlah,
melindungi peserta didik dari buku-buku tidak berkualitas adalah tugas dan
kerja bersama. Dengan demikian, ke depan tidak ada lagi saling menyalahkan
pihak lain ketika ada buku pelajaran dan LKS yang mengandung unsur tidak
layak baca. Saatnya, mencegah bahaya dampak pornografi dan radikalisme yang
bersumber dari buku, apalagi buku pelajaran. Sekolah merupakan taman untuk
menebar benih akhlak mulia, persaudaraan, dan kasih sayang antarsesama
manusia. Peran mulia sekolah tersebut jangan sampai ternodai karena banyak
pihak tidak mau menimbang kualitas buku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar