Prasyarat Budaya Kebangkitan
Yudi Latif ;
Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 20 Mei
2016
Pendirian Budi Utomo
pada 1908 merupakan percobaan berani dari minoritas kreatif pada zamannya
untuk bangkit dari keterbelakangan dan keterjajahan dengan memperjuangkan
gerakan kemajuan.
Gerakan kemajuan yang
dipelopori para pemuda (berusia 19-21 tahun) itu dilakukan terutama melalui
pemupukan modal budaya (pengajaran, kebudayaan): mengupayakan akses
pendidikan yang lebih luas bagi kaum pribumi, penggalangan beasiswa (studiefond), dan revitalisasi budaya
pribumi. Pemupukan modal budaya itu kemudian diperkuat modal politik dengan
berusaha melahirkan kepemimpinan baru.
Dengan melancarkan
kritik terhadap kegagalan kepemimpinan lama dalam melindungi kepentingan
rakyat, Budi Utomo awalnya berusaha menghadirkan kepemimpinan baru, dengan
menerapkan manajemen modern yang mengandalkan keunggulan ”pikiran” ketimbang
keturunan. Langkah-langkah rintisan Budi Utomo ini, lewat persambungannya
dengan gerakan- gerakan kebangkitan yang lain, melahirkan gelombang perubahan
berskala nasional yang membuka jalan bagi kebangkitan dan kemerdekaan
Indonesia.
Peringatan Hari
Kebangkitan Nasional mestinya menjadi momentum introspeksi diri. Setelah 71
tahun merdeka, mengapa bangsa yang pernah tampil percaya diri sebagai
pemenang revolusi kemerdekaan pasca Perang Dunia II dan menjadi pelopor
kebangkitan Asia-Afrika justru menghadapi dinamika globalisasi dan era
kebangkitan Asia dengan mentalitas pecundang? Keterpurukan mentalitas sebagai
ekspresi budaya ini patut mendapatkan perhatian serius. Pengalaman lintas
kultural menunjukkan, setiap gerakan kebangkitan memerlukan prasyarat budaya,
terutama menyangkut perubahan mental—pola pikir dan sikap kejiwaan
(karakter). Firman Tuhan dalam Al Quran (QS 13: 11) menyatakan: ”Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada sebuah kaum (bangsa) hingga
mereka mengubah apa yang ada pada jiwa (mental) mereka.”
Pengalaman lintas kultural
Pentingnya perhatian
terhadap variabel budaya merupakan koreksi terhadap kecenderungan pembangunan
yang menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima. Padahal, pengalaman
lintas kultural membuktikan bahwa reformasi sosial tak akan pernah muncul
hanya mengandalkan reformasi kelembagaan politik dan ekonomi. Reformasi
sosial merupakan fungsi dari perubahan proses belajar sosial secara kolektif,
yang membawa transformasi tata nilai, ide, dan jalan hidup. Dalam hal ini,
penting memperhatikan jalinan erat antara budaya, politik, dan ekonomi sebagai
sesuatu tak terpisahkan.
Prasyarat
mental-budaya sebagai modal kebangkitan bisa dilihat dari sejarah kemajuan
berbagai komunitas. Dalam pengalaman Barat, misalnya, terdapat hubungan
signifikan antara perkembangan kebudayaan dan perkembangan teknologi dan
industrialisasi, di mana perkembangan yang terakhir justru terjadi kemudian
setelah adanya reformasi ”kebudayaan”. Revolusi industri, misalnya, didahului
renaisans, suatu gerakan kebudayaan untuk menggali kembali sumber-sumber
tradisi-budaya Yunani dan Romawi sebagai pijakan untuk meraih kemajuan.
Demikian pula halnya
pengalaman Dunia Islam. Tradisi budaya dan sikap-kejiwaan umat Islam masa
awal yang bersifat kosmopolitan memungkinkan mereka berdialog dengan semua
peradaban. Dalam waktu singkat, umat Islam bisa ”memungut” dan mengembangkan
pelbagai ilmu pengetahuan yang ada pada zamannya: mulai dari ilmu pengetahuan
Yunani, Mesir, India, hingga Tiongkok. Tradisi egalitarianisme Islam juga
telah mendorong ke arah gerakan penerjemahan ilmu pengetahuan ke dalam bahasa
kaum awam, yang bisa diakses hampir seluruh lapisan masyarakat saat itu. Kita
juga bisa menunjuk trayek kemajuan Jepang yang berjejak pada reformasi
kebudayaan lewat Restorasi Meiji. Demikian juga kemajuan Tiongkok kontemporer
yang mendapatkan basis mentalnya dari Revolusi Kebudayaan.
Trayek kebangkitan dan
kemerdekaan Indonesia sendiri lebih dulu sebagai gerakan kebudayaan ketimbang
gerakan politik. Gerakan kebangkitan ini distimulasi kehadiran secara
embrionik ruang publik modern di Hindia (Indonesia) sebagai dampak ikutan
dari rezim liberalisme pada akhir abad ke-19. Bibit-bibit kelahiran ruang
publik modern ini ditandai oleh introduksi lembaga pendidikan modern bagi
Bumiputra serta pendirian pers-pers vernakular (berbahasa lokal) dan klub-klub
sosial bergaya Eropa. Mulai akhir abad ke-19, kaum guru merintis pemanfaatan
ruang publik modern ini untuk mengampanyekan gerakan kemajuan. Kemajuan dalam
arti ini mengekspresikan suatu kehendak mencapai status sosial ideal, baik
sebagai individu maupun komunitas imajiner, meliputi banyak hal: kemajuan
pendidikan, modernisasi (secara luas diasosiasikan dengan westernisasi),
kehormatan, dan keberhasilan dalam hidup.
Pada awal abad ke-20,
para pelajar dan alumnus Sekolah Dokter-Djawa/STOVIA melanjutkan rintisan
kaum guru dengan jalan menerjemahkan wacana kemajuan itu ke dalam gerakan
kebudayaan. Menulis pada edisi perdana (1902) majalah pengobar ”kemajuan”,
Bintang Hindia, Abdul Rivai memperkenalkan istilah ”bangsawan pikiran”, yang
diperhadapkan dengan ”bangsawan usul”. Kode kolektivitas bangsawan pikiran
diberi nama ”kaum muda”, sedangkan kolektivitas bangsawan usul dilabeli ”kaum
tua”. Dari sana muncullah berbagai organisasi modern, seperti Budi Utomo,
Sarekat Islam, dan Muhammadiyah.
Sejak dekade 1920-an,
seiring kemunculan inteligensia berpendidikan tinggi, kepemimpinan gerakan
kemajuan menemukan kekuatan mentalitas baru. Selain kepercayaan diri karena
kualifikasi pendidikan yang lebih baik, horizon mentalitas mereka juga
diperluas oleh konsekuensi tak disengaja dari kebijakan pemerintahan kolonial
untuk mendirikan ”rumah penerbitan buku”, yang memiliki dampak yang
signifikan terhadap perluasan pengetahuan dan tradisi penulisan. Dengan
erudisinya yang luas, generasi baru inilah yang mengonsolidasikan gerakan
kebangkitan ke dalam berbagai pergerakan politik yang berujung pada
kemerdekaan Indonesia.
Kebangkitan masa kini
Dengan menggali modal
sejarah, kita bisa becermin betapa pentingnya prasyarat budaya bagi
kebangkitan nasional. Meski demikian, corak mentalitas yang diperlukan untuk
kebangkitan nasional hari ini sudah barang tentu harus disesuaikan dengan
tantangan nasionalisme kontemporer. Pertama-tama harus dipahami bahwa
globalisasi tidak mengusangkan pentingnya semangat nasionalisme. Meminjam istilah
Bung Karno, globalisasi tak bisa menolak fakta obyektif bahwa manusia itu
terbagi dalam golongan-golongan: ”ada golongan besar yang berkulit putih, ada
golongan besar yang berkulit hitam, ada golongan besar yang berkulit kuning,
ada golongan besar yang berkulit merah-sawo, dan sebagainya”. Juga tak bisa
dimungkiri, ”Terutama sekali bagi satu golongan manusia yang berabad-abad
mengalami persamaan penderitaan dan pengalaman, bagi golongan manusia yang
demikian itu, in casu yaitu rakyat kita, rasa kebangsaan bukan lagi satu
cita-cita, tetapi satu fakta obyektif” (Soekarno, 1958).
Meski demikian, sifat
nasionalisme dalam kebangkitan nasional di masa lalu tentulah berbeda dengan
masa kini. Kebangkitan nasional di masa lalu bersifat negatif (defensif),
yang dikobarkan sebagai cara untuk melawan keburukan musuh dari luar. Adapun
kebangkitan nasional hari ini harus lebih berwajah positif (progresif), yang
dikobarkan sebagai cara untuk mengolah dan mengembangkan segala potensi yang
kita miliki demi kemajuan dan kebahagiaan hidup bersama. Dalam kerangka
nasionalisme progresif ini, pertama-tama harus disadari, dengan intensifikasi
arus globalisasi, Indonesia sebagai bangsa majemuk akan semakin mengalami
proses pluralisasi identitas. Apa yang harus diwaspadai dari kecenderungan
ini bukanlah dialektika yang tak terhindarkan dari identitas/perbedaan,
melainkan kemungkinan munculnya keyakinan atavistik bahwa identitas hanya
bisa dipertahankan dan diamankan dengan cara menghabisi perbedaan dan
keberlainan (otherness).
Dalam situasi
demikian, kita bisa mengambil pelajaran pada satu rumus matematika, bahwa
pecahan-pecahan tak akan bisa dijumlahkan kecuali memiliki bilangan penyebut
yang sama. Demikian pula Indonesia dengan segala pecahan identitasnya—pecahan
agama, etnis, dan kelas sosial—tak akan bisa dijumlahlah menjadi kebersamaan
kecuali memiliki penyebut sama (common
denominator). Penyebut bersama yang menyatukan pecahan-pecahan Indonesia
itu bernama Pancasila. Nilai-nilai Pancasila itulah titik tolak dan titik
tuju dari politik kebudayaan sebagai prasyarat kebangkitan nasional masa
kini.
Kuncinya: pemuda
Adapun agensi
terpenting dari kebangkitan tersebut, seperti halnya terjadi di masa lalu,
terletak di tangan pemuda. Mengapa demikian? Karena bentuk piramida penduduk Indonesia
pada awal milenium ini membesar di tengah, mengindikasikan besarnya jumlah
pemuda berusia kerja. Jumlah penduduk berusia 16-30 tahun tak kurang dari 65
juta. Jumlah besar penduduk usia produktif ini jika benar kelola bisa menjadi
bonus demografi. Sebaliknya, jika salah kelola, bisa berubah menjadi bencana
demografi. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya pemuda merupakan
prioritas penting yang harus menjadi kepedulian semua pihak jika bangsa ini
ingin kembali bangkit dari keterpurukannya.
Isu utamanya di sini
bukanlah pengembangan sumber daya manusia (human capital) dalam arti
konvensional yang semata-mata diukur berdasarkan pendidikan formal, melainkan
pada pemuliaan daya-daya (etos) kreatif manusia sesuai potensi kecerdasan
masing-masing. Kreativitas adalah segala tindakan, ide, atau produk yang
mengubah domain budaya yang ada, atau yang mentransformasikan domain yang
ada, menjadi sesuatu yang baru. Orang-orang berbakat hanya akan menjadi
pribadi kreatif apabila menemukan ekosistem kreativitas yang dihasilkan oleh
interaksi dari suatu sistem yang terdiri atas tiga elemen. Pertama, domain
simbolik yang berisi seperangkat aturan, prosedur, pengetahuan dan informasi;
sebagai titik tolak sekaligus titik ubah dari kreativitas.
Kedua, bidang
pendukung (field) yang meliputi segala orang, institusi, dan jaringan yang
bertindak sebagai gate keepers yang mendukung, menyaring, dan memvalidasi
setiap inovasi untuk bisa masuk dan membawa perubahan dalam domain budaya.
Ketiga, barulah faktor
kehadiran orang kreatif; yakni seseorang yang pikiran dan tindakannya
mengubah suatu domain, atau membentuk domain baru (Mihaly Csikszentmihalyi,
2013). Kurang berkembangnya kreativitas di negeri ini karena kurangnya
dukungan politik terhadap reproduksi pengetahuan dan pengembangan
minat-bakat, pemuliaan warisan budaya, serta kegiatan riset dan pengembangan.
Kegiatan riset berhenti sebagai kertas laporan penelitian yang dilakukan
lembaga-lembaga riset negara tanpa kemampuan membangun budaya riset dan
inovasi di tengah masyarakat.
Negeri ini juga nyaris
tak melahirkan politik kebudayaan yang dapat memperluas bidang pendukung
kreativitas, seperti gedung-gedung pertunjukan yang representatif,
sarana-sarana tekno-estetika, studio-studio seni, pusat-pusat belajar dan komunitas
epistemik, pusat-pusat inkubasi, gugus kendali mutu, jaringan media, galeri,
kurator, dan kritik seni. Tanpa dukungan politik kreativitas yang dapat
memfasilitasi pengembangan domain simbolik dan bidang pendukung, banyak
anak-anak berbakat Indonesia yang lekas layu sebelum berkembang; atau
berhenti sebagai jago kandang.
Dari sekian banyak
permasalahan, perhatian yang lebih besar harus diberikan kepada dunia
pendidikan sebagai basis pendukung kreativitas. Sejauh ini, sistem pendidikan
kita masih dibangun atas dasar hierarki pembelajaran yang usang: matematika
dan sains di atas, sosial-humaniora di tengah, dan seni di dasar. Alasannya,
karena sistem hierarki ini warisan dari sistem pendidikan yang dirancang
untuk memenuhi tuntutan revolusi industri pada abad ke-19. Padahal,
situasinya sudah bergeser. Dalam perubahan budaya teknologis yang sangat
pesat seiring dengan perkembangan ekonomi berbasis informasi, ide-ide
kreatiflah yang menjadi sumber daya terpenting. Celakanya, sistem pendidikan
kita belum menempatkan hal ini di jantung kurikulum.
Mendidik anak tentang
bagaimana menumbuhkan kreativitas dan keingintahuan, seraya terus menyediakan
fondasi yang sehat bagi pengembangan budi pekerti, pemikiran kritis,
literasi, dan matematika, adalah cara terbaik untuk mempersiapkan anak-anak
menghadapi dunia dengan perubahan teknologi yang begitu pesat.
Dalam menumbuhkan
peserta didik dengan etos kreatif yang kuat, pengajaran harus memberikan
kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk lebih terlibat dalam pengalaman
konkret. Pemikir pendidikan mulai dari John Dewey hingga Paulo Freire dan
Seymour Papers sepakat mengenai pentingnya belajar sambil bekerja. Hal itu
berarti bahwa jika anak ingin banyak belajar, mereka harus banyak bekerja.
Dengan kata lain, pengajaran harus lebih menekankan ekspresi dan eksplorasi
daripada instruksi. Mengembangkan cinta lebih baik daripada kewajiban
(Diamandis dan Kotler, 2012). Dengan cara itu, pendidikan akan mampu
menciptakan suatu kehidupan yang mungkin dan dunia kemungkinan; suatu
kehidupan dunia di mana anak-anak bangsa ini bisa merealisasikan mimpi-mimpi
emansipatorisnya, bangkit berkembang menjadi warga terhormat dalam pergaulan
dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar