Hak Korban Pemerkosaan
Neng Djubaedah ;
Dosen di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
|
REPUBLIKA, 11
Mei 2016
Sungguh sangat miris,
memilukan, dan memprihatinkan kondisi moral dan akhak sebagian masyarakat
saat ini. Dari hari ke hari, selalu ada berita pemerkosaan, baik terhadap
orang dewasa maupun anak-anak, baik anak perempuan maupun anak lelaki.
Kasus pemerkosaan
pertama yang cukup heboh dimuat di media adalah kasus Sum Kuning. Kini,
Yuyun, anak gadis asal Rejang Lebong, Bengkulu, berusia 14 tahun diperkosa
oleh 14 anak lelaki setelah mereka meminum minuman keras (miras). Meminum
miras bukan satu-satunya penyebab pemerkosaan, juga karena pelaku sering
menonton pornografi.
Apakah ada
perlindungan hukum secara keperdataan bagi pribadi Yuyun atau lainnya sebagai
korban pemerkosaan? Dan/atau apakah ada perlindungan hukum secara keperdataan
bagi keluarga (ahli waris) korban yang mati karena pemerkosaan?
Perlindungan hukum
publik (masyarakat) terdapat di KUHP Pasal 285 dengan hukuman penjara paling
lama 12 tahun bagi setiap orang (lelaki) yang melakukan pemerkosaan perempuan
di luar perkawinan. Larangan pemerkosaan terhadap anak perempuan atau anak
lelaki (di bawah 18 tahun) diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang diubah oleh UU No 35 Tahun 2014 di Pasal 76D.
Hukumannya, paling singkat lima tahun penjara dan paling lama 15 tahun.
Perlindungan hukum
publik atas kejahatan seksual berupa pemerkosaan yang menyebabkan matinya
korban pun ada dalam Pasal 339 KUHP dengan penjara seumur hidup atau paling
lama 20 tahun. Jadi, pasal itu baru memberikan perlindungan hukum publik,
bukan perlindungan hukum keperdataan.
Apakah hak korban
pemerkosaan atau keluarga korban yang mati karena pemerkosaan telah
dilindungi dengan hukuman penjara sebagaimana Pasal 285 KUHP atau Pasal 81 UU
Perlindungan Anak? Apakah dengan hukuman penjara seumur hidup, kerugian
korban dan/atau keluarganya sudah terpenuhi?
Hak keperdataan bagi,
pertama, korban pemerkosaan yang sudah pasti trauma dan bisa mengalami
gangguan mental (kejiwaan) berat. Kedua, jika korban hamil akibat
pemerkosaan. Ketiga, bagi keluarga korban (ahli waris) jika korban kehilangan
nyawa akibat pemerkosaan. Apalagi, jika korban pencari nafkah utama keluarga,
maka tidak puas dengan pidana penjara.
Bila dilihat dari UUD
1945 bahwa setiap orang, termasuk korban pemerkosaan berhak mendapat
kehidupan yang layak sejahtera lahir batin (Pasal 28H UUD 1945), berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta bendanya
(Pasal 28G ayat (1) UUD 1945), berhak untuk hidup, tidak disiksa, berhak atas
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, berhak beragama yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun (Pasal 28I ayat (1) UUD 1945).
Maka, amat patut jika
korban dan/atau keluarganya diberikan perlindungan hukum keperdataan oleh
negara. Demikian pula bagi anak hasil pemerkosaan, ia berhak atas
kelangsungan hidup--anak hasil pemerkosaan dalam kandungan ibunya tidak boleh
diaborsi setelah melewati masa kehamilan 40 hari (Pasal 31 ayat (2) PP No 61
Tahun 2014 juncto Fatwa MUI No 4 Tahun 2005). Anak berhak tumbuh dan
berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B ayat
(2) UUD 1945).
Bila perlindungan
hukum keperdataan ini tak dipenuhi, tentu mengganggu kualitas kehidupan
korban dan masa depan keluarga serta anak hasil pemerkosaan. Jadi, hukuman
penjara atau mati tak menyelesaikan masalah bagi korban atau keluarganya.
Sekalipun terhadap
anak hasil pemerkosaan bisa mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No
46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 juncto Fatwa MUI No 11 tanggal 10
Maret 2012 tentang Anak Hasil Zina dan Peraturan Terhadapnya. Tapi, belum ada
peraturan yang memuat tentang restitusi dan kompensasi bagi korban
pemerkosaan.
Restitusi dalam Islam
Sejak awal 2002,
penulis mengusulkan agar korban pornografi dan/atau pornoaksi atau ahli
warisnya, baik pribadi yang kecanduan pornografi yang terbukti sebagai korban
atau korban pemerkosaan dan/atau pembunuhan atau tindak pidana lainnya akibat
pornografi atau pornoaksi semestinya direhabilitasi. Mereka mendapat
restitusi (ganti kerugian, semacam diyat) yang pembayarannya dibebankan
kepada pelaku sesuai putusan pengadilan.
Kepada korban atau
keluarganya juga bisa diberi kompensasi sesuai putusan pengadilan yang
pembayarannya ditanggung negara bila pelaku atau keluarganya tak dapat
membayar restitusi. Tujuan restitusi maupun kompensasi adalah demi
perlindungan korban.
Dalam Islam, restitusi
(diyat) dapat diambilkan dari baitul mal bila pelaku pembunuhan atau pelukaan
setelah mendapat pemaafan dari korban atau keluarganya, ternyata tak mampu
memenuhi. Hal ini sesuai tujuan pendirian baitul mal adalah untuk kepentingan
Islam dan kesejahteraan umat Islam (Neng Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi
Ditinjau dari Hukum Islam, 2009, hlm 300).
Amat adil jika korban
pemerkosaan mendapat restitusi dari pelaku sebagai bentuk perlindungan hukum
keperdataan. Pendapat penulis ini (Perzinaan Dalam Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam, 2010, hlm 222-224)
ternyata telah dikemukakan Imam Syafi'i (767–820 M), Imam Malik (713–795 M),
dan Imam Hambali (781-855 M) pada abad kedelapan dan kesembilan Masehi.
Setiap orang (lelaki)
yang memperkosa perempuan, baik gadis maupun janda, maka dia (lelaki
pemerkosa) harus membayar mahar mitsil atau sebesar nilai mahar. Hukuman hadd
zina terhadap pemerkosa, tidak kepada korban pemerkosaan (Malik Ibn Anas,
Al-Muwatta' (terjemahan), hlm 416).
Berapa jumlah mahar
yang dibayarkan kepada atau diterima seorang istri? Mahar adalah hak istri
dan kewajiban suami (Pasal 34 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam/KHI) berdasarkan
asas kesederhanaan dan kemudahan (Pasal 31 KHI) yang jumlahnya kesepakatan
kedua pihak (Pasal 30 KHI).
Namun, penentuan
jumlah mahar untuk dijadikan analog (qiyas) terhadap jumlah restitusi yang
wajib dibayar pemerkosa tak bisa berdasarkan ketentuan mahar dalam KHI.
Penulis mengacu hadis yang disampaikan Abu Salamah bin Abdur Rahman bin Auf
Az-Zuhri Al-Qurasyi bahwa ia pernah bertanya kepada Aisyah RA, istri
Rasulullah SAW, "Berapakah mahar Rasulullah." Aisyah menjawab,
"Mas kawin (mahar) beliau kepada para istrinya adalah 12,5 uqyah."
Harga satu uqyah
setara 40 dirham atau 50 dirham. Maka, 12,5 uqyah sekitar 500 dirham atau 625
dirham. Harga satu dirham setara 2,975 gram perak murni. Jadi, 500 dirham
adalah 1.487,5 gram perak murni. Bila dikonversi ke rupiah saat ini, jika
harga satu gram perak murni Rp 95 ribu maka 1.487,5 gram perak murni Rp
141.312.500.
Ash-Shan'ani juga
mengemukakan, Ummu Habibah diberi mahar oleh Rasulullah SAW dari Najasyi
4.000 dirham (11.900 gram perak murn) atau kini sekitar Rp 1.130.500.000 dan
4.000 dinar (satu dinar setara 4,25 gram emas murni) atau 17 ribu gram emas
murni. Jika dikonversi ke rupiah, dengan harga satu gram emas murni Rp 550
ribu maka 17 ribu gram emas murni sekitar Rp 9,350 miliar.
Jadi, jumlah mahar
Rasulullah SAW kepada Ummu Habibah jika dikonversi ke rupiah saat ini Rp
10.480.500.000. Ash-Shan'ani dalam Subulussalam (terjemahan) mengemukakan,
mahar Rasulullah SAW kepada Ummu Habibah atas keikhlasan Najasyi karena
memuliakan Rasulullah SAW. Ash-Shan'ani mengemukakan, menurut Imam Syafi'i,
sunah penetapan mahar 500 dirham adalah tanda cinta dan hiburan bagi istri
(Shan'ani: Subulussalam (terjemahan), hlm 535).
Maka, berdasarkan
ta'zir (hukuman yang diserahkan kepada orang yang memenuhi syarat atau
lembaga yang berwenang dalam suatu negara karena tak ada ketentuannya dalam
syariat Islam) dengan menganalogikan (qiyas) mahar Rasulullah SAW kepada para
istrinya, restitusi atau kompensasi bagi korban pemerkosaan paling sedikit
500 dirham dan paling banyak 4.000 dirham dan 4.000 dinar.
Dalam kasus Yuyun,
para pemerkosa masing-masing dibebani restitusi sedikitnya Rp 141.312.500 dan
terbanyak Rp 10.480.500.000 yang dibayar kepada korban atau ahli waris.
Korban (yang masih hidup) pun harus direhabilitasi dan pelaku tetap dihukum
setimpal dan menjerakan.
Hukum Islam menentukan
hukuman bagi pembunuh dengan sengaja (QS al-Baqarah: 178-179) atau pembunuhan
tidak dengan sengaja (QS an-Nisa: 92-93). Bila terbukti Yuyun dibunuh oleh
pemerkosa, ahli waris Yuyun berhak mendapatkan diyat dari pelaku, itu pun
bila ahli waris Yuyun memaafkan.
Terhadap kejahatan
pemerkosaan tak dapat diterapkan asas pemaafan karena hudud, antara lain,
hadd zina adalah hak Allah yang hukumannya tidak bisa diubah, dihapus,
diganti, ditambah, atau dikurangi oleh manusia.
Jumlah diyat
pembunuhan ditentukan di hadis sebanyak 100 unta dan 40 unta, di antaranya,
harus unta bunting, jika terbukti. Diyat ini bentuk perlindungan hukum
keperdataan bagi korban dan ahli warisnya.
Hukum Islam tak
memisahkan mutlak antara hukum publik dan perdata (privat). Ketentuan diyat
merupakan bentuk perlindungan publik sekaligus keperdataaan bagi pribadi
korban dan keluarganya serta masyarakat.
Ketentuan rehabilitasi
juga sangat diperlukan bagi korban pornografi dan/atau miras. Terhadap pelaku
pornografi, terutama bagi anak-anak atau orang belum dewasa, hendaknya juga
direhabilitasi karena di antara mereka juga ada yang menjadi korban kelalaian
orang tua dan/atau masyarakat.
Hukuman yang
menjerakan, tapi tetap mendidik pelaku pornografi maupun miras yang masih
anak-anak harus tetap diterapkan sesuai peraturan, terutama hukuman sosial
kemasyarakatan setempat atau lainnya. Wallahu
a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar