Kamis, 19 Mei 2016

Bela Negara dalam Sisdiknas

Bela Negara dalam Sisdiknas

Syarifudin Tippe ;   Guru Besar Manajemen Strategis,
Rektor pertama Universitas Pertahanan
                                               MEDIA INDONESIA, 17 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

"Setiap anak lahir sebagai pembelajar, tumbuh sebagai pembelajar, lalu saat ia mulai melangkah masuk ke sekolah, ia mulai berhadapan dengan struktur dan berbagai peraturan sebagai bagian dari sebuah model masyarakat mini. Struktur dan berbagai peraturan yang ia hadapi ini dapat mengarahkan mereka terus menjadi pembelajar, atau justru sebaliknya, meredupkan hasrat belajar. Adalah tugas kita semua untuk memastikan binar keingintahuan di mata setiap anak Indonesia, serta api semangat berkarya di dalam dirinya tidak akan padam. Adalah tugas kita memberikan ruang bagi anak-anak Indonesia untuk berkontribusi, memajukan diri, memajukan masyarakatnya, memajukan kebudayaan bangsanya." (Anies Baswedan, Hari Pendidikan Nasional 2016)

PADA hakikatnya, pendidikan ialah proses memanusiakan manusia. Secara epistimologi, karakter pendidikan punya fungsi pemersatu, penyamaan kesempatan, dan pembangunan potensi diri setiap manusia Indonesia. Pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, serta memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi diri yang dimilikinya secara optimal. Artinya, fungsi pendidikan tidak lagi sekadar proses kemanusiaan, tetapi juga menjadi subjek pembangunan secara utuh.

Dalam kaitannya dengan pendidikan, bela negara sering dikaitkan dengan pendidikan kewarganegaraan atau civic education. PK memiliki peran yang strategis dalam mempersiapkan warga negara yang cerdas, bertanggung jawab, dan berkeadaban. Sayangnya, proses pengintegrasian bela negara ke sistem pendidikan nasional (sisdiknas) belum dapat memberikan kejelasan makna bela negara sebagai nilai, semakna pada saat kelahirannya sampai dengan mengkristal menjadi nilai yang dapat merefleksikan patriotisme. Di Indonesia, pendidikan kewarganegaraan berbasis Pancasila.

Mansoer (2005) menjelaskan pendidikan merupakan sintesis antara civic education, democracy education, dan citizenship education yang berlandaskan filsafat Pancasila, serta mengandung muatan identitas nasional Indonesia, serta muatan makna pendidikan pendahuluan bela negara. Menurut Kaelan (2010), dengan pendidikan kewarganegaraan, diharapkan intelektual Indonesia memiliki dasar kepribadian sebagai warga negara yang demokratis, religius, berkemanusiaan, dan berkeadaban.

Pancasila vs bela negara

Bela negara berawal dari nilai pembelaan terhadap kepentingan perorangan, kemudian berkembang menjadi pembelaan terhadap kepentingan kelompok, dan seterusnya kepentingan masyarakat dan kepentingan negara. Dengan demikian, bela negara termasuk nilai dasar yang bersifat universal karena setiap negara dipastikan memiliki kepentingan yang harus dibela.

Bagi bangsa Indonesia, bela negara lahir bersamaan dengan lahirnya bangsa ini pada 1928. Oleh karena itu, bela negara merupakan kristalisasi nilai-nilai kebangsaan selama 17 tahun, dari 1928 hingga 1945. Puncak proses kristalisasi nilai itu ialah pada saat proklamasi kemerdekaan bangsa, 17 Agustus 1945.

Proses kristalisasi nilai itu juga disebut sebagai nilai patriotisme, yang terdiri atas nilai-nilai pantang menyerah, rela berkorban, dan tanpa pamrih (Pusaka, 1972). Dalam pengurutan proses kristalisasi nilai-nilai kebangsaan, bela negara sejatinya lahir bersama lahirnya bangsa Indonesia, baru kemudian Pancasila lahir bersamaan dengan lahirnya negara Indonesia. Ini berarti, Pancasila tidak sama dengan bela negara. Namun, Pancasila dan bela negara ialah dua nilai yang saling menguatkan.

Berdasarkan UUD 1945 amendemen ke-4 Pasal 27, ayat (3), bela negara merupakan salah satu konsep partisipasi rakyat, yakni terbuka untuk seluruh warga negara Indonesia. Lebih lanjut lagi, UU RI Nomor 20 Tahun 1982 Pasal 18 ayat (1) menjelaskan hak dan kewajiban warga negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui pendidikan pendahuluan bela negara (PPBN) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sisdiknas. Sementara itu, Pasal 19 ayat (2), menjelaskan PPBN wajib diikuti setiap warga negara dan dilaksanakan secara bertahap, yaitu; a) tahap awal, pada pendidikan tingkat dasar sampai menengah dan pada gerakan pramuka; b) Tahap lanjutan, dalam bentuk pendidikan kewiraan pada tingkat pendidikan tinggi.

Kemudian, pada 1 Maret 1988, Menhan RI mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE/007/M/III/1988 tentang Pokok-Pokok Upaya Penyelenggaraan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara-PPBN (Ditjenpothan, 2015) yang berisi desain rumusan lima unsur dasar bela negara, yaitu; 1) cinta Tanah Air; 2) kesadaran berbangsa dan bernegara; 3) yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara; 4) rela berkorban untuk bangsa dan negara, dan; 5) memiliki kemampuan awal bela negara.

Perbedaan penafsiran

Aspek pengintegrasian memberikan kesan bahwa institusi pendidikan dan institusi pertahanan kini seolah berjalan sendiri-sendiri, seolah membenarkan ego sektoral ialah wajah stereotip birokrasi Indonesia. Kiranya tidaklah mengherankan jika publik kemudian memberikan penafsiran dikotomis terhadap makna bela negara, yaitu dari sisi pendidikan dan dari sisi pertahanan. Dari sisi pendidikan, orang seolah menafsirkan bela negara hanya sebatas pendidikan kewiraan, pendidikan pendahuluan bela negara, dan pendidikan kewarganegaraan.

Dari sisi pertahanan, bela negara sering kali dimaknai sebagai aktivitas kemiliteran, seperti baris-berbaris dan angkat senjata, yang dibarengi dengan simbol-simbol baju loreng. Sementara itu, dari sisi pendidikan, terkesan ada ketidakjelasan pengintegrasian bela negara sebagai nilai ke dalam sisdiknas. Padahal, pengaruh atau ancaman internal terhadap bangsa Indonesia di bidang pendidikan ialah pada sumber daya manusia. Jika keluaran pendidikan tinggi tidak atau kurang memiliki karakter bela negara, kapasitas nasionalisme dan patriotismenya bisa dibilang diragukan. Kualitas SDM yang demikian tentu merupakan sasaran empuk bagi ancaman eksternal, seperti ancaman hibrida. Kombinasi antara cyber attack dengan instabilitas ekonomi yang dilancarkan negara tertentu, misalnya, sangat mungkin terjadi, dan kita tak mampu berbuat apa pun, karena SDM kita tidak siap.

Jika SDM punya kapasitas intelektual yang tinggi tanpa kepribadian berkarakter bela negara yang melandasinya, SDM tersebut hanya akan menjadikan bangsa ini sebagai boneka bangsa lain. Lebih jauh lagi, Keputusan Dirjen Dikti No 43/Dikti/Kep/2006, pendidikan kewarganegaraan (baca: bela negara) meliputi pokok bahasan: 1) filsafat pancasila; 2) identitas nasional; 3) negara dan konstitusi; 4) demokrasi Indonesia; 5) rule of law dan HAM; 6) hak dan kewajiban warga negara serta negara; 7) geopolitik, dan 8) geostrategi Indonesia.

Perlu Pengintegrasian

Proses pembelajaran yang ideal ialah yang aktif dan berkekuatan, demokratis dan humanistis, serta menyenangkan, karena bahan ajar, kegiatan, media, dan sumber pun mampu mengundang, melibatkan, dan memberdayakan seluruh potensi diri serta mendorong siswa didik untuk menjadi independent and self-regulated learners. Prinsip student today, leader tomorrow, yaitu harus terus belajar meningkatkan kualitas diri sehingga kelak dapat menjadi pemimpin yang baik, sangat relevan diterapkan pada pembelajaran PKn.

Pada akhirnya, integrasi dan koordinasi antara Kementerian Pertahanan dengan Kementerian Ristek dan Dikti dalam hal penyusunan kurikulum, program, dan pembelajaran perlu dibangun. Evaluasi secara berlanjut dan berkesinambungan pun perlu dilakukan demi kejayaan dan keberlangsungan bangsa. Di masa depan, program Bela Negara harus terintegrasi dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi pada tingkat lokal untuk menunjang kurikulum utama tingkat nasional yang selama ini hanya dikenal melalui PKn. Pengaplikasian materi PPBN dalam proses belajar mengajar sebagai bagian dari PKn, misalnya, harus menggunakan model pembelajaran yang berfokus pada siswa didik.

Dalam model pembelajaran ini, siswa didik akan dituntut aktif dalam mempelajari dan mencari sumber yang terkait bela negara, termasuk kajian komparasi dengan melihat model negara lain, seperti pesan Mendikbud pada Hardiknas 2016, "Memastikan setiap manusia Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang bermutu sepanjang hidupnya sama dengan memastikan kejayaan dan keberlangsungan bangsa."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar