Bebas dari Sihir Orde Baru
AS Laksana ;
Sastrawan; Pengarang; Kritikus
Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA POS, 17 Mei
2016
BAGAIMANA
cara sembuh dari masa lalu?
Itu
pertanyaan kacau yang melintas begitu saja di dalam benak dan sebetulnya itu
pertanyaan yang menyedihkan. Pertanyaan seperti itu hanya bisa diajukan jika
kita menganggap masa lalu adalah penyakit dan setiap penyakit pasti ada
penyembuhnya. Jika sebuah penyakit tidak ada penyembuhnya, ia mungkin bukan
penyakit, melainkan nasib buruk. Sama halnya dengan sebuah masalah. Setiap
yang kita anggap sebagai masalah pastilah ada penyelesaiannya. Jika sebuah
masalah tidak pernah ada penyelesaiannya, ia bukan masalah sama sekali.
Kita
mewarisi sebuah masa lalu yang terus mencengkeram pikiran hingga hari ini:
peristiwa 1965. Saya pikir itu masa lalu yang rumit dan kita tidak tahu kapan
kita memiliki kecakapan untuk menyelesaikannya.
Secara
pribadi, saya tidak mempunyai masalah dengan peristiwa 1965; peristiwa itu
meletus sebelum saya lahir dan orang tua saya tidak memiliki banyak cerita
tentang peristiwa itu. Jikapun ada masalah dengan masa lalu, saya yakin itu
pasti dengan pemerintahan Orde Baru, sebuah pemerintahan yang dimulai dengan
pembantaian masal dan membangun keangkeran dengan menanamkan ketakutan dan
mengebiri pemikiran kritis dengan tindakan beringas aparat bersenjata.
Saya
lahir dan tumbuh dan membentuk diri di masa itu. Pak Harto sudah menjadi
presiden ketika saya lahir dan ia mengendalikan semua sumber daya –politik,
ekonomi, dan pasukan bersenjata– dan ia menyukai kesenyapan. Pada masa
pemerintahannya, suara daun jatuh dan gerisik batang alang-alang akan
langsung dicap sebagai komunis. Teman masa kecil saya susah mendapatkan pacar
ketika remaja karena ayahnya anggota Partai Komunis Indonesia; ia periang
ketika kanak-kanak dan menjadi pemurung setelah ditolak oleh orang tua gadis
yang ia cintai. Sebetulnya gadis itu mencintainya juga, tetapi pada masa itu
jarang-jarang ada orang tua yang setuju anaknya berpacaran dengan anak
anggota PKI. Itu sama dengan membiarkan si gadis berpacaran dengan anak
setan.
Pemerintahan
Orde Baru menyatakan bahwa PKI adalah partai terlarang dan mengarang cerita
yang membuat kami berkesimpulan bahwa anggota PKI dan simpatisannya adalah
para setan yang tidak boleh didekati. Berdekatan dengan mereka berarti kita
menjadi ’’tidak bersih lingkungan” dan itu berarti masa depan kita suram. Pak
Harto baru bisa didongkel ketika umur saya sudah 30 tahun. Saya pikir ia
tidak bisa diturunkan. Ternyata bisa meski harus menunggu sangat lama. Saya
tidak tahu seperti apa nasib teman saya sekarang.
Tahun
lalu, 2015, adalah peringatan 50 tahun tragedi 1965. Tahun itu juga berarti
17 tahun pemerintahan Orde Baru sudah tumbang. Desakan menguat agar para
pelaku kejahatan terhadap hak asasi manusia (HAM) di masa lalu diadili. Kita
ribut lagi. Pelarangan-pelarangan muncul lagi. Demonstrasi menolak
acara-acara yang berkaitan dengan peristiwa 1965 terjadi di beberapa tempat.
Dan
tiba-tiba terjadi sesuatu yang mengejutkan: beberapa hari belakangan muncul
bendera dan kaus palu arit dan kemudian penarikan buku-buku. Bendera dan kaus
itu seperti muncul dengan sengaja untuk merusuhkan situasi dan memberi
peluang kepada negara untuk bertindak seolah-olah lonceng bahaya sudah
berbunyi.
Melihat
keruwetan yang terjadi sekarang ini, saya khawatir bahwa kita memang tidak
pernah sanggup menyelesaikan dengan baik sisa-sisa persoalan dari masa lalu
kita. Itu gejala menyedihkan.
Rasa
sakit yang kita derita hari ini, Anda tahu, adalah timbunan rasa sakit dari
tiga masa: masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Rasa
sakit dari masa lalu, jika kita tidak bisa membereskannya, akan menambah rasa
sakit hari ini. Akumulasi rasa sakit hari ini dan masa lalu akan diperparah
dengan keputusasaan terhadap masa depan.
Dalam
kasus peristiwa 1965, sampai hari ini kita tetap bertarung keras tentang
bagaimana menyelesaikan masalah itu. Kita tetap tidak berhasil merumuskan
cara yang elok untuk membereskannya. Peristiwa itu menjadi trauma, menjadi
hantu sampai hari ini. Sebab, kita tetap tidak menemukan cara yang paling
memuaskan untuk menanganinya.
Pernah
suatu saat muncul pemikiran untuk memodel langkah rekonsiliasi yang dilakukan
oleh Nelson Mandela di Afrika Selatan. Pemerintahan baru, dengan kesediaan
untuk mengikhlaskan apa yang buruk di masa lalu, mengajak warga yang
tertindas oleh pemerintahan sebelumnya untuk memberi maaf dan mengingatkan
bahwa kemenangan gerakan anti-apartheid adalah kemenangan bagi semua, baik
warga kulit hitam maupun kulit putih Afrika Selatan. Dengan kata lain,
kemenangan bagi kaum tertindas dan para penindas.
Para
tertindas kulit hitam lepas dari penindasan pemerintahan rasis kulit putih.
Para penindas lepas dari keburukan mereka di masa lalu dan bisa menjalani
kehidupan yang baik tanpa harus menjadi penindas. Itu ujung yang baik dari
sebuah situasi kusam yang tampak tidak memberikan harapan. Dendam tidak
diberi tempat di sana.
Tetapi,
yang terjadi pada 1965 di Indonesia adalah hal yang berbeda dibandingkan
dengan apa yang terjadi di Afrika Selatan. Di sana kaum tertindas pada
akhirnya meraih kemenangan dan menjadi pihak yang berkuasa. Dan dengan
kekuasaan itu, mereka mempunyai pilihan: apakah memaafkan pihak yang dulu
menindas mereka atau melampiaskan dendam atas apa yang dulu ditimpakan kepada
mereka.
Perbedaannya
dengan situasi kita di sini adalah kaum tertindas di Afrika Selatan pada
akhirnya memenangi perjuangan dan menjadi penguasa. Mereka memiliki pilihan
bebas untuk menggunakan kekuasaan dengan cara yang mereka inginkan. Dalam
kasus kita, para tertindas tetap tidak mendapatkan keadilan dan mereka yang
terlibat dalam penindasan tidak pernah mendapatkan pengadilan.
Keputusan
rekonsiliasi Afrika Selatan tentu saja bisa menjadi ilham bagi kita untuk
membuat keputusan yang baik bagi penyelesaian kasus kita sendiri, tetapi
peristiwa 1965 sungguh berbeda dengan politik apartheid. Yang menambah
kepelikan kasus 1965 adalah keterlibatan kaum agamawan dan
organisasi-organisasi keagamaan di dalamnya, yang terpancing untuk melakukan
pembantaian dan menyepakati pelarangan terhadap Partai Komunis Indonesia
–barangkali sampai kapan pun.
Provokasi
terus-menerus yang dilakukan sepanjang pemerintahan Orde Baru mungkin sulit
disingkirkan efeknya. Saya agak yakin bahwa sebagian besar kaum beragama akan
tetap mendukung keputusan politik peninggalan Orde Baru, misalnya, pelarangan
terhadap PKI. Mungkin kebanyakan dari mereka tetap beranggapan bahwa
komunisme adalah anti-Tuhan dan dengan demikian memang patut dilarang.
Bahkan, sekiranya orang-orang yang meyakini paham komunisme bersumpah bahwa
mereka mengakui keberadaan Tuhan, saya tidak yakin sumpah semacam itu akan
dipercaya orang.
Dalam
waktu lama, mungkin sampai hari ini, kita diyakinkan bahwa orang-orang yang
tidak memercayai keberadaan Tuhan adalah orang-orang bejat. Tuhan, kita tahu,
adalah pusat keimanan orang beragama. Kaum yang tidak mengimani Tuhan adalah
antitesis dari agama, atau –lebih celaka lagi– musuh agama. Mereka memendam
niat untuk menghancurkan agama dan akan memberikan kesengsaraan kepada umat
beragama jika dibiarkan hidup. Itu stigma yang bercokol di benak kita seperti
hantu mendekam di semak-semak.
Cerita tentang
kebejatan orang yang tidak mengimani keberadaan Tuhan adalah cerita tentang
kebejatan iblis. Sebaliknya, cerita tentang kebejatan orang-orang beriman
adalah cerita tentang orang yang gagal menjalankan ajaran-ajaran agamanya
–pada suatu saat mereka bisa bertobat atau mendapatkan hidayah– karena Tuhan
memberikan hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki, sebejat apa pun orang
itu.
Saya
pikir hal-hal semacam inilah yang membuat kita tidak kunjung sembuh dari masa
lalu. Kita terus berkutat dengan kecemasan. Kita tidak pandai membereskan
masalah kita sendiri. Kita bahkan tidak cakap meminta maaf. Pemerintahan baru
bisa saja meminta maaf atas tragedi kemanusiaan 1965, tetapi apakah
permintaan maaf itu lantas mengizinkan Partai Komunis Indonesia beroperasi
lagi di panggung politik? Saya tidak yakin.
Apa
boleh buat, kita belum sepenuhnya terbebas dari sihir Orde Baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar