Ekonomi Baru dan Reformulasi Strategi
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 19
Mei 2016
Anak-anak muda yang
terkesima dengan fenomena sharing economy masih bingung dengan black campaign
terhadap istilah ini hanya gara-gara ada pelaku bisnis yang nasibnya
terganggu atau mungkin pihak lain yang kurang nyaman.
Tapi harap maklum,
segala praktik yang baru memang begitu. Ada pro dan ada kontranya. Wajar
saja. Sudah lama para ahli mengingatkan bahwa kita tengah memasuki era new economy. Kalau dulu ada classical dan neoclassical, kini ada new
economy. Celakanya, teori-teori tentang keadaan di dunia ekonomi baru itu
lebih banyak dikembangkan orang-orang micro dalam ranah strategic management, sehingga wajar kalau masih banyak yang
mengorek-ngorek apakah ini socialism,
capitalism, atau new capitalism.
Padahal jelas sekali,
analisis ekonomi lama didasarkan owning
economy, yang setelah dipetakan para pelaku bisnis dunia baru
mengakibatkan banyak idle (aset
yang menganggur), yang baru akan menjadi produktif kalau mereka
berkolaborasi. Nah, kolaborasi itu mereka beri nama sharing , yaitu sharing resources. Ini jelas jadi
membingungkan mereka yang main asal menerjemahkan dan merasa janggal kalau di
Indonesiakan menjadi ”berbagi”.
Jangankan paradigmanya
atau ideologinya, basis data analisisnya saja sudah berbeda. Old economy menggunakan time series
data, makanya ada istilah lag. Sedangkan new
economy sudah memakai big data
analytics, real time (bukan time
series). Maka pola supply-demand-nya
tak bisa lagi dibuat kebijakan dengan batas harga atas bawah yang berlaku
sekian lama (katakan setahun atau enam bulan). Wong harga dan biaya dalam
hitungan jam saja sudah berubah. Apalagi harian.
Kalau dibuat rigid
maka yang terjadi inefisiensi itu menjadi high cost , pengangguran. Tidak
jadi daging. Berpotensi tidak menyejahterakan. Di banyak negara, fenomena ini
terus bergerak namun juga menghadapi tantangan seperti di sini. Namun, saya
yakin semua tantangan itu hanya akan menjadi batu pijakan untuk membuat
bisnis ini menjadi semakin matang dan berkembang. Pada masanya, dan tidak
akan lama lagi. Mengapa?
Sederhana saja.
Masyarakat kita menerima kehadiran bisnis-bisnis baru ini dengan tangan
terbuka. Juga, bukankah memang begitu lazimnya bisnis. Bukan proteksi yang
membuat suatu bisnis maju dan berkembang, melainkan kompetisi dan tantangan.
Fenomena semacam itu, dan kemungkinan yang terbuka di masa mendatang, membuat
saya terus memikirkannya.
Tapi semua itu ada
latar belakangnya. Maka kali ini saya ingin mengajak Anda memahaminya dari
perspektif itu. Semoga tulisan ini, yang untuk ke sekian kali saya ulas, bisa
memberi kontribusi terhadap pemahaman kita akan konsep sharing economy yang, mohon maaf, saya lihat masih sulit dicerna
oleh sebagian menteri kita.
Beranjak dari Krisis
Baiklah saya ajak kita
semua untuk mundur sedikit ke belakang. Kita akan melihat mengapa sharing economy tumbuh dan akhirnya
berkembang di negara- negara maju. Kita mengenang masa pada 2008-2009. Itu
tahun penting sebab pada tahun-tahun itulah ekonomi kolaborasi mulai
berkembang, terutama di negaranegara maju seperti Amerika Serikat (AS). Anda
masih ingat apa yang terjadi tahun itu? Betul, ekonomi dunia terperangkap
dalam krisis finansial yang dipicu oleh skandal subprime mortgage di AS.
Skandal itu membuat
sejumlah perusahaan AS bangkrut dan menyeret ekonomi Negeri Paman Sam itu
masuk dalam krisis. Celakanya, AS menguasai 40% perekonomian dunia. Maka
krisis di AS pun berimbas ke mana-mana, termasuk mengancam perekonomian
negara kita. Perlambatan ekonomi terjadi di banyak negara, bahkan beberapa
malah minus pertumbuhannya. Pengangguran meningkat.
Di AS, juga di Eropa.
Kita pun terkena imbasnya, meski tak separah negara-negara maju. Di tengah
kondisi yang demikian, muncul bisnis-bisnis baru yang men-disruption bisnis-bisnis lama dan
sekaligus menjadi jawaban atas permasalahan yang terjadi saat itu. Ekonomi
sedang krisis.
Pengangguran di mana-mana.
Mengapa harga-harga masih begitu mahal? Chris Anderson, penulis buku Makers: The New Industrial Revolution
(2012), menulis begini, ”If the past
decade has been about finding new innovation and collaboration models on the
web, the next decade will be about applying them to the real world.”
Bisnis-bisnis baru ini memang mengandalkan teknologi sebagai enabler dan membuatnya
menjadi sangat efisien. Apa saja teknologi yang memainkan peran penting di
sini. Banyak sekali.
Misalnya, internet
yang kian mengglobal dan memungkinkan seluruh warga dunia terkoneksi. Lalu,
peranti gadget kita yang kian powerful
dan mobile. Dulu salah satu masalah
serius dalam bisnis di dunia maya adalah soal pembayaran. Ini membuat pasar
maya sulit berkembang. Beruntung kini kita sudah memiliki sejumlah sistem
pembayaran di pasar maya. Misalnya, Paypal. Salah satu fenomena yang memicu
berkembangnya bisnis berbagi adalah social
network.
Contohnya Facebook.
Sampai dengan Juni 2014, pengguna aktifnya sudah mencapai 1,32 miliar atau
hampir 20% dari seluruh penduduk dunia. Lalu ada Google+ yang jumlah
penggunanya bahkan sudah mencapai 1,6 miliar, Twitter dengan 645,7 juta, atau
Instagram 415 juta. Di luar itu masih ada beberapa media sosial lainnya,
seperti LinkedIn, Pinterest, Path, atau SnapChat.
Altruisme
Pada akhirnya adalah man behind the gun. Siapa mereka?
Mereka ini anak-anak muda yang peduli dengan lingkungan dan sesama, senang
berbagi dan suka menolong orang lain. Auguste Comte menyebut perilaku manusia
seperti ini dengan istilah altruisme, yakni perilaku yang ingin membuat
dirinya bermanfaat bagi sesamanya, bahkan kalau perlu sampai mengorbankan
dirinya.
CEO Google Eric
Schmidt mengidentifikasi mereka: ”Ini
generasi cerdas. Mereka lebih cepat, lebih global, banyak akal, dan
berpendidikan lebih baik. Mereka saling terhubung sejak menjelang lahir
melalui ponsel, chatting, dan jaringan sosial. Mereka saling peduli lebih
dari yang pernah kita bayangkan.” Negara kita punya sejumlah kondisi yang
kurang lebih sama dengan negara-negara maju kala mereka menghadapi krisis
ekonomi. Kita memang tidak berada dalam kondisi krisis ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi
kita pada tahun 2016 ditargetkan mencapai 5,3%. Namun, pengangguran di negara
kita masih bertebaran di mana-mana. Ini jelas bukan masalah pemerintah,
melainkan kita semua. Bicara teknologi, ini datanya. Jumlah pengguna internet
di negara kita pada tahun 2014 diperkirakan lebih dari 93,4 juta. Kini
jumlahnya pasti sudah bertambah. Lalu, pengguna Facebook pada 2014
diperkirakan sudah 69 juta. Kini pasti jumlahnya juga sudah bertambah.
Kemudian, pengguna Twitter sudah menembus 50 juta pengguna.
Sementara pengguna
Path dan LinkedIn masing-masing sudah di atas 4 juta. Lagi, jumlah mereka
bakal terus bertambah. Jadi dari sisi social
network, kita juga sudah siap melakukan tugas sharing dan berkolaborasi.
Lalu, yang terakhir dan membuat saya sangat bangga, kita punya pasokan
generasi altruisme . Mereka bukan hanya generasi yang mau berbagi dan suka
menolong. Lebih dari itu, mereka adalah generasi yang punya mimpi-mimpi besar
tentang negara ini. Mereka bukan generasi yang hanya menanti datangnya perubahan.
Mereka bertindak.
Bahwa langkah yang mereka lakukan menciptakan disruption, bagi saya, itu
konsekuensi logis. Sebab sebagai pendatang baru dalam dunia bisnis, perilaku
mereka memang harus begitu. Mereka harus men-disruption bisnis-bisnis yang lama. Kalau hanya me too, mereka tak ada bedanya dengan
pemain yang sudah existing.
Hasilnya, mereka jelas tak akan mendapat tempat di pasar. Maka saya tak heran
kalau perilaku mereka seperti itu.
Kondisi inilah yang,
menurut saya, perlu kita pahami termasuk oleh para menteri di Kabinet Kerja
pemerintahan Jokowi-JK. Di Rumah Perubahan, teori Disruption dan reformulasi strateginya tengah menjadi riset yang
menarik perhatian. Kami sendiri sudah menyiapkan sejumlah cara untuk
mengajarkan strategi baru ini, yaitu bagaimana para incumbents membangun kekuatan baru dalam era disruptions.
Kami juga menyiapkan tools untuk membantu para aparatur
sipil negaranya agar siap melayani publik dengan strategi jitu. Semoga
membantu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar