Hardiknas dan Reklamasi
Iman Sugema ;
Ekonom IPB
|
REPUBLIKA, 02
Mei 2016
Mumpung hari ini
adalah Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas, kita akan membahas mengenai
betapa pentingnya para pemimpin untuk menunjukkan kecerdasan dan keterdidikannya
dalam proses pembangunan. Pembangunan di Jakarta pada umumnya dan reklamasi
17 pulau pada khususnya, akhir-akhir ini menyita ruang publik dengan berbagai
kegaduhannya. Ada beberapa catatan yang akan ditunjukkan dalam tulisan ini
tentang betapa pejabat publik terlalu sering mempermalukan diri mereka
sendiri sebagai insan yang kurang terdidik. Berikut adalah catatannya.
Pertama, Hardiknas
tentunya tidak memiliki kaitan kosakata dengan hardik, caci maki, atau sumpah
serapah. Kita memperingati Hardiknas setiap 2 Mei karena kita sadar bahwa
pendidikan sangat mengedepankan akal sehat. Bahkan, pendidikan merupakan
sumber kewarasan berpikir dan berlogika. Pendidikan membuat kita lebih cerdas
dan beradab. Kita memaknai pendidikan tidak hanya sebagai pendidikan formal
di sekolah, tetapi juga lebih luas lagi, yaitu dalam konteks peningkatan
kualitas sumber daya insani. Termasuk di dalamnya adalah pendidikan di
lingkungan terkecil, yaitu keluarga.
Termasuk juga, proses pembentukan karakter bangsa dan proses
kristalisasi nilai-nilai luhur kebangsaan.
Di sisi lain, proses
pembangunan di Jakarta terlalu sering dinodai dengan hardik, pemaksaan
kehendak, dan ketidakberadaban. Teman-teman saya yang ahli sejarah pernah
bilang bahwa kegaduhan di Jakarta barang kali merupakan reinkarnasi
ketidakberadaban Genghis Khan, yaitu pendekatan tangan besi merupakan
instrumen yang dikedepankan. Dalam konteks seperti ini adalah berbahaya bagi
iklim demokrasi untuk memberi ruang bagi pemimpin seperti ini.
Hardik yang terungkap
juga terlalu sering mempermalukan akal sehat. Bagaimana mungkin kekuasaan
gubernur mampu melangkahi kekuatan hukum dan undang-undang. Dalam kasus
reklamasi, pada akhirnya terbukti keputusan gubernur tanpa dilandasi tertib
administrasi atau good public governance karena tidak disesuaikan dengan
undang-undang yang terbaru. Dalam
kasus Bidara Cina, bagaimana mungkin seorang gubernur memutuskan untuk
meneruskan penggusuran yang menentang keputusan pengadilan. Dalam kasus
serapan anggaran, bagaimana mungkin seorang gubernur mengatakan ada kesalahan
teknis di Kemendagri, padahal kesimpulan analisis oleh kementerian tersebut
sepenuhnya dilandasi oleh data yang dikirim Pemda DKI.
Kedua, pendidikan
merupakan upaya jangka panjang yang sistematis untuk menaikkan
"kelas" dari mereka yang tertindas.
Golongan terpinggirkan hanya bisa diangkat derajatnya melalui
pemberdayaan dan peningkatan kapasitas mereka sendiri. Tanpa pendidikan, mereka akan selalu
terpinggirkan. Jadi, pendidikan akan memungkinkan mereka untuk tidak lagi
berada di pinggiran. Tidak lagi hanya menjadi penonton dari kemajuan
pembangunan.
Reklamasi dan
penggusuran kalau tidak dilakukan secara hati-hati, bisa diartikan sebagai
proses pemaksaan kehendak dan peminggiran kaum marginal atas nama pembangunan.
Kalau cara-cara yang dilakukan adalah seperti yang terjadi di Luar Batang dan
reklamasi di Pulau G, dalam 10 tahun ke depan hampir bisa dipastikan daerah
Muara akan kehilangan kampung nelayan. Pertanyaannya, apakah Jakarta yang
maju dan indah harus diciptakan dengan cara mencerabut hak hidup para nelayan
dan pengusaha ikan di pantai utara Jakarta?
Salah seorang
konglomerat pernah mengungkapkan keheranannya atas langkah yang dilakukan
Pemda DKI dengan proyek reklamasi. Dia mengatakan, kalau saja salah satu
pulau itu dijadikan kawasan terpadu perikanan yang modern dan bersih,
resistensi masyarakat akan nihil. Kita bangun rumah susun untuk nelayan,
pasar ikan yang modern, dan dilengkapi cold storage, pusat pengolahan ikan,
dan pusat wisata kuliner seafood yang higienis. Keluarga nelayan akan
mendapat tambahan pendapatan dari aktivitas pengolahan ikan dan pariwisata.
Bukan hanya itu, Jakarta akan menjelma kembali sebagai salah satu pusat
distribusi ikan yang melayani ekspor dan provinsi di sekitarnya. Kapal-kapal
nelayan yang datang ke situ pun akan berasal dari wilayah lainnya, tidak
hanya Jakarta.
Kata dia, itu harus
dilakukan dengan secepat mungkin sebelum gedung-gedung tinggi dan rumah mewah
didirikan di pulau reklamasi lainnya. Uangnya dari mana? APBN dan APBD yang
nanti akan balik dari hasil kontribusi para pengembang di 16 pulau lainnya.
Wow, saya angkat topi untuk sang pengusaha terdidik dan punya hati yang
bening.
Memang semuanya
kembali pada kesehatan nalar dan hati. Kalau seperti itu, pembangunan
tidaklah harus berarti penggusuran dan pengusiran. Pembangunan pada esensinya
adalah peningkatan kapasitas dan pemberdayaan kaum marginal yang
terpinggirkan. Meletakkan yang di pinggir menjadi ke tengah, menjadi pusat
perhatian intervensi pembangunan.
Bukankah itu esensi nawacita Pak Jokowi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar