Munaslub Golkar
Romanus Ndau Lendong ; Dosen
Universitas Bina Nusantara Jakarta
|
KOMPAS, 02 Mei
2016
Setelah setahun lebih dilanda
dualisme antara kepengurusan Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, segenap kader
Golkar bersepakat mengakhirinya. Rapat Pleno 7 April 2016 menetapkan
penyelenggaraan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar pada
25 Mei 2016 di Denpasar, Bali.
Munaslub kali ini berperan
strategis menyembuhkan luka masa lalu, merajut persaudaraan, dan membangun
soliditas internal. Terpenting lagi, Munaslub diharapkan mampu melahirkan
pemimpin baru yang lebih rasional, bersih, berwawasan luas, dan berkarakter
negarawan.
Konflik kali ini yang terburuk dan
membuat Golkar dalam bahaya kepunahan. Suksesi internal partai yang
seharusnya momentum konsolidasi justru memicu konflik dan perpecahan. Sejak
Reformasi 1998, sudah lahir empat partai baru dari Golkar: Partai Keadilan
dan Persatuan, Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Partai Nasdem. Embrio
partai baru bisa saja lahir kalau Munaslub kali ini gagal mengatasi berbagai
soal dalam semangat rekonsiliasi dan demokratisasi.
Tumpukan persoalan yang tak
terselesaikan dengan baik selama bertahun-tahun melahirkan kerusakan serius
bagi Golkar. Pertama, merosotnya soliditas internal. Saling sindir,
intimidasi, kritik tak beretika, dan gugat-menggugat jadi tontonan publik.
Pertarungan politik internal berjalan kurang sehat karena kadernya gagal
mengelola konflik sebagai medium pendewasaan demokrasi.
Terancam
punah
Soliditas internal Golkar biasanya
terus memburuk saat suksesi kepemimpinan nasional. Reformasi menandai
berakhirnya dominasi Golkar dalam memenangkan kader terbaiknya meraih posisi
sebagai presiden. Pada 1999, BJ Habibie gagal jadi calon presiden karena tak
sejalan dengan kubu Akbar Tandjung. Lima tahun berikutnya, Wiranto gagal
memenangi pemilihan presiden karena kalah kuat dengan kubu Jusuf Kalla yang
berpasangan dengan SBY. Seterusnya, 2009, Jusuf Kalla sebagai calon presiden
hanya meraih 10 persen suara karena tak didukung kubu Akbar Tandjung yang
merapat ke SBY. Puncaknya, 2014, Golkar tidak berhasil mengajukan Aburizal
Bakrie sebagai calon presiden, lagi-lagi karena buruknya soliditas internal.
Kedua, menguatnya pragmatisme
politik. Golkar kini dikenal sebagai kekuatan politik yang cenderung mengejar
target konkret alias materialistik. Ide-ide besar soal nasionalisme,
kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat tak lagi primadona. Visi
karya-kekaryaan sebagai karakteristik Golkar kian terabaikan. Meminjam Max
Weber, banyak kader Golkar kini hidup dari partai, bukan untuk partai.
Orientasi kader adalah mengejar target pribadi berjangka pendek. Buktinya,
banyak kader, terutama para pemimpin di semua level (pusat, provinsi dan
kabupaten/kota), hidup berlimpah, sementara kantor merana.
Pragmatisme politik kini kembali
santer menyongsong Munaslub Bali. Dengan menyewa jet-jet pribadi, para bakal
calon menjelajahi berbagai daerah dan memikat pemilih dengan mengeluarkan
dana besar. Beredar kabar ada bakal calon yang telah menghabiskan ratusan
miliar rupiah. Ada juga yang menjanjikan Rp 300 juta per suara saat Munaslub
nanti. Itu berarti seorang bakal calon akan menghabiskan Rp 90 miliar untuk
meraih paling tidak 300 suara agar terpilih sebagai ketua umum.
Ketiga, merosotnya kredibilitas
Golkar. Berlarutnya konflik internal membuat publik ragu akan komitmen Golkar
memecahkan berbagai soal kebangsaan. Pilkada serentak 2014 adalah contohnya.
Banyak calon kepala daerah dari Golkar tumbang karena mesin politik tak dapat
bekerja efektif.
Kondisi itu membuat Golkar
kesulitan besar menghadapi Pemilu 2019. Apalagi prestasi Golkar dalam pemilu
terus menurun. Pada Pemilu 2009, Golkar kalah dari Demokrat dan PDI-P. Pada
Pemilu 2014, Golkar hanya meraih 91 kursi parlemen, terpuruk dari sebelumnya
106. Beberapa survei independen mengungkap posisi Golkar terancam jadi partai
marjinal. Jika tak ada upaya sistematis mencegahnya, Golkar jelas berada
dalam bahaya kepunahan.
Pembenahan Golkar tak bisa
dilakukan parsial dan tambal-sulam. Harus menyeluruh dan sistematis. Semangat
itu tecermin dari tekad Panitia Pengarah Pemimpin Nurdin Halid yang
menginginkan Munaslub berkualitas. Munaslub dilaksanakan atas prinsip
konstitusional, rekonsiliatif, demokratis, berkeadilan, dan bersih. Tekad itu
mencerminkan adanya pertobatan politik kolektif segenap kader akan pentingnya
penyelamatan Golkar di mata publik.
Agar
berkualitas
Ada beberapa langkah mewujudkan
Munaslub berkualitas. Pertama, pendaftaran bakal calon dengan kewajiban
menyediakan dana (masing-masing Rp 5 miliar-Rp 10 miliar) untuk
penyelenggaraan Munaslub yang diperkirakan menghabiskan sekitar Rp 45 miliar.
Ini berperan membatasi jumlah calon dan mencegah berkembangnya pasar politik
yang mendorong bakal calon menghabiskan dana dalam jumlah besar.
Kedua, panitia memfasilitasi bakal
calon sosialisasi, kampanye, dan debat publik di lima zona: Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi dan Bali, serta NTB-NTT-Maluku dan Papua. Langkah ini
membantu bakal calon bersaing sehat dan menyosialisasikan ide serta kebijakan
lebih efisien dan terkontrol.
Ketiga, terbentuknya Komite Etik.
Komite Etik berwenang mengawasi dan memberi sanksi terhadap panitia, pemilik
suara, dan bakal calon. Panitia dilarang jadi tim sukses, harus netral, dan
tak memberikan fasilitas khusus bagi bakal calon. Pemilik suara dilarang
curang dan menerima fasilitas dari bakal calon. Panitia dan pemilik suara
yang terbukti melanggar ketentuan diberi sanksi tak boleh ikut Munaslub dan
tak dilibatkan dalam kepengurusan partai lima tahun.
Pengawasan ketat dilakukan
terhadap bakal calon antara lain dilarang melakukan tindakan tercela,
memobilisasi pemilih, membuka posko saat Munaslub, dan memberi janji atau
fasilitas kepada pemilik suara. Pelanggaran terhadap ketentuan itu membuat seorang
bakal calon gugur dan tak boleh ikut Munaslub. Tekad dan langkah itu gambaran
kesungguhan Golkar berbenah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar