Mengapa Mesti Golkar?
Hendri Satrio ; Dosen
Ilmu Politik Universitas Paramadina;
Founder Lembaga Survei KedaiKOPI
|
KORAN SINDO, 17
Mei 2016
Partai Golongan Karya
atau biasa disebut Golkar memang fenomenal. Partai politik yang dianggap
paling dewasa di Indonesia lantaran semua kadernya berpeluang menjadi ketua
umum ini pernah merasakan pahitnya berada di luar kekuasaan, yang bukan
merupakan jalur politiknya selama puluhan tahun. Tapi, itu sudah berlalu.
Sabtu (14/5) lalu
dalam acara pembukaan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) di Bali,
Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie di depan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) kembali menegaskan posisi Golkar yang mendukung pemerintahan. Nusa
Dua Bali ikut menjadi saksi kebesaran partai politik yang nyaris terbonsai
akibat dualisme kepengurusan. Warna kuning mendominasi Nusa Dua. Bila kita
masuk ke lingkungan munaslub, aroma lingkar kekuasaan sangat kuat di situ.
Wajah akrab khas pejabat pemerintah mudah ditemui di tempat yang menentukan
nasib partai beringin kelak.
Mengapa Golkar?
Selain fenomenal,
Golkar juga kokoh. Masih jelas di ingatan saya ketika banyak orang
menyuarakan lantang untuk membubarkan Golkar. Tapi, kekuatan itu tidak cukup
meruntuhkan Golkar, hingga akhirnya ormas ini resmi mencantumkan kata
”Partai” dan tercatat sebagai partai politik.
Sejak Pemilu 1999
hingga 2014, posisi Golkar hanya di dua tempat, nomor satu atau nomor dua. Padahal,
guncangan terhadap partai ini begitu kencang. Golkar bahkan kembali jaya pada
Pemilu 2004. Golkar memiliki simpatisan loyalis yang kuat. Pada beberapa kali
pemilu angka hasil pemilu, Golkar berkutat di 14%-15%, sebuah angka yang
fantastis bagi sebuah parpol yang kerap dihantam ujian. Namun, ada catatan
tidak sedap.
Sejak reformasi,
Golkar belum bisa menempatkan kader terbaiknya menjadi presiden. Hal terbaik
bagi Golkar adalah posisi wakil presiden dua kali (yang diraih oleh Jusuf
Kalla). Tapi, Jusuf Kalla saat memberikan sambutan pada perayaan ulang tahun
Golkar 2015 di Jakarta pernah berseloroh bahwa dirinya selalu menduduki jabatan
wapres justru pada saat tidak menduduki posisi ketua di Golkar.
Sebetulnya kondisi
Golkar yang belum mampu mendorong kadernya menuju kursi Presiden sudah
terbaca oleh Gary Cox dan Mathew Mc Cubbins dalam buku Setting the Agenda (2005) yang diterbitkan Universitas Cambridge,
New York, Amerika Serikat. Dalam buku itu menyebutkan bahwa ada partai
politik yang kadernya hanya mampu mengontrol agenda parlemen dan
masing-masing bertujuan sendiri untuk terpilih kembali. John Aldrich dalam
buku Why Parties (2011)
menyampaikan penjelasan politik yang juga memperkuat kondisi Golkar saat ini.
Dia mengatakan bahwa
sebuah partai politik yang besar berisi banyak politisi sekaligus aktivis
yang mencari tempat kerja dan pengakuan. Berdasarkan dua pendapat tadi dalam
munaslub, Golkar harus memiliki ketua umum yang mampu menemukan kader atau
minimal anak bangsa terbaik. Tentu dengan kepemimpinan kelas nasional yang
tidak hanya mengutamakan kepentingan pribadinya, untuk dapat diajukan sebagai
calon pemimpin negara.
Golkar harus mampu
meyakinkan kadernya untuk tidak melulu fokus ke diri sendiri. Bila sang ketua
umum baru memiliki kemampuan itu, pada 2019 Golkar dapat mempertahankan
(bahkan melebihi) angka 14%-15% pada pemilu legislatif.
Golkar dan Jokowi
Mayoritas presiden
negeri ini menikmati layanan Golkar sebagai pendukung pemerintah. Presiden
Jokowi pun sebentar lagi akan dengan nyata menerima layanan itu. Patut kita
tunggu bagaimana presiden cerdas seperti Jokowi memainkan peran politiknya
dalam koalisi yang gemuk. Jangan lupa, dalam koalisinya Jokowi sudah memiliki
PDIP yang memiliki sejarah kurang baik dengan Golkar. Bila berhasil, untuk
kesekian kali Jokowi akan menciptakan sejarah karena mampu membuat PDIP dan
Golkar seirama.
Dalam munaslub, Jokowi
cukup mampu memainkan peran netral dan tidak berpihak ke salah satu calon
walau bawahannya sibuk dicitrakan sebagai orang yang mencatut nama Presiden
karena memberikan dukungan (pada calon tertentu). Kehadiran Golkar akan
banyak membantu Jokowi di pemerintahan. Pengalaman Golkar mendukung
pemerintah adalah yang paling lama di antara parpol yang ada. Jokowi juga
dicitrakan akan memberi hadiah kursi menteri kepada Golkar seusai munaslub
digelar.
Sebuah langkah berani
dan strategis yang mungkin dapat dikatakan sebuah investasi jangka panjang.
Investasi untuk 2019 pada saat Jokowi membutuhkan dukungan sangat besar untuk
pilpres. Golkar bersama PDIP dapat jadi kendaraan politik yang kuat dan mewah
bagi Jokowi yang dapat membuat dirinya hampir pasti terpilih lagi untuk
periode kedua. Nah, bila sudah begini, semua ada di tangan seseorang yang
terpilih menjadi ketua umum Golkar hingga tiga tahun ke depan.
Ketua umum yang baru
harus mampu bekerja sama dengan Jokowi sehingga Jokowi kelak juga memilih
Golkar menjadi kendaraan politiknya. Walau bukan kader asli, mengusung Jokowi
dapat mengubah sejarah peruntungan Golkar dalam pilpres bahwa tokoh
usungannya menjadi presiden RI. Hal yang sejak reformasi belum bisa
diwujudkan Golkar. Selamat bekerja ketua umum Golkar yang baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar