Bisakah PAUD Dicurigai sebagai Racun Mental?
Nurul Lathiffah ;
Sarjana Psikologi UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
|
MEDIA INDONESIA,
16 Mei 2016
DI awal kemunculannya,
pendidikan anak usia dini (PAUD) diharapkan menjadi starting point
terselenggaranya pendidikan yang berhasil. Ekspektasi itu pada gilirannya
menstimulasi kelahiran sekolah PAUD di berbagai daerah. Hingga kini jumlah
PAUD semakin meningkat pesat. Jika pada awal kemunculannya sekolah usia dini
sebelum TK itu masih sangat dirindukan masyarakat, kini hal itu berkebalikan.
Euforia bahwa PAUD dinilai sebagai kunci keberhasilan pendidikan bahkan
semakin terkikis.
Belum lama ini, PAUD
juga dinilai dapat menjadi fondasi pendidikan yang berbahaya bagi anak.
Pendidik yang tidak memiliki kualifikasi tepat diduga menjadi penyebab utama.
Selain itu, pengajaran calistung sejak dini juga dicurigai merupakan racun
mental bagi anak. Sebagaimana diwartakan sebuah televisi swasta (9/5/), guru
menjadi elemen penting dalam perkembangan pendidikan anak. Namun, masih
banyak PAUD dianggap belum memenuhi standar. PAUD yang tidak berkualitas akan
menghambat perkembangan anak.
Meski terkesan kritis,
opini publik itu juga perlu disikapi secara apresiatif.
Setidaknya, opini itu
menduga bahwa PAUD dinilai berbahaya karena dua hal. Pertama, guru kurang
kompeten. Kedua, racun mental secara tidak sengaja ditebar di PAUD. Secara
objektif, harus disadari bersama bahwa PAUD digadang menjadi sekolah yang
sangat penting dilalui anak.
Sebelum belajar di
sekolah formal, anak-anak perlu bermain sambil belajar atau belajar sambil
bermain di sekolah usia dini. Hal itu sangat penting, sebab anak-anak yang
terbiasa berinteraksi dengan pendidik dan anak-anak seusianya secara tidak
langsung memiliki soft skill
sebagai bekal beradaptasi di sekolah dasar dan pada tingkat-tingkat
selanjutnya.
Hakikatnya, PAUD
mengaksentuasikannya pada dasar pertumbuhan dan perkembangan fisik, kecerdasan,
kreativitas, emosi, dan spiritual. PAUD diharapkan menjadi wahana stimulasi
perkembangan anak, termasuk memetakan potensi anak dan mendidik sesuai dengan
kapasitasnya.
Apabila anak sudah
terampil bekerja sama, memiliki keterampilan berpikir kritis, dan memiliki
keterampilan untuk bersahabat dengan aturan, di taraf pendidikan selanjutnya,
mereka akan lebih mudah untuk berprestasi dan menyerap pengetahuan, nilai,
dan norma.
Kabar baiknya, PAUD
tetaplah menjadi lembaga pendidikan yang penting dalam mencerdaskan anak
Indonesia. Hanya, tidak bisa dimungkiri faktor tenaga pengajar merupakan satu
aspek penting yang perlu dievaluasi. Di kota besar, seleksi terhadap guru
PAUD sangatlah teliti dan diperhitungkan, di samping meneliti riwayat
pendidikan, pengalaman, dan keterampilan berinteraksi dengan anak usia dini.
Akan tetapi, realitas ini sungguh berbeda dengan PAUD di desa. Di desa,
rekrutmen pengajar PAUD dilakukan secara sederhana.
Satu-satunya
pendidikan yang efektif bagi pengajar diperoleh dari pelatihan atau seminar.
Lebih disayangkan lagi, pelatihan atau seminar itu pun berbayar. Pengajar
PAUD yang notabene mendapat insentif yang sangat minimal pun mengalami
dilema. Di satu sisi, mereka ingin memperkaya khazanah pengetahuan, tapi di
sisi lain mereka juga memiliki tantangan finansial yang tidak mudah. Dengan
mengesampingkan riwayat pendidikan, perjuangan guru PAUD di desa-desa cukup
membawa angin segar bagi dunia pendidikan, betapa pun mereka memiliki gairah
untuk merawat perkembangan anak usia dini agar menjadi generasi yang cerdas
berinteraksi dengan Tuhan, pengetahuan, sesama manusia, dan alam semesta.
Berbekal modal
psikologis para guru PAUD di desa yang memiliki semangat berjuang tinggi,
kiranya wacana mengenai pembatasan jumlah PAUD dan bahkan pengurangan PAUD
perlu ditinjau ulang. Alih-alih membatasi atau mengurangi, berfokus pada
pengayaan dan pembinaan pendidik PAUD merupakan langkah strategis yang tidak
bisa dilupakan.
Bagaimanapun,
keikhlasan dan daya mencintai anak-anak merupakan keterampilan yang sulit
dipelajari. Keterampilan hati itu berkembang secara alamiah. Sementara itu,
pengetahuan mengenai perkembangan anak dapat dikembangkan melalui berbagai
cara. Seminar, kursus berkelanjutan, dan hal senada lain merupakan cara yang
dapat ditempuh untuk meningkatkan kualitas pengetahuan pengajar PAUD.
Tentunya, hal itu difasilitasi pemerintah dan para pemegang kebijakan.
Peningkatan kualitas
pengajar PAUD sangat diperlukan. Terlebih di era digital, kompleksitas
karakteristik anak semakin bertambah. Tantangan pengajaran pun akan semakin
kompleks. Dalam tataran ini, keterampilan afektif dan kognitif para pengajar
PAUD merupakan kunci utama keberhasilan. Menimbulkan minat positif anak,
mengasah keterampilan mereka, dan mengapresiasi setiap keberhasilan anak
merupakan sedikit dari sederet keterampilan yang perlu dimiliki setiap
pengajar. Pada titik ini, persoalan pertama PAUD dinilai berbahaya dari segi
tenaga pengajar sudah mendapatkan titik terang.
Pada intinya, PAUD
berbahaya jika pengajar tidak memiliki keterampilan mengajar sehingga
menimbulkan kebosanan, keengganan sekolah, dan menebar sikap negatif (semisal
marah) di ruang kelas.
Permasalahan kedua
yang ditengarai meracuni pengajaran di PAUD ialah kurikulum. Seiring dengan
ekspektasi bahwa anak kelas 1 SD sudah diharapkan memiliki keterampilan dasar
membaca, tidak sedikit PAUD yang mulai memperkenalkan kemampuan baca tulis
kepada anak. Lantas, benarkah itu akan meracuni anak? Sebentar. Permasalahan
ini memang cukup sensitif karena memiliki multiperspektif. Kita perlu
memahami, bahwa dalam paradigma psikologi, setiap individu memiliki potensi
unik yang diistilahkan dengan individual
differences. Perbedaan individual pada gilirannya juga menuntun pengajar
untuk memberikan sikap dan tugas yang berbeda pada tiap-tiap anak.
Realitasnya, ada
anak-anak usia dini yang hanya suka pada aktivitas bermain. Pun sebaliknya,
ada pula anak usia dini yang sudah memiliki minat membaca dan menulis sejak
dini karena berbagai pengaruh hadir dalam lingkungannya. Anak usia dini yang
tumbuh di lingkungan keluarga yang mentradisikan kebiasaan mendongeng dan
membaca bisa jadi sudah memiliki minat dan kemampuan dasar untuk belajar
mengenal huruf, mengeja, dan menulis. Apabila anak dengan potensi positif ini
belajar di lingkungan PAUD yang murni 'bermain' saja, bisa jadi ia akan
mengalami kebosanan. Kebutuhannya akan belajar dan mengasah keterampilan
dasar terbentur kurikulum yang menurutnya terlampau 'main-main'.
Pelajaran pentingnya,
pengajar PAUD harus tetap berada pada kurikulum yang telah ditetapkan. Mereka
pun semestinya mampu menciptakan pembelajaran yang nyaman. Setiap anak unik
dan para pengajar memiliki tugas oral untuk menyelami karakter sekaligus
menciptakan iklim bermain, belajar, dan bersahabat yang penuh dengan nuansa
nyaman. Di sisi lain, tugas mendidik anak usia dini tidak bisa hanya
dilimpahkan kepada PAUD. Di luar itu, orangtua memiliki peran penting dan
sentral. Sebagus apa pun PAUD, anak usia dini tidak akan mencapai
perkembangan optimal jika diasuh dengan metode parenting yang kurang tepat.
Penguatan peran
orangtua dapat menjadi strategi untuk menumbuhkan anak usia dini demi
mencapai perkembangan 'emas'. Orangtua secara intens perlu menyelami keunikan
dan potensi anak. Pada hakikatnya, rumah merupakan tempat belajar yang paling
nyaman. Keterampilan emosi, fisik, kognitif, dan spiritual anak mencerminkan
ketelatenan orangtua. Apabila orangtua berkomitmen mendidik emosi anak,
anak-anak pun akan mengembangkan keterampilan emosional. Sampai di sini, ada
yang perlu kita garis bawahi bahwa satu hal primer yang perlu direnungkan
sebelum memvonis PAUD dapat membahayakan anak, kita perlu bertanya sudahkah
orangtua memberikan pengasuhan yang aman dan nyaman? Orangtua perlu becermin
sambil terus bersinergi dengan PAUD. Wallahualam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar