Sengkarut Regulasi Dosen
Masdar Hilmy ;
Guru Besar Ilmu-ilmu Sosial dan
Wakil Direktur Pascasarjana UIN
Sunan Ampel
|
KOMPAS, 19 Mei
2016
Mengharapkan kiprah
dosen di pentas akademik dunia dalam proses produksi ilmu pengetahuan dan teknologi,
pada konteks saat ini nyaris merupakan kemustahilan. Mengapa demikian?
Di antara banyak
faktor, keterbelengguan dosen terhadap berbagai hal ”remeh-temeh” yang
bersifat administratif-birokratis adalah penyebab utama. Saat ini banyak
regulasi dosen yang saling tumpang tindih, menegasikan, dan ujung-ujungnya
mengancam produktivitas dosen. Banyaknya regulasi itu ternyata tidak
ekuivalen dengan tingkat produktivitas ilmiah mereka.
Diketahui dari situs
olahan publikasi ilmiah Scimago (Scimagojr.com) yang mengukur tingkat
produktivitas ilmiah di 239 negara sejak 1996-2014, Indonesia menempati
peringkat ke-57, dengan jumlah publikasi 32.355. Di level ASEAN, Indonesia
masih kalah dibandingkan dengan Malaysia (peringkat ke-36 dengan jumlah
publikasi 153.378), Singapura (peringkat ke-32 dengan publikasi 192.942), dan
Thailand (peringkat ke-43 dengan publikasi 109.832).Indonesia hanya menang
dari Vietnam (peringkat ke-66), Laos (137), Kamboja (124), Myanmar (142),
Brunei (130), dan Timor- Leste (204).
Tidak memampukan
Berbagai regulasi yang
mengatur kinerja dosen pada awalnya mungkin dimaksudkan untuk meningkatkan
mutu dosen. Ada UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP No 37/2009
tentang Dosen, dan PP No 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Belum
lagi berbagai peraturan di bawah UU dan PP, seperti peraturan menteri dan
peraturan dirjen.
Meski demikian,
alih-alih dapat membuat dosen produktif dan inovatif, berbagai regulasi
tersebut justru menjadi semacam intervensi negara terhadap dosen yang
menyandera dan membelenggu kreativitas akademik.
Sebagai contoh,
ketentuan Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagaimana diatur dalam PP No 37/2009,
seperti ”kotak kecil” yang memaksa setiap dosen masuk ke dalam skema
tersebut, tanpa melihat keunggulan, talenta, dan keistimewaan masing-masing
individu.
Demikian juga
ketentuan jam kerja PNS berdasarkan PP No 53/2010 yang mengharuskan dosen
berstatus PNS masuk kantor sesuai jam kerja. Contoh-contoh itu mengerdilkan
dan tidak memiliki daya ungkit (enabler) untuk mendongkrak produktivitas
akademik dosen ke jenjang internasional.
Dalam konteks ini,
Azyumardi Azra (2016) dalam sebuah kolomnya menyebut fenomena kehidupan
akademik perguruan tinggi (PT) saat ini sebagai ”kolonialisasi dan
birokratisasi kampus”. Dia merasa PT sekarang berada di bawah cengkeraman
rezim administrasi-cum-birokrasi yang tidak memampukan seluruh potensi dosen.
Bahkan, dalam banyak
kesempatan, Azra menyatakan kekecewaannya terhadap intervensi negara untuk
mendisiplinkan dosen melalui mekanisme kehadiran pada jam kerja (finger print). Selama regulasi dosen
masih berputar-putar pada aspek birokratis dan administratif (administrative-heavy), jangan harap PT
kita dapat menjadi kampus-kampus kelas dunia.
Keluar dari kotak
Mengatasi situasi di
atas, saya menawarkan alternatif solusi sebagai berikut. Pertama, pemerintah
harus membuat adendum terhadap PP No 53/2010 tentang PNS agar dosen
dikecualikan dari PNS kebanyakan. Dosen tidak semestinya diperlakukan sama
dengan PNS lain, seperti pegawai pemerintah provinsi, kabupaten/ kota atau
petugas kesehatan yang jam kerjanya ditentukan secara kaku, ketat, dan
mekanistik.
Jika PNS lain memiliki
jam dan lokasi kerja yang sama dan konstan, tidak demikian halnya dengan
dosen. Kinerja dosen tidak ditentukan layanan akademik dalam bentuk mengajar
semata, melainkan meneliti, membimbing mahasiswa, dan menulis karya ilmiah.
Pada kenyataannya, dosen sering kali menyelesaikan tugas-tugas akademiknya di
luar jam kerja atau pada hari libur.
Kedua, mengeluarkan
dosen dari skema PNS dan digantikan dengan skema kontrak (tenureship), tetapi dengan hak-hak
yang sama dengan PNS, seperti jaminan kesehatan dan pensiun sebagaimana telah
diterapkan di banyak PT kelas dunia. Dengan skema semacam ini, dosen bisa
berkonsentrasi pada tugas-tugas akademiknya sebagai produsen ilmu pengetahuan
dan teknologi. Selain itu, skema semacam ini dapat menciptakan sense of competition di kalangan dosen
untuk melahirkan berbagai terobosan dan inovasi ilmiah.
Mobilitas horizontal
Skema semacam itu juga
memungkinkan dosen melakukan mobilitas horizontal di berbagai kampus yang
disukainya. Jika dosen merasa jenuh dengan kondisi kampus tempat dia
mengajar, dia bisa saja keluar dan melamar ke universitas lain yang
dipilihnya. Di tempat barunya dia bisa membangun impian karier akademis yang
lebih menjanjikan ketimbang tempat yang lama.
Berbeda dengan skema
tenureship, skema PNS cenderung menciptakan ”zona nyaman” yang justru
memalaskan dosen. Dalam kondisi semacam ini, mobilitas karier akademik dosen
cenderung statis dan pragmatis karena posisinya telah aman.
Ketiga, menghilangkan
aturan-aturan yang bersifat penyeragaman dan membuka seluas-luasnya
diversifikasi peran dosen di PT. Selama ini dosen tidak bisa bergerak leluasa
di luar kerangka tridarma (pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat). Ketentuan tridarma bersifat one-size-fits-all, berlaku sebagai
”kolam kecil” yang cenderung menyeragamkan bakat dan minat akademik dosen
yang seharusnya bervariasi.
Di PP No 37/2009,
misalnya. Besaran beban (SKS) pengajaran, penelitian, dan pengabdian bahkan
telah diseragamkan. Bagaimana mungkin seorang dosen dapat leluasa melakukan
tugas- tugas akademiknya dalam kerangka sempit yang begitu membelenggu?
Penyeragaman di atas
tidak ditemukan di PT berkelas dunia. Universitas cenderung mencari talenta-talenta
terbaik di bidangnya dengan membuka seluas-luasnya bagi masuknya sumber daya
unggul yang akan memberinya nilai tambah.
Di sejumlah PT
terkemuka di dunia, seseorang disebut sebagai staff member (baca: dosen) jika
dia menjalankan salah satu dari fungsi berikut ini: (1) mengajar saja; (2)
meneliti dan menulis saja; (3) mengajar dan menulis dengan komposisi tidak
seragam; (4) menjadi unsur pimpinan; dan (5) petugas proyek (project manager)
yang hanya mencarikan peluang kerja sama dan bisnis yang dapat menambah
pundi- pundi revenue universitas.
Otonomi vs intervensi
Di atas itu semua,
seluruh regulasi semestinya mengapresiasi segala bentuk keunikan dan kekhasan
pengembangan keilmuan di PT sebagai sebuah institusi yang otonom. Otonomi
kampus tidak boleh diintervensi kebijakan-kebijakan negara yang dapat
mengerdilkan prestasi akademik dosen. Otonomi kampus merupakan harga mati
sebagaimana telah diamanatkan UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi,
terutama pada Bagian Kedua, Paragraf 1, Pasal 8, Ayat (1), (2), dan (3).
Yang jadi persoalan
adalah bahwa berbagai kebijakan negara untuk ”mendisiplinkan” kehidupan
kampus—termasuk para dosennya—sering kali menjadi intervensi yang
kontraproduktif dalam proses produksi ilmu pengetahuan dan teknologi di PT.
Selama kebijakan
negara terhadap kehidupan kampus didorong oleh semangat ”mendisiplinkan”,
jangan harap PT kita akan berperan maksimal dalam menghasilkan berbagai
terobosan dan inovasi ilmiah bertaraf internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar