Prinsip Partisipatif pada Pembangunan Desa
Candra Fajri Ananda ; Dekan
dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
|
KORAN SINDO, 16
Mei 2016
Pemerintahan Presiden
Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menempatkan pembangunan
desa sebagai bagian terpenting dalam perwujudan cita-cita pembangunan.
Perkembangan dana desa
sangatlah signifikan, dari Rp20,7 triliun di tahun 2015 menjadi sekitar Rp47
triliun di 2016. Semangat Nawacita yang melandasi dasar pemerintahan
Jokowi-JK mengamanatkan pembangunan dari pinggiran, yang berarti dimulai dari
desa, perbatasan atau Indonesia bagian timur.
Dengan demikian,
pembangunan desa merupakan strategi utama pembangunan yang berorientasi pada
pemerataan dan ramah terhadap lapangan kerja yang selama ini agak
terpinggirkan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pertumbuhan ekonomi
kuartal I 2016 mencapai 4,9% atau di bawah target keseluruhan tahun ini yang
sebesar 5,3%.
Tentu saja dengan
pencairan anggaran di kementerian dan lembaga, termasuk dana desa,
pertumbuhan ekonomi di kuartal berikutnya akan bisa digenjot lagi dengan
harapan tingkat inflasi bisa dipertahankan di bawah 5%. Selain itu, angka
gini ratio kita masih relatif cukup besar. Sebagai angka penunjuk
ketimpangan, gini ratio yang besar menunjukkan ketimpangan jumlah orang
berpendapatan rendah dan tinggi yang makin melebar.
Oleh karena itu,
sangat diperlukan pendanaan pemerintah yang besar dan diperuntukkan bagi yang
lemah, dalam hal ini kelompok miskin, serta wilayah yang tertinggal, terutama
wilayah perdesaan.
Dari pertimbangan itu
bisa dikatakan betapa pentingnya dana desa untuk mendorong munculnya
usaha-usaha baru di desa, lapangan kerja baru untuk menampung masyarakat yang
telah melakukan kegiatan pertanian (off season), serta perbaikan
infrastruktur desa seperti jalan desa, jembatan, listrik desa serta irigasi.
Supply Side Economy?
Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan bagaimana pemerintah desa memegang
kekuasaan penuh untuk menentukan serta melaksanakan arah dan strategi
pembangunan desanya. Dana desa diberikan tentunya untuk mendukung semangat
tersebut. Beberapa pertanyaan muncul, terutama tentang kesiapan sumber daya
manusia (SDM) di desa, pengembangan kelembagaan serta perencanaan yang harus
dibangun berbasis partisipatif.
Kalau kita baca dan
analisis UU Nomor 6 Tahun 2014, pemerintahan desa mirip dengan pemerintahan
kota/kabupaten yang diperkecil areanya. Seluruh aktivitas pemerintahannya
sama, baik dalam hal melayani masyarakat maupun yang sifatnya menghasilkan
penerimaan desa. Sebagai daerah otonom, pemerintah desa boleh memanfaatkan
dana desa yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat
desa itu sendiri.
Untuk itu,
pemerintahan desa perlu memiliki APBDes, RPJMDes serta lembaga legislatif
yang bertugas mewakili preferensi masyarakat. Sebagaimana kita ketahui
bersama, pengadaan aparat desa sering kali dilakukan tanpa ada seleksi yang
ketat dan lebih banyak berasal dari lingkaran keluarga maupun turuntemurun
sehingga berdampak pada kualitas keluaran kebijakan yang dihasilkan, apakah
dalam bentuk perencanaan, regulasi yang dibuat maupun penganggarannya.
Sampai saat ini,
berdasarkan program tahun 2015, sebagian program yang dihasilkan oleh
pemerintahan desa lebih bersifat pada peningkatan produksi (supply side),
apakah di sektor pertanian, UKMK maupun sektor jasa. Jika dalam satu wilayah
ada 10 desa dan semuanya memproduksi barang maupun jasa yang sama, bisa
dibayangkan bagaimana produk mereka ini bisa meningkatkan pendapatan
pengusahanya serta diserap oleh pasar.
Untuk itu peran
pendamping sangat penting, khususnya untuk menggeser produk dari ekonomi desa
tersebut, dari prinsip memproduksi (supply side) bergeser pada permintaan
pasar (market driven). Untuk itu, pendamping perlu memiliki hubungan vertikal
yang baik dengan pemerintah kabupaten/ kota sekaligus memiliki hubungan yang
baik dengan sesama pendamping (horizontal) dari desa-desa sekitar.
Desa sebagai Wilayah
Ekonomi
Melihat fenomena
tersebut di atas, sangat diperlukan pendekatan pembangunan yang berbeda,
tidak seperti wilayah ekonomi kabupaten/kota yang sangat membutuhkan
investasi swasta dan mengagungkan pertumbuhan ekonomi. Desa sebagai wilayah
ekonomi, perlu memiliki tujuan dan pendekatan yang khas dan berorientasi pada
kebutuhan masyarakat desa.
UU Desa mengamanatkan
pentingnya partisipasi di dalam pendekatan perencanaan pembangunan desa.
Dalam level tertentu, pendekatan ini memerlukan kualitas SDM sebagai syarat
untuk menghasilkan dokumen perencanaan dan penganggaran yang baik. Dalam
praktiknya, untuk mendapatkan SDM yang baik di desa yang tersebar di
Indonesia, bisa dikatakan mustahil.
Untuk itu, peran dan
aksi para pendamping menjadi sangat krusial, sebagai hub bagi pemerintah desa
dan masyarakat. Beberapa pendekatan seperti PRA (participatory rural appraisal) menjadi sangat membantu
masyarakat, khususnya yang berpendidikan rendah, untuk menyuarakan persepsi
dan keinginannya.
Dari penjelasan
tersebut di atas, sangat penting bagi pemerintahan desa untuk memiliki aparat
desa yang andal dan pendamping yang berkualitas serta memiliki kesamaan
semangat membangun bersama. Ini juga menunjukkan betapa penting peran
pemimpin desa (leader), baik formal
maupun informal, untuk membangun manajemen pembangunan desa yang baik.
Bukan Industrialisasi
Penggambaran di atas
cukup jelas, pembangunan desa bukan berarti industrialisasi perdesaan. Desa
seharusnya tetap menjadi “hati” bagi wilayah kabupaten dan kota di mana desa
perlu tetap mempertahankan tata nilai dan norma yang selama ini berlaku dan
dipegang oleh sebagian masyarakat desa. Pemaksaan budaya dari masyarakat desa
menjadi masyarakat industri akan berdampak pada pola hidup hedonism dan
kapitalistik.
Pada akhirnya tata
nilai industri tersebut akan menggeser dan melemahkan pemerintahan desa itu sendiri.
Pendekatan partisipatif yang dilakukan akan tidak berjalan secara efektif
karena dominasi kapital dan elite yang akan mengeliminasi suara para petani,
pengangguran serta sektor pinggiran lainnya.
Melalui prinsip di
atas, dana desa yang dianggarkan oleh pemerintah diharapkan mampu menumbuhkan
aktivitas ekonomi, sosial dan budaya yang berbasis pada kepemilikan sumber
daya desa tersebut, terintegrasi dengan desa-desa sekitar (kluster) serta
diupayakan sebagian besar oleh masyarakat desa itu sendiri.
Output dari kebijakan
pembangunan desa seperti itu tentu akan lebih mendorong pencapaian
pembangunan desa yang lebih merata, kegiatan ekonomi yang tahan banting (sustained) serta mampu mencapai
pertumbuhan ekonomi yang baik.
Mari kita bersama-sama
mengawal dan memonitor penggunaan dana desa di wilayah kita masing-masing dan
kita berperan sebagai aktor serta objek sekaligus dalam pembangunan desa di
sekitar kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar