Haji Pengabdi Setan
Amidhan Shaberah ;
Ketua MUI (1995-2015);
Dirjen Bimas Islam dan Urusan
Haji Departemen Agama (1991-1996)
|
REPUBLIKA, 13
Mei 2016
Ramadhan sebentar lagi
tiba. Ratusan ribu, bahkan jutaan umat Islam Indonesia, akan ramai-ramai
melaksanakan umrah ke Tanah Suci. Harapannya, umrah pada bulan suci mendapat
pahala lebih besar. Apalagi, jika mendapatkan malam Lailatul Qadar yang
pahalanya lebih baik dari ibadah 1.000 bulan.
Keutamaan umrah pada
bulan suci dan harapan mendapatkan Lailatul Qadar ini menjadi bisnis
"empuk" perusahaan travel di Tanah Air. Bagi umat Islam yang kaya,
apalah arti uang 3.000-5.000 dolar AS untuk umrah bila dibandingkan pahala
yang akan diraihnya.
Para selebritas dan
kalangan the have kini menjadikan umrah sebagai "rekreasi batin"
bila mengalami kegalauan. Bahkan, tidak sedikit dari mereka melakukan
"tunangan dan ijab kabul pernikahan" di depan Ka'bah sembari umrah.
Iklan perusahaan
travel yang menampilkan sejumlah pejabat publik dan artis terkenal saat di
depan Ka'bah makin menjadikan umrah sebagai "ibadah sekaligus
rekreasi". Dampaknya, kalangan the have menjadikan umrah sebagai
"pelesiran spiritual". Itulah sebabnya, tak sedikit kaum berpunya
dengan bangga menyatakan sudah umrah puluhan kali. Luar biasa!
Kita tahu, secara
ekonomi, Indonesia masih membutuhkan devisa untuk membiayai pembangunan.
Sebagian besar Muslimin pun masih hidup dalam kemiskinan. Alangkah baiknya
jika uang sebanyak itu digunakan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat.
Misalnya, membantu fakir miskin, anak yatim, membangun sekolah atau madrasah
di tempat-tempat terpencil, dan membangun ekonomi umat.
Terbangnya devisa dari
Indonesia ke Arab Saudi ini tak hanya melalui umrah, tapi juga ibadah haji.
Bila umrah hukumnya sunah, haji wajib. Namun, wajibnya haji bersyarat, yaitu
bagi yang mampu secara ekonomi.
Meski demikian, dari
kedua jenis ibadah ini, devisa yang terbang ke Saudi jumlahnya miliaran dolar
AS tiap tahun. Padahal, bila umat Islam mewajibkan dirinya menunaikan haji
hanya sekali sepanjang hidupnya, niscaya akan banyak uang yang bisa
dimanfaatkan untuk keperluan umat yang lebih penting.
Dalam konteks umrah
dan haji yang "menerbangkan uang sangat besar" itulah saya
mengenang Prof KH Ali Mustafa Yaqub MA yang wafat pada Kamis (28/4) di
Jakarta. Sebagai orang yang pernah ikut mengurusi jamaah umrah dan haji di
Indonesia, saya terkejut membaca artikel almarhum berjudul "Haji
Pengabdi Setan" yang dimuat di majalah Gatra edisi 16 Januari 2006.
Setelah tuntas membaca
artikel itu, Kiai Ali ternyata seorang ulama yang sangat peduli dengan
kehidupan umat Islam sehingga mungkin "kesal" melihat orang-orang
kaya yang berkali-kali naik haji dan umrah untuk memenuhi dahaga ibadahnya.
Kekesalannya itu
beliau tulis, "Ketika banyak anak yatim telantar, puluhan ribu orang
menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak balita busung lapar, banyak
rumah Allah roboh, banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak
orang makan nasi aking, dan banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai,
lalu kita pergi haji kedua atau ketiga kalinya, kita patut bertanya pada diri
sendiri, apakah haji kita itu karena melaksanakan perintah Allah?"
"Ayat mana yang
menyuruh kita melaksanakan haji berkali-kali, sementara kewajiban agama masih
segudang di depan kita? Apakah haji kita itu mengikuti Nabi SAW? Kapan Nabi
SAW memberi teladan atau perintah seperti itu? Atau, sejatinya kita mengikuti
bisikan setan melalui hawa nafsu agar di mata orang awam kita disebut orang
luhur? Apabila motivasi ini yang mendorong kita, berarti ibadah haji kita
bukan karena Allah, melainkan karena setan."
"Jam terbang
iblis dalam menggoda manusia sudah sangat lama. Ia tahu betul apa kesukaan
manusia. Iblis tidak akan menyuruh orang yang suka beribadah untuk minum
khamr. Tapi, Iblis menyuruhnya, antara lain, beribadah haji berkali-kali.
Ketika manusia beribadah haji karena mengikuti rayuan iblis melalui bisikan
hawa nafsunya, saat itu tipologi haji pengabdi setan telah melekat
padanya." (Gatra No 10, edisi 16 Januari 2006).
Membaca artikel itu
saya tercenung. Berdosakah saya sebagai pejabat yang pernah mengurusi umrah
dan haji ini? Dalam berbagai rapat, saya mengusulkan sebaiknya umrah dan haji
itu dibatasi.
Pemerintah harus tegas
mengatur "berapa kali" seharusnya umat Islam umrah dan haji
sepanjang hidupnya. Ini bukan sekadar pencegahan kaburnya devisa ke Saudi,
tapi juga soal mengikuti sunah Rasul. Sampai sekarang, nyatanya pemerintah
belum berhasil menyosialisasikan sunah Rasul ini.
Dalam artikel
"Haji Pengabdi Setan" itu, Prof Ali yang ahli hadis lulusan King
Saud University tersebut menjelaskan, selama hidupnya, Nabi Muhammad hanya
haji sekali dan umrah tiga kali. Bayangkan, Rasul yang lahir di Makkah saja
hanya haji yang wajib itu sekali sepanjang hidupnya.
Padahal, kalau mau,
berkali-kali pun bisa. Makkah adalah tempat kelahiran beliau. Makkah adalah
tempat tinggal favorit beliau. Dan, juga tak perlu biaya untuk berkali-kali
haji. Namun, Rasul tetap kukuh: haji hanya sekali.
Mengapa? Hal itu
dilakukan Rasul agar tidak membebani umatnya. Haji itu biayanya mahal.
Persiapan fisiknya juga berat. Menyadari ini, Nabi Muhammad sebagai uswatun
hasanah, memberi contoh--cukup haji sekali sepanjang hidup. Itulah teladan
Rasul dalam berhaji.
Menurut pimpinan
Pesantren Darus Sunnah Ciputat itu, dalam Islam ada dua kategori ibadah.
Pertama, ibadah qashirah atau ibadah individual yang manfaatnya hanya
dirasakan sang pelaku.
Kedua, ibadah
muta'addiyah atau ibadah sosial yang manfaatnya dirasakan tidak hanya oleh
sang pelaku, tapi juga orang lain. Haji dan umrah termasuk ibadah qashirah.
Ketika dihadapkan pilihan ibadah qashirah atau muta'addiyah, Nabi Muhammad
SAW memilih ibadah muta'addiyah.
Menyantuni anak yatim
dan fakir miskin, misalnya, termasuk ibadah muta'addiyah. Rasul menyatakan,
penyantun anak yatim akan mendapat surga dan di sana hidup berdampingan
dengan beliau.
Sedangkan, untuk haji
mabrur, Rasul hanya menjanjikan surga, tanpa janji untuk mendampinginya di
sana. Ini bukti, tulis Kiai Ali, ibadah sosial lebih utama ketimbang
individual.
Di tengah kondisi umat
Islam yang mayoritas masih berkubang di lembah kemiskinan itu,
"kepergian" Prof KH Ali Mustafa Yaqub yang peduli umat sungguh
sangat mengguncang. Bangsa Indonesia kehilangan seorang "ulama"
yang kritis dan penuh perhatian terhadap umat.
Di tengah hiruk pikuk
umat Islam yang lelah menunggu giliran haji sampai puluhan tahun, imam besar
Masjid Istiqlal Jakarta itu justru mengingatkan, hati-hati dengan niat haji
kalian. Alih-alih haji kalian mendapat ganjaran, yang terjadi malah menjadi
pengabdi setan. Naudzubillah min dzalik.
Saya tahu, di antara
mereka yang antre haji sampai puluhan tahun itu, sebetulnya ada yang sudah
pernah menunaikan haji, bahkan lebih dari satu kali! Jadi, untuk apa antre
haji dengan melanggar sunah Rasul?
Selamat jalan, Kiai Ali. Innalillahi wainna ilaihi raajiun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar