Jumat, 20 Mei 2016

Paket Kebijakan Ekonomi

Paket Kebijakan Ekonomi

Anwar Nasution ;   Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi UI
                                                         KOMPAS, 19 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejak beberapa bulan terakhir, Pemerintah Presiden Jokowi telah mengintrodusir 12 paket kebijakan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Sangat disayangkan, hasilnya belum sepenuhnya terlihat di lapangan. BPS melaporkan, tingkat laju pertumbuhan ekonomi justru merosot Semester I-2016, sedangkan realisasi investasi ataupun ekspor juga tak meningkat. Pada saat yang sama, bursa efek melaporkan adanya penjualan efek-efek oleh investor asing serta aliran keluar modal jangka pendek ke luar negeri. Hal ini mencerminkan belum baiknya kebijakan ekonomi dalam semua segi, baik moneter, fiskal, maupun deregulasi perekonomian untuk merangsang efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.

Kondisi ini sekaligus menggambarkan kurangnya pemahaman kabinet pemerintahan dalam memahami masalah perekonomian nasional dan memperbaikinya. Mereka tak mampu membaca perubahan lingkungan regional dan internasional serta mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari potensi dunia itu seraya menghindarkan dampak negatifnya.

Pemerintahan Jokowi tak punya tokoh seperti Profesor Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana yang punya koneksi internasional sehingga di era mereka mampu meyakinkan pemerintah dan parlemen negara-negara IGGI/CGI untuk memberikan bantuan dan pinjaman lunak selama 32 tahun (1966-1998) terus-menerus kepada Indonesia. Menteri-menteri Jokowi adalah orang-orang yang sangat alergi terhadap IMF dan Bank Dunia ataupun negara-negara kreditor Barat. Namun, alternatif yang mereka miliki hanya menjadi semakin bergantung pada Tiongkok.

Moneter dan perbankan

Deflasi sudah dapat menurunkan sedikit suku bunga acuan BI ataupun tingkat suku bunga kredit bank. Deflasi itu terjadi bukan karena hebatnya kebijakan ekonomi, melainkan hanya karena kemerosotan harga komoditas primer dunia baik migas dan hasil pertambangan lain, produk pertanian dan perikanan, maupun bahan makanan. Penurunan harga migas, misalnya, telah menurunkan tarif listrik dan angkutan di seluruh dunia, mulai dari ojek, oplet, bus, hingga pesawat terbang. Rangkaian penurunan harga yang terjadi karena resesi ekonomi di beberapa pelosok dunia telah menurunkan biaya produksi maupun harga komoditas kebutuhan masyarakat yang digunakan dalam mengukur laju inflasi.

Dalam kebijakan moneter yang didasarkan pada pencapaian target inflasi (inflation targeting) di Indonesia dewasa ini, suku bunga acuan BI ditentukan tiga faktor. Pertama, tingkat suku bunga riil dalam keseimbangan jangka panjang. Kedua, kesenjangan antara target inflasi inti BI dan realisasinya (inflationary gap). Inflasi inti diukur BI berdasarkan indeks inflasi yang ditetapkan BPS dikurangi harga bahan makanan dan komoditas yang disubsidi pemerintah (seperti BBM dan listrik). Harga bahan makanan dianggap sensitif terhadap perubahan cuaca, iklim, dan musim, dan bukan ditentukan oleh kebijakan moneter BI.

Subsidi BBM dan listrik merupakan keputusan anggaran oleh pemerintah dan DPR. Faktor ketiga yang memengaruhi tingkat suku bunga acuan BI adalah output gap yang merupakan selisih antara potensi maksimum perekonomian jika semua faktor produksi digunakan dengan tingkat produksi yang dapat direalisasikan.

Tingkat suku bunga bank di Indonesia masih yang tertinggi di ASEAN, antara lain karena inefisiensi bank-bank nasional, terutama bank-bank negara. Industri keuangan, terutama perbankan, merupakan jembatan antara BI dan dunia usaha serta masyarakat. Dewasa ini, industri keuangan Indonesia sangat terbelakang dan hanya bertumpu pada industri perbankan. Indonesia tak lagi punya Bank Tabungan Pos (BTP), sedangkan bursa obligasi dan pasar modal masih sangat kecil peranannya. Dana pensiun dan asuransi juga mulai berkembang, dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan asing. BTP warisan kolonial sudah lama pudar karena dilanda perang saudara dan inflasi yang tinggi hingga 1966. Setelah itu, tidak pernah ada lagi upaya pemerintah untuk membangunnya kembali.

Beberapa negara maju, seperti Jepang, Jerman, Perancis, dan Italia, memiliki BTP untuk memobilisasi tabungan nasional. BTP yang kaya di negara-negara itu digunakan untuk menyerap sebagian besar obligasi negara. Selain dana BTP, SUN di negara-negara maju juga diserap dana pensiun serta asuransi dalam negeri. BTP memobilisasi dana dari tabungan masyarakat ataupun menjual asuransi jiwa. Selain menyerap SUN, dana BTP itu digunakan untuk membantu permodalan UKM dan membangun infrastruktur, termasuk perhubungan antarpulau.

Sebaliknya, sekitar 40 persen likuiditas bursa yang memperjualbelikan SUN dan SBI di dalam negeri Indonesia berasal dari pemasukan modal asing berjangka pendek. Akibatnya, cadangan luar negeri, kurs devisa, dan tingkat suku bunga bank di Indonesia ditentukan oleh arus keluar masuk modal asing jangka pendek yang sangat rawan. Pemasukan modal menurunkan tingkat suku bunga, menguatkan nilai tukar rupiah, dan menaikkan harga SUN serta SBI. Pelariannya ke luar negeri menimbulkan proses yang sebaliknya. Akibatnya, kurs rupiah dan tingkat suku bunga bergerak bagaikan yoyo, naik-turun cepat sehingga mengganggu inflasi dan menambah kerawanan perekonomian, menimbulkan ketakpastian.

Inti dari industri perbankan Indonesia terdiri atas empat bank BUMN dan 26 BPD yang menguasai lebih dari 50 persen pasar perbankan nasional. Peranan yang dominan kelompok bank milik negara ini diperoleh bukan dari kemampuan bersaing baik dalam produk maupun dalam pelayanan, tetapi karena adanya ketetapan pemerintah yang mewajibkan penyimpanan seluruh kekayaan finansial sektor negara dan BUMN/BUMD hanya pada bank-bank milik negara.

APBN

APBN tetap mengalami defisit karena rendahnya penerimaan negara dari pajak. Walaupun Indonesia sudah 70 tahun merdeka, penerimaan pajaknya salah satu terendah di dunia, sekitar 13 persen dari PDB. Jumlah penduduk yang terdaftar sebagai wajib pajak baru sekitar 7 persen. Ini mencerminkan buruknya administrasi perpajakan. Karena UU dan peraturan pajak bagian dari sistem hukum nasional, rendahnya penerimaan pajak sekaligus mencerminkan kelemahan sistem hukum, politik, dan sosial kita.

Keuntungan BUMN juga sangat rendah. Konglomerat swasta dan perusahaan asing bisa kaya raya dari perkebunan sawit, tambang batubara, dan industri kertas, tetapi BUMN terus-menerus minta tambahan modal dari pemerintah. Hasil penjualan aset negara sangat rendah karena korupsi. Dengan jumlah penerimaan yang rendah seperti ini, sulit dapat membayangkan Indonesia dapat menjadi negara yang berdiri di atas kaki sendiri, apalagi menjadi besar dan jaya.

Sistem fiskal juga tak berfungsi sebagai alat pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat, ataupun alat stabilisasi ekonomi. Dalam sejarah manusia, tak ada negara yang dapat menjadi besar dan jaya tanpa penerimaan pajak yang mencukupi keperluan pengeluaran negara. Tak ada negara yang bisa menjadi besar karena dililit utang serta mencetak uang untuk menutup defisit anggarannya.

Untuk menutup defisit APBN, pemerintah tetap bertumpu pada pinjaman luar negeri. Selama 32 tahun Orde Baru, seluruh defisit APBN ditutup dari pinjaman lunak negara-negara donor Barat yang tergabung dalam konsorsium IGGI/GCI. Bantuan dan pinjaman luar negeri tersebut menggantikan pembelanjaan defisit APBN melalui pencetakan uang sebelum tahun 1966 yang telah menyebabkan tingkat inflasi sangat tinggi (1966: 650 persen). Setelah reformasi 1998, defisit APBN dibelanjai dengan menjual SUN ke pasar uang dalam negeri dan luar negeri dengan persyaratan pasar. Modal perbankan pun dipulihkan dan kredit macetnya dibersihkan dengan menyuntikkan SUN.

Rekapitalisasi perbankan 1997-1999, sebesar 50 persen dari PDB 1998, termahal dalam sejarah manusia. UU Keuangan Negara Tahun 2003 menggunakan disiplin fiskal Uni Eropa yang membatasi maksimum defisit APBN 3 persen PDB dan maksimum utang negara 60 persen PDB.

Arah pengeluaran negara dalam pemerintahan Jokowi belum banyak menyumbang pada pertumbuhan ekonomi.

Otonomi daerah tak dapat berjalan dengan baik karena kekurangan kemampuan pemda mengurus keuangan ataupun melakukan perencanaan serta melaksanakan pembangunan sekolah, fasilitas kesehatan, ataupun infrastruktur yang menjadi tugas pokoknya dewasa ini. Juga belum kelihatan adanya persaingan antarpemda menggunakan hak otonominya guna menarik investasi dan menggalakkan ekonomi daerah masing-masing. Yang mereka lakukan justru menambah distorsi yang menghambat kegiatan ekonomi dan lalu lintas barang dan jasa serta faktor produksi antardaerah yang bertentangan dengan perwujudan NKRI.

Pemerintah pusat dan daerah perlu segera mengatasi kekurangan tenaga administrasi keuangan, perencana, ataupun pelaksana pembangunan yang diperlukan oleh pemda itu. Tanpa perbaikan itu, otda tak akan jalan, uang daerah terus dikorupsi atau disimpan di BPD-nya sendiri yang mendaurulangkannya kembali ke Jakarta untuk membeli SUN, SBI, ataupun melakukan spekulasi kurs rupiah.

Tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004 menggantikan ICW. Pembukuan keuangan negara yang tadinya berupa pembukuan satu sisi bagaikan pembukuan warung rokok di pinggir jalan, kini digantikan tata buku modern yang terdiri atas dua sisi. Keuangan negara yang tadinya tersebar di banyak tangan, termasuk pejabat yang sudah meninggal, kini dipusatkan dalam satu pembukuan tunggal (treasury single account). Keuangan negara yang tadinya berbasis kas digantikan sistem yang berdasarkan kinerja (performance basis). Pemeriksaan keuangan negara dibuat lebih tertib, berjenjang, dan dengan jadwal yang lebih ketat.

Restrukturalisasi perekonomian

Tujuan pokok restrukturalisasi adalah untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas agar dapat meningkatkan daya saing di pasar global. Belajar dari negara lain, termasuk Tiongkok setelah Deng Xiao Ping, suatu negara dapat menjadi maju dan makmur karena dapat memanfaatkan pasar global. India di bawah PM Manmohan Singh dan Modi sekarang ini, meniru Tiongkok dengan mengundang penanaman modal asing dan merambah pasar perdagangan dan investasi dunia. Investasi asing dan kenaikan kegiatan ekonomi serta ekspor itu yang menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja yang jumlahnya terlalu banyak tetapi tak punya pendidikan dan keterampilan kerja.

Peningkatan pendapatan negara dan pendapatan masyarakat Tiongkok dan India memungkinkan rakyatnya hidup lebih layak, membeli rumah, menyekolahkan anak, dan memelihara kesehatan. Korea Utara mungkin satu-satunya negara komunis yang tetap berdikari dan menutup diri dari pergaulan dunia. Karena itu, negara itu tetap melarat dan kelangsungan hidupnya hanya karena adanya bantuan dan subsidi dari Tiongkok.

Ada empat aspek utama restrukturalisasi sistem sosial dan ekonomi, yakni: (i) memperbaiki penegakan sistem dan aturan hukum, (ii) meningkatkan kualitas pengaturan negara dan mencegah terjadinya distorsi perekonomian, (iii) meningkatkan efektivitas penyelenggaraan negara, dan (iv) pemberantasan korupsi. Keterlambatan akibat dari berbelit-belitnya birokrasi dan maraknya pungli telah menghambat investasi, meningkatkan ongkos produksi, dan mengurangi daya saing ekonomi nasional di pasar dunia. Kemampuan untuk melakukan persaingan di pasar dunia memerlukan efisiensi logistik yang cepat dengan biaya murah.

Sistem hukum mempunyai dua fungsi: (i) melindungi hak milik individu dan (ii) memaksakan berlakunya kontrak perjanjian. Sistem hukum yang tak jalan menimbulkan ketidakpastian dan meningkatkan biaya transaksi yang mengurangi efisiensi dan produktivitas. Hanya di pengadilan negeri di Indonesia di muka bumi ini di mana pembeli surat utang atau obligasi kalah berperkara dengan pihak yang mengeluarkan surat utang itu.

Karena tak ada perlindungan hukum, masyarakat beralih pada preman dan debt collectors untuk menyelesaikan utang-piutang.

Di samping karena tidak adanya kepastian hukum, keamanan untuk menyimpan kekayaan di Indonesia menjadi semakin terganggu karena lemahmya sistem politik dan sosial kita. Sejak pengakuan kedaulatan pada 1950, sudah beberapa kali terjadi di Indonesia pengusiran, perampasan hak milik, dan tindakan kriminal pada WNI turunan asing.

Kekayaan warga pribumi, seperti Markam dan Tambunan yang dulu dekat dengan Bung Karno, pun disita tanpa dasar hukum dan penggantian. Akibatnya, orang kaya lebih merasa aman untuk menyimpan kekayaannya di luar negeri dan menyebabkan terjadinya diaspora tenaga terampil Indonesia ke seluruh dunia.

Tanpa adanya perbaikan sistem hukum, politik, dan sosial, program anmesti pajak yang diintroduksi pemerintahan Presiden Jokowi sekarang ini tidak akan berhasil untuk menarik kembali uang dan tenaga terampil itu ke Indonesia.

Peningkatan efisiensi perekonomian nasional, termasuk restrukturalisasi BUMN dan BUMD, agar moto mereka sebagai agen pembangunan bukan saja hanya sebagai semboyan kosong belaka. Kenapa perusahaan asing dan swasta nasional bisa menjadi kaya raya, sedangkan BUMN dan BUMD tetap terpuruk dan terus-menerus minta suntikan modal tambahan dari pemerintah? Kenapa BUMN di Malaysia dan Singapura bisa masuk pasar dunia, termasuk ke Indonesia, sedangkan BUMN dan BUMD kita tetap hanya menjadi jago kandang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar