Bela Negara dalam Sisdiknas
Syarifudin Tippe ;
Guru Besar Manajemen Strategis,
Rektor pertama Universitas
Pertahanan
|
MEDIA INDONESIA,
17 Mei 2016
"Setiap anak lahir sebagai pembelajar, tumbuh sebagai
pembelajar, lalu saat ia mulai melangkah masuk ke sekolah, ia mulai
berhadapan dengan struktur dan berbagai peraturan sebagai bagian dari sebuah
model masyarakat mini. Struktur dan berbagai peraturan yang ia hadapi ini
dapat mengarahkan mereka terus menjadi pembelajar, atau justru sebaliknya,
meredupkan hasrat belajar. Adalah tugas kita semua untuk memastikan binar
keingintahuan di mata setiap anak Indonesia, serta api semangat berkarya di
dalam dirinya tidak akan padam. Adalah tugas kita memberikan ruang bagi
anak-anak Indonesia untuk berkontribusi, memajukan diri, memajukan
masyarakatnya, memajukan kebudayaan bangsanya." (Anies Baswedan, Hari Pendidikan Nasional 2016)
PADA hakikatnya,
pendidikan ialah proses memanusiakan manusia. Secara epistimologi, karakter
pendidikan punya fungsi pemersatu, penyamaan kesempatan, dan pembangunan
potensi diri setiap manusia Indonesia. Pendidikan diharapkan dapat memperkuat
keutuhan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, memberikan
kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam
pembangunan, serta memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan
potensi diri yang dimilikinya secara optimal. Artinya, fungsi pendidikan
tidak lagi sekadar proses kemanusiaan, tetapi juga menjadi subjek pembangunan
secara utuh.
Dalam kaitannya dengan
pendidikan, bela negara sering dikaitkan dengan pendidikan kewarganegaraan
atau civic education. PK memiliki
peran yang strategis dalam mempersiapkan warga negara yang cerdas,
bertanggung jawab, dan berkeadaban. Sayangnya, proses pengintegrasian bela
negara ke sistem pendidikan nasional (sisdiknas) belum dapat memberikan
kejelasan makna bela negara sebagai nilai, semakna pada saat kelahirannya
sampai dengan mengkristal menjadi nilai yang dapat merefleksikan patriotisme.
Di Indonesia, pendidikan kewarganegaraan berbasis Pancasila.
Mansoer (2005)
menjelaskan pendidikan merupakan sintesis antara civic education, democracy education, dan citizenship education yang berlandaskan filsafat Pancasila, serta
mengandung muatan identitas nasional Indonesia, serta muatan makna pendidikan
pendahuluan bela negara. Menurut Kaelan (2010), dengan pendidikan
kewarganegaraan, diharapkan intelektual Indonesia memiliki dasar kepribadian
sebagai warga negara yang demokratis, religius, berkemanusiaan, dan
berkeadaban.
Pancasila vs bela negara
Bela negara berawal
dari nilai pembelaan terhadap kepentingan perorangan, kemudian berkembang
menjadi pembelaan terhadap kepentingan kelompok, dan seterusnya kepentingan
masyarakat dan kepentingan negara. Dengan demikian, bela negara termasuk
nilai dasar yang bersifat universal karena setiap negara dipastikan memiliki
kepentingan yang harus dibela.
Bagi bangsa Indonesia,
bela negara lahir bersamaan dengan lahirnya bangsa ini pada 1928. Oleh karena
itu, bela negara merupakan kristalisasi nilai-nilai kebangsaan selama 17
tahun, dari 1928 hingga 1945. Puncak proses kristalisasi nilai itu ialah pada
saat proklamasi kemerdekaan bangsa, 17 Agustus 1945.
Proses kristalisasi
nilai itu juga disebut sebagai nilai patriotisme, yang terdiri atas
nilai-nilai pantang menyerah, rela berkorban, dan tanpa pamrih (Pusaka,
1972). Dalam pengurutan proses kristalisasi nilai-nilai kebangsaan, bela
negara sejatinya lahir bersama lahirnya bangsa Indonesia, baru kemudian
Pancasila lahir bersamaan dengan lahirnya negara Indonesia. Ini berarti,
Pancasila tidak sama dengan bela negara. Namun, Pancasila dan bela negara
ialah dua nilai yang saling menguatkan.
Berdasarkan UUD 1945
amendemen ke-4 Pasal 27, ayat (3), bela negara merupakan salah satu konsep
partisipasi rakyat, yakni terbuka untuk seluruh warga negara Indonesia. Lebih
lanjut lagi, UU RI Nomor 20 Tahun 1982 Pasal 18 ayat (1) menjelaskan hak dan
kewajiban warga negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya bela
negara diselenggarakan melalui pendidikan pendahuluan bela negara (PPBN)
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sisdiknas. Sementara itu, Pasal 19
ayat (2), menjelaskan PPBN wajib diikuti setiap warga negara dan dilaksanakan
secara bertahap, yaitu; a) tahap awal, pada pendidikan tingkat dasar sampai
menengah dan pada gerakan pramuka; b) Tahap lanjutan, dalam bentuk pendidikan
kewiraan pada tingkat pendidikan tinggi.
Kemudian, pada 1 Maret
1988, Menhan RI mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE/007/M/III/1988 tentang Pokok-Pokok
Upaya Penyelenggaraan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara-PPBN (Ditjenpothan,
2015) yang berisi desain rumusan lima unsur dasar bela negara, yaitu; 1)
cinta Tanah Air; 2) kesadaran berbangsa dan bernegara; 3) yakin akan
Pancasila sebagai ideologi negara; 4) rela berkorban untuk bangsa dan negara,
dan; 5) memiliki kemampuan awal bela negara.
Perbedaan penafsiran
Aspek pengintegrasian
memberikan kesan bahwa institusi pendidikan dan institusi pertahanan kini
seolah berjalan sendiri-sendiri, seolah membenarkan ego sektoral ialah wajah
stereotip birokrasi Indonesia. Kiranya tidaklah mengherankan jika publik
kemudian memberikan penafsiran dikotomis terhadap makna bela negara, yaitu
dari sisi pendidikan dan dari sisi pertahanan. Dari sisi pendidikan, orang
seolah menafsirkan bela negara hanya sebatas pendidikan kewiraan, pendidikan
pendahuluan bela negara, dan pendidikan kewarganegaraan.
Dari sisi pertahanan,
bela negara sering kali dimaknai sebagai aktivitas kemiliteran, seperti
baris-berbaris dan angkat senjata, yang dibarengi dengan simbol-simbol baju
loreng. Sementara itu, dari sisi pendidikan, terkesan ada ketidakjelasan
pengintegrasian bela negara sebagai nilai ke dalam sisdiknas. Padahal,
pengaruh atau ancaman internal terhadap bangsa Indonesia di bidang pendidikan
ialah pada sumber daya manusia. Jika keluaran pendidikan tinggi tidak atau
kurang memiliki karakter bela negara, kapasitas nasionalisme dan
patriotismenya bisa dibilang diragukan. Kualitas SDM yang demikian tentu
merupakan sasaran empuk bagi ancaman eksternal, seperti ancaman hibrida.
Kombinasi antara cyber attack dengan instabilitas ekonomi yang dilancarkan
negara tertentu, misalnya, sangat mungkin terjadi, dan kita tak mampu berbuat
apa pun, karena SDM kita tidak siap.
Jika SDM punya
kapasitas intelektual yang tinggi tanpa kepribadian berkarakter bela negara
yang melandasinya, SDM tersebut hanya akan menjadikan bangsa ini sebagai
boneka bangsa lain. Lebih jauh lagi, Keputusan Dirjen Dikti No
43/Dikti/Kep/2006, pendidikan kewarganegaraan (baca: bela negara) meliputi
pokok bahasan: 1) filsafat pancasila; 2) identitas nasional; 3) negara dan
konstitusi; 4) demokrasi Indonesia; 5) rule of law dan HAM; 6) hak dan
kewajiban warga negara serta negara; 7) geopolitik, dan 8) geostrategi
Indonesia.
Perlu Pengintegrasian
Proses pembelajaran
yang ideal ialah yang aktif dan berkekuatan, demokratis dan humanistis, serta
menyenangkan, karena bahan ajar, kegiatan, media, dan sumber pun mampu
mengundang, melibatkan, dan memberdayakan seluruh potensi diri serta
mendorong siswa didik untuk menjadi independent
and self-regulated learners. Prinsip student
today, leader tomorrow, yaitu harus terus belajar meningkatkan kualitas
diri sehingga kelak dapat menjadi pemimpin yang baik, sangat relevan
diterapkan pada pembelajaran PKn.
Pada akhirnya,
integrasi dan koordinasi antara Kementerian Pertahanan dengan Kementerian
Ristek dan Dikti dalam hal penyusunan kurikulum, program, dan pembelajaran
perlu dibangun. Evaluasi secara berlanjut dan berkesinambungan pun perlu
dilakukan demi kejayaan dan keberlangsungan bangsa. Di masa depan, program
Bela Negara harus terintegrasi dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi pada
tingkat lokal untuk menunjang kurikulum utama tingkat nasional yang selama
ini hanya dikenal melalui PKn. Pengaplikasian materi PPBN dalam proses
belajar mengajar sebagai bagian dari PKn, misalnya, harus menggunakan model
pembelajaran yang berfokus pada siswa didik.
Dalam model
pembelajaran ini, siswa didik akan dituntut aktif dalam mempelajari dan
mencari sumber yang terkait bela negara, termasuk kajian komparasi dengan
melihat model negara lain, seperti pesan Mendikbud pada Hardiknas 2016,
"Memastikan setiap manusia Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang
bermutu sepanjang hidupnya sama dengan memastikan kejayaan dan
keberlangsungan bangsa." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar