Sengkarut Timur Tengah
A Ilyas Ismail ;
Dosen UIN Syarif Hidayatullah;
Dekan FAI UIA Jakarta
|
REPUBLIKA, 17
Mei 2016
Sejak meletusnya
revolusi Arab atau yang lebih dikenal dengan terma "Arab Spring"
Desember 2010 dan awal 2011, dunia Arab terus bergolak hingga hari ini.
Dibanding reformasi di Indonesia tahun 1998, Arab Spring boleh dibilang tidak
berjalan mulus, bahkan gagal, serta diambang kebangkrutan.
Arab Spring menarik
untuk dicermati, selain karena terjadi secara tiba-tiba, revolusi ini diseru
bukan dari masjid, tetapi dari pasar, bukan oleh aktor intelektual dan kaum
profesional dari kelas menenagah atas (upper
middle class) seperti umum terjadi, tetapi oleh kaum muda yang sebagian
besar jobless. Bassam Tibi, intelektual asal Suriah yang kini menetap di
Jerman, malah menyebut mereka sebagai "leaderless young group." (Bassam Tibi, The Sharia State: Arab Spring
and Democratization, 2014).
Revolusi yang semula
diharapkan membawa angin segar bagi tumbuhnya demokrasi dan kehidupan politik
yang lebih beradab, kini berubah justru menjadi konflik dan perang saudara (civil war) yang berkepanjangan, bak
benang kusut yang tak bisa diurai ujung pangkalnya.
Mc Millan (2015)
menyebut konflik di kawasan MEANA (Middle
East And Nourth Africa) ini tak ubahnya labirin, goa hantu, yang selain
menakutkan, juga membuat orang-orang yang terjebak di dalamnya, tak mudah
menemukan titik terang atau jalan keluar. (Mc Millan, From the First World War to the Arab Spring: 2015).
Sengkarut konflik
politik di Timur Tengah pasca Arab spring, pada hemat penulis, ikut
diperparah oleh tiga faktor. Pertama, munculnya Negara Islam Irak dan Suriah
(NIIS) pada 2013. NIIS memiliki
kekuatan-kekuatannya sendiri, selain kelemahan-kelemahannya. Di antaranya,
(1). NIIS memiliki "tanah air" di sebagian wilayah Irak dan Suriah
yang dikuasai. (2). NIIS memiliki kekayaan yang melimpah dari ladang-ladang
minyak dan sebagian dari bantuan negara-negara Teluk yang kaya, sehingga
tidak sulit bagi NIIS untuk merekrut anggota baru dan memperkuat
persenjataan, dan (3), dan ini yang juga penting, NIIS tampil pada saat yang
tepat (the truth moment), di kala
negara-negara Arab sedang gonjang-ganjing dan sedang mencari bentuk, akibat
terpaan angin kencang Arab Spring.
Kedua, adanya
intervensi dan masuknya kekuatan-kekuatan asing di Timur Tengah secara umum
dan Suriah secara khusus. Dalam konflik Suriah saat ini, intervensi asing ini
terasa makin kuat dengan spektrum yang semakin luas pula baik dilihat dari
geopolitik, geo-strategi, maupun geo-ekonomi. Secara geopolitik, konflik
Suriah tidak mudah diurai, lantaran terkait langsung dengan persoalan
rivalitas Suni-Syiah di satu pihak, dan rivalitas Barat dengan RUC (Rusia dan
China) di lain pihak. Di sini kita menyaksikan, berbagai kekuatan eksternal
saling berkompetisi untuk menanamkan pengaruhnya, mulai dari Liga Arab,
Amerika Serikat, Israel, Uni Eropa, Turki, Rusia, China, dan Iran dengan
agenda kepentingan nasionalnya masing-masing.
Ketiga, selain kedua
faktor di atas, perseteruan Arab Saudi dan Iran ikut memperburuk sengkarut
politik di Timteng saat ini. Arab Saudi, sebagai penjaga dan pengawal dua
Tanah Suci, Makkah dan Madinah, menempatkan dirinya sebagai imam
negeri-negeri Sunni. Sementara Iran, pasca suskes revolusi tahun 79,
menobatkan dirinya sebagai imam negeri Syiah. Seperti diketahui, Sunni
merupakan kelompok mayoritas, sedangkan Syiah merupakan kelompok minoritas.
Penguasa-penguasa Islam sepanjang sejarah berasal dari kelompok Sunni, baik
pada masa pemerintahan Bani Uamayyah, Bani Abbas, maupun pada Kerajaan Turki
Usmani. Kaum Syiah sempat berkuasa hanya pada pemerintahan Bani Fatmah
(Dinasti Fatimiyah) di Mesir antara tahun 909 - 1172 M, lalu di Iran modern
sekarang sejak 1979.
Namun, sejak
tumbangnya Saddam Hossen dan jatuhnya Baghdad ke-2, oleh Amerika dan sekutu, tahun 2004, kekuasaan
Syiah makin meluas. Tak hanya Iran, tetapi juga Irak, Suriah, dan Lebanon
(Selatan). Dikabarkan, untuk memperkuat pengaruhnya di Timteng, Iran
membentuk dan memperkuat poros baru, yaitu: Iran, Irak, Suriah dan Libanon.
Belum lagi, dengan tumbangnya Presiden Yaman, Abd-Rabbu Mansour Hadi, yang
didukung Arab Saudi, oleh milisi Syiah Houthi, maka tak lama lagi, Yaman akan
menjadi negeri Syiah. Bagi Arab Saudi, secara geopolitik, Yaman adalah
benteng terakhir pertahanan Sunni. Dari sisi ini, bisa dimengerti mengapa
Arab Saudi seperti panik, ngotot, dan membombardir milisi Syiah Houthi di
Yaman tanpa malu-malu.
Serangan Arab Saudi ke
Yaman, sesungguhnya dapat dimaknai sebagai "perang terbuka" antara
Arab Saudi dan Iran. Ini amat berbahaya, apalagi bila "provokasi"
Arab Saudi berhasil mempengaruhi dan menarik negeri-negeri Islam (Sunni) yang
lain. Ini akan menimbulkan polarisasi yang akan menyeret umat Islam saling
berhadap-hadapan satu dengan yang lain, dan akan memperbesar konflik
sektarian Sunni-Syiah yang berkepanjangan.
Rekonsiliasi dan demokratisasi
Lantas, strategi apa
yang dapat dipilih sebagai solusi alternatif menjawab sengkarut konflik
politik di Timteng? Beberapa pakar, seperti Pernille Rieker dan Henrik Thune
(2016), mengusulkan srategi damai melalui negosiasi dan dialog sebagai
resolusi konflik. Tokoh lain, yaitu
Carlo Panara dan Gary Wilson (2013), mengusulkan strategi rekonsiliasi
dengan cara berbagi peran antara militer dan kubu Islamis yang selama ini
terus baku hantam. Sementara tokoh-tokoh lain, termasuk John L Esposito dan
John Obert Voll, merekomendasi penyelesaian konflik politik di Timteng, pasca
Arab Spring, melaui strategi demokratisasi. (John L Esposito, Et. All, The Arab Spring: New Patterns for Democracy
and International Law, 2016).
Diakui, salah satu isu
penting yang mengemuka dari peristiwa Arab Spring adalah pertanyaan, apakah
Islam kompatibel dengan demokrasi? Apakah demokrasi dapat menjadi jalan
terbaik mengatasi sengkarut konflik politik di Timteng?
Sebagian pakar
meragukan dan pesimistis. Dalam banyak riset, disimpulkan, Islam justru
dipandang sebagai pendorong otoritarianisme Arab (Rothstein, 2011 dan Chenny,
2012). Kesimpulan yang sama dikemukakan oleh Kuru, 2014 dan Van Hoorn, 2013. Sejumlah 2/3 penduduk
Mesir memilih pemerintahan seperti Arab Saudi ketimbang Turki. Dari vedio
yang diputar NIIS, tidak semua pemuda Mesir yang terpelajar dan melek IT,
setuju dan pro demokrasi.
Namun, tidak sedikit
pula pakar yang bersikap optimistik. Sikap ini didasarkan pada kecenderungan
baru pada era globalisasi yang menyemburkan gerakan liberalisasi dan demokratisasi
saat ini. Inilah demokrasi gelombang keempat (the fourth wave democracy) yang diramalkan Huntington akan
menyapu seluruh negeri/bangsa di dunia, tak terkecuali negeri-negeri Arab dan
Afrika Utara.
Beberapa hasil studi
memperkuat pendapat yang optimistik ini. Penelitian yang dilakukan John L
Esposito terhadap enam negeri Islam, meliputi Algeria, Mesir, Sudan, Iran,
Pakistan, dan Malaysia, menunjukkan dengan jelas bahwa tidak ada kontradiksi
antara Islam dan demokrasi. Dengan kata lain, Islam sejalan dan kompatibel
dengan demokrasi. Studi lebih luas dan dalam dilakukan oleh Gallup terhadap
25 negeri Islam (2001 dan 2007) dengan kesimpulan yang sama: Islam sebangun
dengan demokrasi.
Mungkin fakta ini yang
menjadi dasar Zaid al-Elaimy, tokoh pro demokrasi asal Mesir, yang menyatakan
bahwa demokrasi di Timteng akan terus bergerak. Meski Arab Spring gagal dan
tak bisa mengakhiri otoritarianisme Arab, al-Elaimy menegaskan bahwa gerakan
pro demokrasi akan terus bergulir.
Disadari,
demokratisasi di tanah Arab ini tidak mudah, bahkan terjal dan berliku.
Menurut Ali Kadri (2016), demokratisasi Arab akan berhasil dengan
prasyarat-prasyarat khusus. Pertama, demokratisasi harus mampu menciptakan
institusi politik yang representative, accountable dan transparan, serta
menjamin hak-hak politik rakyat. Kedua, memastikan konsolidasi proses
demokrasi berjalan baik, serta mendorong pertumbuhan ekonomi, memperbesar
kesempatan kerja, dan mengurangi pengangguran. Ketiga, secara bertahap,
gerakan demokratisasi harus bisa mengeliminasi elemen-elemen otoritarianisme
yang selama ini menghadang demokratisasi.
Jika berbagai
persyaratan ini dipenuhi, Ali Kadri yakin, proses demokrasi di tanah Arab
akan bejalan smooth. Baginya, ini hanya soal waktu, bukan substansi. Semoga saja demikian! Wallahu a`lam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar