Melihat Kejahatan Seksual
dari Perspektif Ketahanan Nasional
Bambang Iman Aryanto ;
Staf Lemhannas RI
|
MEDIA INDONESIA,
19 Mei 2016
TRAGEDI Yy, seorang
gadis SMP di Rejang Lebong, Bengkulu, yang tewas dibunuh seusai diperkosa 14
pemuda yang ternyata sebagian besar masih di bawah umur. Kejadian tragis
tersebut hanyalah satu dari serentetan kejadian yang belakangan terungkap di
berbagai wilayah Indonesia, seperti di Surabaya, Aceh, Cirebon, Bekasi,
Bogor, Bandung, Manado, dan Gorontalo.
Entah berapa banyak
lagi kasus kejahatan seksual terhadap anak yang akan terungkap? Lalu,
bagaimana dengan yang tidak terungkap? Berapa banyak lagi? Menjadi
keprihatinan bangsa jika melihat berbagai kasus kejahatan seksual yang kini
semakin mengemuka. Keprihatinan inilah yang membuat Presiden Joko Widodo
angkat bicara yang menyatakan kekerasan seksual terhadap anak sebagai
kejahatan luar biasa dalam jumpa persnya pada Selasa (10/5) di Istana Negara.
Presiden juga menegaskan kejahatan luar biasa tersebut harus ditangani dengan
cara-cara, sikap, dan tindakan yang harus luar biasa.
Tidak hanya Presiden
ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, beberapa tokoh perempuan pun bersuara keras
terhadap kejadian ini. Sebagai seorang Ibu, perasaannya pasti akan
tercabik-cabik jika melihat anaknya menjadi korban dalam tragedi yang dialami
Yy dan korban dari pelaku kejahatan seksual. Megawati Soekarnoputri ketika
hadir pada acara Deklarasi Indonesia Melawan Kekerasan Seksual, pada Rabu
(11/5), mengungkapkan keprihatinannya terhadap kekerasan seksual yang kini
terjadi telah pada kategori sangat berbahaya.
Berdasarkan data
Komisi Nasional Perlindungan Anak, tercatat peningkatan jumlah kekerasan
seksual pada anak tiap tahunnya. Sepanjang 2010-2014, terdapat 21 juta kasus
kekerasan terhadap anak, sebanyak 58% kejahatan seksual pada anak seperti
pelecehan dan pemerkosaan hingga yang mengakibatkan tewasnya korban. Sementara,
Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam
catatan 2016, diungkapkan jumlah laporan kekerasan terhadap perempuan yang
termasuk pada ranah personal mencapai 321.752 kasus, 3166 kasus di antaranya
merupakan kekerasan seksual.
Sementara, pada ranah
publik/komunitas terungkap sebanyak 5002 kasus kekerasan terhadap perempuan,
yakni sebanyak 3174 kasus ialah kekerasan seksual. Diungkap pula, pelaku
kekerasan seksual ialah lintas usia, termasuk anak-anak jadi pelaku.
Pengaruh lingkungan
Banyaknya kejahatan
seksual yang dilakukan anak di bawah umur menjadi pukulan telak bagi bangsa
ini. Bila dicermati dengan teliti, kehidupan sosial masyarakat yang modern
saat ini bisa jadi merupakan salah satu pengaruh buruk bagi pertumbuhan anak.
Dengan pola hubungan sosial yang kini cenderung permisif sering kali
masyarakat tidak mengindahkan norma dan etika yang berlaku.
Dengan kondisi yang
seperti ini, membuat sebagian besar anak hidup dalam budaya permisif baik
dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Tidak dapat disangkal
bahwa sikap permisif yang abai terhadap karakter bangsa telah membentuk
karakter dan perilaku yang melanggar norma dan etika yang berlaku di
masyarakat.
Ditambah lagi dengan
perkembangan teknologi yang begitu cepat, adanya fasilitas internet dan
gadget yang semakin memanjakan anak dalam bersikap dan berperilaku tanpa batasan,
bahkan pengawasan dari orang tua. Pengaruh negatif dari informasi yang
diperoleh anak melalui internet semakin merasuk ke jiwa anak, kekerasan,
pelecehan, dan pornografi bisa jadi merupakan 'makanan' sehari-hari dari
seorang anak di bawah umur tanpa diketahui orang tua, baik di perkotaan,
maupun perdesaan.
Belum lagi dengan pola
pendidikan yang kini masih timpang antara pengembangan kecerdasan intelektual
dengan kecerdasan emosional dan spiritual.
Dalam jangka panjang,
fenomena ini bukan hanya sekadar kejahatan seksual semata. Bila dibiarkan
berlarut-larut, hal ini merupakan ancaman bagi bangsa, mengingat kejahatan
seksual yang kini marak dilakukan pelaku di bawah umur. Ingat, generasi
mereka merupakan bonus demografi pada 20-30 tahun mendatang. Bagaimana jika
sesungguhnya fenomena yang terjadi saat ini merupakan fenomena gunung es?
Pertanyaannya, apakah
hukuman berat tersebut mampu menghentikan kejahatan seksual terhadap anak? Terlalu
naf bila kita yakin bahwa hukuman berat akan membuat jera pelaku bila sumber
dan akar permasalahannya tidak diatasi.
Persepsi ketahanan
nasional: Kejahatan seksual, ancaman bagi bangsa
merespons fenomena
kejahatan seksual pada anak yang kini terus meningkat, membuat Presiden Joko
Widodo harus mengambil langkah cepat dengan menggelar rapat terbatas pada
Rabu (11/5) lalu di Istana Negara. Kini pemerintah telah menetapkan kejahatan
seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa yang harus dihukum berat
hingga 20 tahun penjara, dikebiri, dan pemasangan chip.
Dalam perspektif
ketahanan nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan, kejahatan
seksual pada anak, harus dilihat secara komprehensif dengan memperhatikan
aspek ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Pada aspek ideologi,
religiositas, ketakwaan, dan toleransi seharusnya mampu menjadi benteng diri
dari segala serbuan pengaruh negatif globalisasi yang dapat mengarah pada
perilaku seksual menyimpang.
Pada aspek politik,
pembangunan kapasitas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta
infrastruktur politik lainnya akan mampu menghasilkan peraturan dan
perundangan yang memberikan jaminan rasa aman.
Sementara pada aspek
ekonomi, dengan tercukupinya pangan, sandang, dan perumahan akan menjadi
modal dasar dalam membentuk ketahanan keluarga yang tangguh. Di sisi lain,
pada aspek sosial budaya, pendidikan, keluarga, pemberdayaan perempuan, dan
perilaku sosial menjadi sangat penting dalam membentuk karakter yang bermoral
dan bertanggung jawab.
Apabila dicermati akar
permasalahan yang terjadi, peran keluarga sangat penting dalam meletakkan
dasar nilai-nilai religiositas, ketakwaan, dan toleransi terhadap anak
sehingga dapat terhindar dari sikap dan perilaku permisif.
Negara pun melalui
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta infrastruktur politik
lainnya harus saling bersinergi agar seluruh masyarakat dapat membentuk
ketahanan keluarga yang tangguh. Namun demikian, secara
jujur hal ini membutuhkan kesadaran kolektif seluruh masyarakat untuk turut
berperan serta dalam membangun ketahanan keluarga yang tangguh sehingga dapat
membentuk karakter anak sebagai generasi muda yang sesuai jati diri dan
budaya bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar