Menanti Hari Pendidikan Inklusif
Arif Maftuhin ; Peneliti
di Pusat Layanan Difabel, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
KOMPAS, 02 Mei
2016
Apa arti merayakan Hari Pendidikan
Nasional apabila masih ada diskriminasi di dunia pendidikan? Ini kisah teman saya di Tasikmalaya. Di SD
swasta yang dikelola keluarga besarnya, seorang siswa tunanetra menemukan
"rumah"-nya. Anak itu pernah belajar di satu sekolah luar biasa
(SLB), tetapi tak bertahan lama. Lalu ia pindah ke SD lain dan tak kerasan
juga. Akhirnya ia diterima dan nyaman belajar di sekolah tersebut.
Sayangnya, kehadiran siswa
tunanetra di sekolah membuat resah sejumlah pihak. Sebagian berpendapat bahwa
siswa tunanetra tak boleh sekolah bersama anak-anak "normal".
Sebagian lagi mengatakan, kehadiran tunanetra dapat merusak reputasi sekolah:
"Tunanetra saja diterima, pasti sekolahnya tak selektif." Lebih
mengejutkan lagi, ada pihak terkait di Tasikmalaya yang mengatakan bahwa
sekolah itu telah melanggar peraturan.
Pendidikan
eksklusif
Sampai kisah itu diceritakan
kepada saya, beberapa waktu lalu, yayasan bersikukuh mendidik tunanetra
semata-mata demi rasa kemanusiaan. Mereka lega sekali ketika diyakinkan bahwa
bercampurnya siswa tunanetra di sekolah justru sesuai Pasal 24 Convention on the Rights of People with
Disability yang telah diratifikasi dalam UU No 19/2011 tentang Pengesahan
Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas.
Sikap menolak siswa difabel itu
dipengaruhi pandangan lama tentang disabilitas. Dulu, orang melihat sumber masalah
disabilitas pada diri si difabel.
Misalnya, seorang tunanetra
tidak dapat membaca buku karena ia tidak dapat melihat; bukan karena faktanya
ia tak diberi buku Braille.
Dalam hal pendidikan, implikasi
pandangan yang melihat difabel sebagai sumber masalah melahirkan pendekatan
eksklusif-rehabilitatif dalam bentuk penyelenggaraan SLB. Para tunanetra dikumpulkan satu kelas dengan untuk belajar
apa-apa yang dianggap "normal" dipelajari tunanetra. Tunarungu
berkumpul dengan tunarungu untuk mempelajari apa yang dianggap
"normal" dipelajari tunarungu. Karena mereka "cacat",
tugas lembaga pendidikan adalah merehabilitasi mereka.
Pendekatan eksklusif juga melahirkan disiplin ilmu eksklusif.
Dengan melihat difabel sebagai sumber masalah, lahirlah asumsi-asumsi tentang
ketakmampuan difabel. Sejumlah program studi menetapkan bahwa disiplin ilmu
mereka tak dapat dikuasai oleh difabel. Sampai tahun lalu, ada banyak program
studi eksklusif seperti ini di Indonesia.
Mereka berpandangan, misalnya,
ketunanetraan dapat jadi alasan menolak calon mahasiswa difabel. Kalau
program studi teknik elektro mungkin masuk akal menolak tunanetra; tetapi
bagaimana dengan prodi ilmu sosial? Dapatkah prodi psikologi menolak
tunanetra hanya karena salah satu alat tes psikologi menggunakan peraga visual?
Perspektif pendidikan
eksklusif-rehabilitatif berdampak pada
pandangan yang diskriminatif. Karena pendidikan eksklusif menolak difabel di
program studi mereka, pasar tenaga kerja turut menolak profesi tertentu untuk
kaum difabel. Tunanetra tak mungkin menjadi dokter. Tunanetra tidak mungkin
menjadi fotografer. Tunanetra tak mungkin menjadi psikolog.
Pendidikan
inklusif
Faktanya, apa yang disebut normal
itu tidak selalu mustahil. Di India, fotografer Bhavesh Patel menjadi salah
satu buktinya. Talenta fotografinya menarik minat perusahaan sabun mandi
ternama. Ia dikontrak untuk sebuah proyek pembuatan gambar iklan dengan model
bintang papan atas Bollywood, Katrina Kaif.
Di Amerika Serikat ada David
Hartman, tunanetra pertama yang berhasil menyelesaikan kuliah di fakultas
kedokteran. Dengan bantuan tulus para dosen dan teman relawan yang
mengalihsuarakan buku kedokteran dalam pita rekaman, Hartman mampu lulus
berbagai ujian, termasuk kompetensi bedah-hal paling mustahil yang dapat dijadikan
argumen menolak tunanetra mendaftar di fakultas kedokteran.
Masih ada banyak kasus lain yang
tak dapat dikisahkan di sini untuk membuktikan adanya kemungkinan bidang ilmu
yang dapat dikuasai para difabel. Terpenting, kisah mereka disatukan satu benang
merah: pendidikan yang inklusif. Pendidikan inklusif adalah pendidikan umum
yang memberi kesempatan dan dukungan fasilitas kepada para difabel belajar
bersama-sama dengan siswa/mahasiswa nirdifabel.
Berbeda dengan pendekatan
eksklusif-rehabilitatif yang menempatkan difabel sebagai masalah, pendidikan
inklusif mengalihkan fokus masalah pendidikan pada lembaga dan lingkungan
belajarnya.
Dalam pendekatan inklusif,
kebutaan bukan masalah dalam pendidikan. Masalahnya ada pada bahan ajar, buku
bacaan, metode pembelajaran, kurikulum, dan guru yang mengabaikan kebutuhan tunanetra dalam
mengakses pengetahuan.
Pendidikan inklusif, karena itu,
adalah pintu kesetaraan pendidikan
bagi difabel. Kesetaraan pendidikan menjadi modal bagi kesetaraan sosial.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa pendidikan seseorang berkorelasi
signifikan dengan tingkat kesejahteraannya. Jika pintu pendidikan inklusif
tidak dibuka bagi difabel, upaya pemerintah menyejahterakan difabel akan
sulit tercapai.
Pemerintah pusat dan sejumlah
daerah memang sudah memulai usaha pengembangan pendidikan inklusif, tetapi
kasus-kasus semisal di Tasikmalaya itu masih sering terjadi di tempat lain.
Tidak hanya di tingkat pendidikan dasar,
terlebih lagi di pendidikan tinggi.
Hari Pendidikan tahun ini
kebetulan bersamaan dengan disahkannya UU No 8/2016 tentang Penyandang
Disabilitas yang banyak mengadopsi ide-ide pendidikan inklusif. Dua momentum
yang tepat untuk mewujudkan pendidikan inklusif bagi para difabel di
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar