Paket Kebijakan Ekonomi
Anwar Nasution ;
Guru Besar Emeritus Fakultas
Ekonomi UI
|
KOMPAS, 19 Mei
2016
Sejak beberapa bulan
terakhir, Pemerintah Presiden Jokowi telah mengintrodusir 12 paket kebijakan
untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Sangat
disayangkan, hasilnya belum sepenuhnya terlihat di lapangan. BPS melaporkan,
tingkat laju pertumbuhan ekonomi justru merosot Semester I-2016, sedangkan
realisasi investasi ataupun ekspor juga tak meningkat. Pada saat yang sama,
bursa efek melaporkan adanya penjualan efek-efek oleh investor asing serta
aliran keluar modal jangka pendek ke luar negeri. Hal ini mencerminkan belum
baiknya kebijakan ekonomi dalam semua segi, baik moneter, fiskal, maupun
deregulasi perekonomian untuk merangsang efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.
Kondisi ini sekaligus
menggambarkan kurangnya pemahaman kabinet pemerintahan dalam memahami masalah
perekonomian nasional dan memperbaikinya. Mereka tak mampu membaca perubahan
lingkungan regional dan internasional serta mengambil manfaat yang
sebesar-besarnya dari potensi dunia itu seraya menghindarkan dampak
negatifnya.
Pemerintahan Jokowi
tak punya tokoh seperti Profesor Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana yang
punya koneksi internasional sehingga di era mereka mampu meyakinkan
pemerintah dan parlemen negara-negara IGGI/CGI untuk memberikan bantuan dan
pinjaman lunak selama 32 tahun (1966-1998) terus-menerus kepada Indonesia.
Menteri-menteri Jokowi adalah orang-orang yang sangat alergi terhadap IMF dan
Bank Dunia ataupun negara-negara kreditor Barat. Namun, alternatif yang
mereka miliki hanya menjadi semakin bergantung pada Tiongkok.
Moneter dan perbankan
Deflasi sudah dapat
menurunkan sedikit suku bunga acuan BI ataupun tingkat suku bunga kredit bank.
Deflasi itu terjadi bukan karena hebatnya kebijakan ekonomi, melainkan hanya
karena kemerosotan harga komoditas primer dunia baik migas dan hasil
pertambangan lain, produk pertanian dan perikanan, maupun bahan makanan.
Penurunan harga migas, misalnya, telah menurunkan tarif listrik dan angkutan
di seluruh dunia, mulai dari ojek, oplet, bus, hingga pesawat terbang.
Rangkaian penurunan harga yang terjadi karena resesi ekonomi di beberapa
pelosok dunia telah menurunkan biaya produksi maupun harga komoditas kebutuhan
masyarakat yang digunakan dalam mengukur laju inflasi.
Dalam kebijakan
moneter yang didasarkan pada pencapaian target inflasi (inflation targeting) di Indonesia dewasa ini, suku bunga acuan BI
ditentukan tiga faktor. Pertama, tingkat suku bunga riil dalam keseimbangan
jangka panjang. Kedua, kesenjangan antara target inflasi inti BI dan
realisasinya (inflationary gap).
Inflasi inti diukur BI berdasarkan indeks inflasi yang ditetapkan BPS
dikurangi harga bahan makanan dan komoditas yang disubsidi pemerintah
(seperti BBM dan listrik). Harga bahan makanan dianggap sensitif terhadap
perubahan cuaca, iklim, dan musim, dan bukan ditentukan oleh kebijakan
moneter BI.
Subsidi BBM dan
listrik merupakan keputusan anggaran oleh pemerintah dan DPR. Faktor ketiga
yang memengaruhi tingkat suku bunga acuan BI adalah output gap yang merupakan
selisih antara potensi maksimum perekonomian jika semua faktor produksi
digunakan dengan tingkat produksi yang dapat direalisasikan.
Tingkat suku bunga
bank di Indonesia masih yang tertinggi di ASEAN, antara lain karena
inefisiensi bank-bank nasional, terutama bank-bank negara. Industri keuangan,
terutama perbankan, merupakan jembatan antara BI dan dunia usaha serta
masyarakat. Dewasa ini, industri keuangan Indonesia sangat terbelakang dan
hanya bertumpu pada industri perbankan. Indonesia tak lagi punya Bank
Tabungan Pos (BTP), sedangkan bursa obligasi dan pasar modal masih sangat
kecil peranannya. Dana pensiun dan asuransi juga mulai berkembang,
dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan asing. BTP warisan kolonial sudah
lama pudar karena dilanda perang saudara dan inflasi yang tinggi hingga 1966.
Setelah itu, tidak pernah ada lagi upaya pemerintah untuk membangunnya
kembali.
Beberapa negara maju,
seperti Jepang, Jerman, Perancis, dan Italia, memiliki BTP untuk memobilisasi
tabungan nasional. BTP yang kaya di negara-negara itu digunakan untuk
menyerap sebagian besar obligasi negara. Selain dana BTP, SUN di
negara-negara maju juga diserap dana pensiun serta asuransi dalam negeri. BTP
memobilisasi dana dari tabungan masyarakat ataupun menjual asuransi jiwa.
Selain menyerap SUN, dana BTP itu digunakan untuk membantu permodalan UKM dan
membangun infrastruktur, termasuk perhubungan antarpulau.
Sebaliknya, sekitar 40
persen likuiditas bursa yang memperjualbelikan SUN dan SBI di dalam negeri
Indonesia berasal dari pemasukan modal asing berjangka pendek. Akibatnya,
cadangan luar negeri, kurs devisa, dan tingkat suku bunga bank di Indonesia
ditentukan oleh arus keluar masuk modal asing jangka pendek yang sangat
rawan. Pemasukan modal menurunkan tingkat suku bunga, menguatkan nilai tukar
rupiah, dan menaikkan harga SUN serta SBI. Pelariannya ke luar negeri
menimbulkan proses yang sebaliknya. Akibatnya, kurs rupiah dan tingkat suku
bunga bergerak bagaikan yoyo, naik-turun cepat sehingga mengganggu inflasi
dan menambah kerawanan perekonomian, menimbulkan ketakpastian.
Inti dari industri
perbankan Indonesia terdiri atas empat bank BUMN dan 26 BPD yang menguasai
lebih dari 50 persen pasar perbankan nasional. Peranan yang dominan kelompok
bank milik negara ini diperoleh bukan dari kemampuan bersaing baik dalam
produk maupun dalam pelayanan, tetapi karena adanya ketetapan pemerintah yang
mewajibkan penyimpanan seluruh kekayaan finansial sektor negara dan BUMN/BUMD
hanya pada bank-bank milik negara.
APBN
APBN tetap mengalami
defisit karena rendahnya penerimaan negara dari pajak. Walaupun Indonesia
sudah 70 tahun merdeka, penerimaan pajaknya salah satu terendah di dunia,
sekitar 13 persen dari PDB. Jumlah penduduk yang terdaftar sebagai wajib
pajak baru sekitar 7 persen. Ini mencerminkan buruknya administrasi
perpajakan. Karena UU dan peraturan pajak bagian dari sistem hukum nasional,
rendahnya penerimaan pajak sekaligus mencerminkan kelemahan sistem hukum,
politik, dan sosial kita.
Keuntungan BUMN juga
sangat rendah. Konglomerat swasta dan perusahaan asing bisa kaya raya dari
perkebunan sawit, tambang batubara, dan industri kertas, tetapi BUMN
terus-menerus minta tambahan modal dari pemerintah. Hasil penjualan aset
negara sangat rendah karena korupsi. Dengan jumlah penerimaan yang rendah
seperti ini, sulit dapat membayangkan Indonesia dapat menjadi negara yang
berdiri di atas kaki sendiri, apalagi menjadi besar dan jaya.
Sistem fiskal juga tak
berfungsi sebagai alat pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat,
ataupun alat stabilisasi ekonomi. Dalam sejarah manusia, tak ada negara yang
dapat menjadi besar dan jaya tanpa penerimaan pajak yang mencukupi keperluan
pengeluaran negara. Tak ada negara yang bisa menjadi besar karena dililit
utang serta mencetak uang untuk menutup defisit anggarannya.
Untuk menutup defisit
APBN, pemerintah tetap bertumpu pada pinjaman luar negeri. Selama 32 tahun
Orde Baru, seluruh defisit APBN ditutup dari pinjaman lunak negara-negara
donor Barat yang tergabung dalam konsorsium IGGI/GCI. Bantuan dan pinjaman
luar negeri tersebut menggantikan pembelanjaan defisit APBN melalui
pencetakan uang sebelum tahun 1966 yang telah menyebabkan tingkat inflasi
sangat tinggi (1966: 650 persen). Setelah reformasi 1998, defisit APBN
dibelanjai dengan menjual SUN ke pasar uang dalam negeri dan luar negeri
dengan persyaratan pasar. Modal perbankan pun dipulihkan dan kredit macetnya
dibersihkan dengan menyuntikkan SUN.
Rekapitalisasi
perbankan 1997-1999, sebesar 50 persen dari PDB 1998, termahal dalam sejarah
manusia. UU Keuangan Negara Tahun 2003 menggunakan disiplin fiskal Uni Eropa
yang membatasi maksimum defisit APBN 3 persen PDB dan maksimum utang negara
60 persen PDB.
Arah pengeluaran
negara dalam pemerintahan Jokowi belum banyak menyumbang pada pertumbuhan
ekonomi.
Otonomi daerah tak
dapat berjalan dengan baik karena kekurangan kemampuan pemda mengurus
keuangan ataupun melakukan perencanaan serta melaksanakan pembangunan sekolah,
fasilitas kesehatan, ataupun infrastruktur yang menjadi tugas pokoknya dewasa
ini. Juga belum kelihatan adanya persaingan antarpemda menggunakan hak
otonominya guna menarik investasi dan menggalakkan ekonomi daerah
masing-masing. Yang mereka lakukan justru menambah distorsi yang menghambat
kegiatan ekonomi dan lalu lintas barang dan jasa serta faktor produksi
antardaerah yang bertentangan dengan perwujudan NKRI.
Pemerintah pusat dan
daerah perlu segera mengatasi kekurangan tenaga administrasi keuangan,
perencana, ataupun pelaksana pembangunan yang diperlukan oleh pemda itu.
Tanpa perbaikan itu, otda tak akan jalan, uang daerah terus dikorupsi atau
disimpan di BPD-nya sendiri yang mendaurulangkannya kembali ke Jakarta untuk
membeli SUN, SBI, ataupun melakukan spekulasi kurs rupiah.
Tiga UU Keuangan
Negara Tahun 2003-2004 menggantikan ICW. Pembukuan keuangan negara yang
tadinya berupa pembukuan satu sisi bagaikan pembukuan warung rokok di pinggir
jalan, kini digantikan tata buku modern yang terdiri atas dua sisi. Keuangan
negara yang tadinya tersebar di banyak tangan, termasuk pejabat yang sudah
meninggal, kini dipusatkan dalam satu pembukuan tunggal (treasury single account). Keuangan negara yang tadinya berbasis
kas digantikan sistem yang berdasarkan kinerja (performance basis). Pemeriksaan keuangan negara dibuat lebih
tertib, berjenjang, dan dengan jadwal yang lebih ketat.
Restrukturalisasi perekonomian
Tujuan pokok
restrukturalisasi adalah untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas agar
dapat meningkatkan daya saing di pasar global. Belajar dari negara lain,
termasuk Tiongkok setelah Deng Xiao Ping, suatu negara dapat menjadi maju dan
makmur karena dapat memanfaatkan pasar global. India di bawah PM Manmohan
Singh dan Modi sekarang ini, meniru Tiongkok dengan mengundang penanaman
modal asing dan merambah pasar perdagangan dan investasi dunia. Investasi
asing dan kenaikan kegiatan ekonomi serta ekspor itu yang menciptakan
lapangan kerja bagi tenaga kerja yang jumlahnya terlalu banyak tetapi tak
punya pendidikan dan keterampilan kerja.
Peningkatan pendapatan
negara dan pendapatan masyarakat Tiongkok dan India memungkinkan rakyatnya
hidup lebih layak, membeli rumah, menyekolahkan anak, dan memelihara
kesehatan. Korea Utara mungkin satu-satunya negara komunis yang tetap
berdikari dan menutup diri dari pergaulan dunia. Karena itu, negara itu tetap
melarat dan kelangsungan hidupnya hanya karena adanya bantuan dan subsidi
dari Tiongkok.
Ada empat aspek utama
restrukturalisasi sistem sosial dan ekonomi, yakni: (i) memperbaiki penegakan
sistem dan aturan hukum, (ii) meningkatkan kualitas pengaturan negara dan
mencegah terjadinya distorsi perekonomian, (iii) meningkatkan efektivitas
penyelenggaraan negara, dan (iv) pemberantasan korupsi. Keterlambatan akibat dari
berbelit-belitnya birokrasi dan maraknya pungli telah menghambat investasi,
meningkatkan ongkos produksi, dan mengurangi daya saing ekonomi nasional di
pasar dunia. Kemampuan untuk melakukan persaingan di pasar dunia memerlukan
efisiensi logistik yang cepat dengan biaya murah.
Sistem hukum mempunyai
dua fungsi: (i) melindungi hak milik individu dan (ii) memaksakan berlakunya
kontrak perjanjian. Sistem hukum yang tak jalan menimbulkan ketidakpastian
dan meningkatkan biaya transaksi yang mengurangi efisiensi dan produktivitas.
Hanya di pengadilan negeri di Indonesia di muka bumi ini di mana pembeli
surat utang atau obligasi kalah berperkara dengan pihak yang mengeluarkan
surat utang itu.
Karena tak ada
perlindungan hukum, masyarakat beralih pada preman dan debt collectors untuk
menyelesaikan utang-piutang.
Di samping karena
tidak adanya kepastian hukum, keamanan untuk menyimpan kekayaan di Indonesia
menjadi semakin terganggu karena lemahmya sistem politik dan sosial kita.
Sejak pengakuan kedaulatan pada 1950, sudah beberapa kali terjadi di
Indonesia pengusiran, perampasan hak milik, dan tindakan kriminal pada WNI
turunan asing.
Kekayaan warga
pribumi, seperti Markam dan Tambunan yang dulu dekat dengan Bung Karno, pun
disita tanpa dasar hukum dan penggantian. Akibatnya, orang kaya lebih merasa
aman untuk menyimpan kekayaannya di luar negeri dan menyebabkan terjadinya
diaspora tenaga terampil Indonesia ke seluruh dunia.
Tanpa adanya perbaikan
sistem hukum, politik, dan sosial, program anmesti pajak yang diintroduksi
pemerintahan Presiden Jokowi sekarang ini tidak akan berhasil untuk menarik
kembali uang dan tenaga terampil itu ke Indonesia.
Peningkatan efisiensi
perekonomian nasional, termasuk restrukturalisasi BUMN dan BUMD, agar moto
mereka sebagai agen pembangunan bukan saja hanya sebagai semboyan kosong
belaka. Kenapa perusahaan asing dan swasta nasional bisa menjadi kaya raya,
sedangkan BUMN dan BUMD tetap terpuruk dan terus-menerus minta suntikan modal
tambahan dari pemerintah? Kenapa BUMN di Malaysia dan Singapura bisa masuk
pasar dunia, termasuk ke Indonesia, sedangkan BUMN dan BUMD kita tetap hanya
menjadi jago kandang? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar